Jumat, 08 September 2023

Menjembatani PSM dan Panggilan

Resumer Artikel " Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures: Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures"

(Thompson & Christensen, 2018)

    Bagaimana menemukan rasa kebermaknaan dalam pekerjaan adalah sesuatu yang menjadi sumber dari motifasi. Kebermaknaan suatu pekerjaan sangat di pengaruhi oleh persepsi di sekitar seseorang tersebut tinggal seperti keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan sosial serta berbagai informasi yang ada di media. Bekerja sebagai suatu panggilan, karena melihat kondisi yang ada dan niat yang kuat dari dalam diri yang didorong oleh kognitif serta pengalaman masa lalu serta informasi yang terakumulasi dengan pengalaman. Hal ini di jelaskan dari berbagai pandangan dari klasik, kontemporer dan neoklasik.

    Sektor publik memiliki kekhasan tersendiri karena bekerja pada sektor publik lebih di dorong oleh motif intrinsik untuk membantu orang lain (Rainey, 1982 dan Wittmer, 1991). Tetapi sosial masyarakat yang telah kotor terhadap pekerjaan publik yang salah menyusun nya memberikan dampak yang luar biasa pada masyarakat berupa pergeseran citra pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang menyulitkan masyarakat dan menyebabkan biaya tinggi. bukan niat menolong masyarakat yang terkesan dari pegawai publik tetapi malah niat menyusahkan masyarakat. Tetapi tidak semua layanan publik mendapat stigma seperti itu, beberapa layanan publik yang sifatnya produksi pelayanan langsung seperti guru dan dokter sebagian masih mendapat pujian karena dampak langsung di rasakan masyarakat.

 

Pandangan Klasik

    Bensman dan Rosenberg (1960[2014], 50) mengamati hal itu stasiun dalam hidup.” “Bekerja sebagai sebuah panggilan,” sebuah konsep yang tumbuh dari gerakan organisasi yang positif, telah menjadi fitur yang menonjol dalam literatur manajemen bisnis dalam beberapa tahun terakhir atau lebih dikenal dengan Fashion atau proses identifikasi diri dengan pekerjaan yang pada akhirnya menemukan kecocokan dan pengoptimalan terbaik.

Beberapa birokrat, yang terbebani oleh impersonalitas pekerjaan mereka, melepaskan gagasan bahwa pekerjaan itu bermakna atau merupakan media yang cocok untuk realisasi diri. . . . Dengan menyangkal kebermaknaan pekerjaan mereka, mereka menjadi kurang berdedikasi dan kurang efisien. Mereka meminimalkan tugas-tugas mereka dan melaksanakannya dengan cara yang rutin dan kompeten, tidak terlalu memikirkan pekerjaan yang diperlukan. . . .

Untuk mencapai tindakan positif dan disposisi bisnis yang cepat, birokrasi memerlukan esprit de corps, semangat kerja yang tinggi, dan dedikasi yang penuh semangat. Kondisi birokrasi publik yang jelek, lingkungan yang kurang baik membuat mereka yang memiliki motivasi untuk melayani publik menjadi turun karena kenyataannya bahwa mereka gagal memenuhi motif intrinsik untuk melayani masyarakat malah terjebak dengan regulasi, lingkungan birokrasi yang kotor serta ketidaknyamanan dalam bekerja.

Banyak faktor yang menjadi penyebab lingkungan organisasi tersebut menjadi tercemar, mulai dari pimpinan, struktur, regulasi, kondisi sosial hingga berbagai macam fitnah dan persespi yang ada. Lalu seperti apa pelayanan publik modern? karena nilai-nilai publik saat ini sudah berubah, kecepatan, kepraktisan menjadi salah satu perubahan dari nilai publik saat ini. Penggunaan teknologi dan kecepatan menjadi jawaban layanan publik yang di terima oleh nilai-nilai publik.

 

Pandangan sekuler kontemporer

Kebermaknaan suatu pekerjaan merupakan bentuk panggilan hati yang di perkuat oleh keyakinan pengetahuan dan kondisi feedback lingkungan sekitar. Kebermaknaan tersebut menjadi suatu panggilan yang berakar pada hati dan berdekatan dengan pemikiran keagamaan. konsep ini di tarik secara luas oleh pengetahuan sekuler untuk menjembatani kebermaknaan. Salah satu tokoh yang merasionalkan panggilan tersebut keluar dari kegiatan keagamaan. dimana panggilan kebermaknaan pekerjaan bukan hanya berfokus pada nilai agama tetapi nilai-nilai publik seperti tukang batu, pembuat kue dan pandai besi merupakan panggilan jiwa manusia untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih luas bagi manusia lain.

Luther berargumen ada makna spiritual transenden dari pekerjaan melayani makhluk hidup lain (Hardy, 1990). Calvin menjelaskan lebih detail (Hardy, 1990, 66) panggilan jiwa merupakan keberhasilan seseorang dalam mengidentifikasi bakat yang diberikan tuhan dan dipergunakan untuk kepentingan makhluk lain atau alam. Landasan di atas menempatkan sebagai prinsip utama etos kerja protestan ( "protestan ethic and spirit of capitalism) panggilan ini membentuk narasi kerja selama berabad-abad, namun konsep yang diambil sebagai cikal bakal sekularisme ini telah bergeser maknanya dimana panggilan tidak lagi berdasarkan keyakinan agama yang bersumber pada tuhan tetapi pada panggilan kapitalis, panggilan sosial atau sejenisnya yang akhirnya men-tuhankan sistem tersebut. Ada juga yang mempopulerkan "panggilan" sebagai pekerjaan impian atau juga pekerjaan talenta (pengembangan ide Calvin dan Luther).

Konsep-konsep tersebut mengandung sesuatu yang irasional atau mistis dan menciptakan keyakinan apabila terus di doktrinkan. Weber (1930, 124) menyetujui hal itu sebagai mistismu atau gagasan tentang gaib sesuatu yang tidak dapat di tangkap oleh Panca indra tetapi memiliki pengaruh atau juga berupa gelombang yang di tangkap oleh alam bawah sadar. Konsep ini menjadi suatu panggilan yang menghantui seseorang dalam bekerja dan sulit dipahami atau di jelaskan. Hal ini juga meresap ke dalam budaya populer, misal Alain de Botton (2009) menjelaskan bagaimana suatu panggilan ditemukan dalam "kelompok kekhawatiran yang menyenangkan dan menggairahkan Anda..". Sehingga muncul generasi yang menganggap pencarian pekerjaan yang bermakna sebagai hal yang paling penting (poswolsky, 2014) dan proses tersebut difokuskan pada pencarian hasrat dan kenikmatan.

Ilmu pengetahuan masa kini juga umumnya menganut gagasan bahwa panggilan adalah masalah kepuasan pribadi dan sering kali kurang memberikan perhatian pada pengorbanan dan pelayanan bagi orang lain (misalnya, Bellah dkk, 1985). Misalnya saja, Dobrow dan Tosti-Kharas (2011 1001) mendefinisikan panggilan sebagai “semangat yang sangat besar dan bermakna yang dialami seseorang terhadap suatu domain,” sehingga memberikan prioritas pada gairah.

 

Para pakar Manajemen

Riset Calling telah menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk mengeksplorasi implikasi dari pemanggilan. Beberapa konseptualisasi panggilan kontemporer memang menggunakan nilai-nilai tanpa pamrih sebagai bagian dari upaya mengejar hasrat. Misalnya, karya perintis Wrzesniewski mencirikan panggilan sebagai kontribusi terhadap beberapa nilai sosial di luar diri (Wrzesniewski 2003; Wrzesniewski dkk. 1997). Namun, konsep panggilan masa kini berbeda dengan konsep klasik karena konsep tersebut cenderung mengutamakan pemenuhan pribadi, sedangkan versi Lutheran jelas berakar pada kewajiban untuk mengorbankan diri demi orang lain.

Salah satu kontribusi terpenting penelitian kontemporer adalah kerangka tripartit yang dikembangkan oleh Bellah dkk. (1985), yang mana Wrzesniewski dkk. (1997) dioperasionalkan ke dalam ukuran orientasi pekerjaan, karier, atau panggilan. Orang-orang dengan orientasi pekerjaan memandang pekerjaan mereka hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan finansial; mereka bekerja terutama untuk mendapatkan gaji, bukan untuk imbalan intrinsik. Orang dengan orientasi karir termotivasi untuk maju melalui hierarki pekerjaan dan mendapatkan penghargaan dan rasa hormat dari orang lain. Orang dengan orientasi panggilan memandang pekerjaan sebagai tujuan akhir—sebagai ekspresi identitas profesional mereka yang unik.

Penelitian Wrzesniewski et al. (1997) yang menggunakan ukuran-ukuran ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan orientasi panggilan mengalami kepuasan kerja dan hidup yang lebih tinggi dan tingkat ketidakhadiran yang lebih sedikit. Kerangka kerja-karir-panggilan memberikan struktur yang berguna untuk berpikir tentang bagaimana orang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini juga memberikan cara berpikir yang lebih mendalam tentang PSM dibandingkan yang digunakan oleh para sarjana saat ini. Kerangka kerja ini menjanjikan potensi untuk menambah nuansa penelitian PSM.

 

 

Pandangan Neoklasik

Memasukkan kembali cita-cita tentang panggilan. Penggambaran Wrzesniewski (2003) tentang panggilan sebagai sesuatu yang memberikan nilai sosial merupakan pertanda dari perubahan ini. Definisi panggilan dari Dik dan Duffy (2009, 427) secara eksplisit mencakup nilai-nilai yang berorientasi pada orang lain: “panggilan yang transenden, Namun, era penelitian panggilan neoklasik telah diluncurkan secara resmi melalui studi Bunderson dan Thompson (2009) tentang penjaga kebun binatang, yang membawa dialog panggilan kembali ke akar klasiknya. Mereka menemukan bahwa para penjaga kebun binatang memiliki pandangan tentang panggilan yang sangat mirip dengan pandangan yang dianut oleh Luther dan Calvin, meskipun tanpa nuansa keagamaan. '

Kami merangkum perbedaan inti antara tiga konseptualisasi pemanggilan dalam tabel 1. Secara khusus, kami membandingkan tiga pandangan berbeda tentang panggilan dalam hal bagaimana orang mengalaminya, proses penemuan yang melaluinya orang sampai pada suatu panggilan, dan definisi formal yang digunakan para sarjana untuk membedakannya. Secara khusus, penjaga kebun binatang menggambarkan penemuan suatu proses untuk menemukan konvergens.

Panggilan neoklasik adalah “tempat dalam pembagian kerja dalam masyarakat yang seseorang merasa ditakdirkan untuk diisi berdasarkan karunia, bakat, dan/atau peluang hidup yang istimewa” (Bunderson dan Thompson's (2009, 38). Neoklasik menjelaskan pekerjaan adalah fashion diidentifikasi dengan bakat dan tujuan dari pekerjaan tersebut serta imbalan sosial dari masyarakat. Aspek panggilan yang muncul dalam penelitian ini mencakup (1) pentingnya “hardwiring”—para penjaga kebun binatang yang memiliki panggilan merasa bahwa mereka diciptakan untuk bekerja sebagai hewan; (2) persepsi tentang “takdir”— para penjaga kebun binatang yang mempunyai panggilan hidup merasa bahwa takdir telah membawa mereka ke tempat kerja yang tepat; (3) adanya kewajiban yang dirasakan untuk melayani—para penjaga kebun binatang yang memiliki panggilan mengungkapkan rasa kewajiban moral untuk melayani hewan yang mereka tanggung; (4) hubungan dengan pengorbanan—penjaga kebun binatang yang memiliki panggilan melaporkan kesediaan yang lebih besar untuk melakukan pengorbanan pribadi demi hewan mereka dan kebun binatang.

Dalam pandangan neo klasik pekerjaan yang berat dan penuh tantangan akan di balance dengan semangat motif intrinsik, bakat dan tujuan yang ada. sehingga akan mempertahankan durabilitas tantangan pekerjaan. Penelitian panggilan kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat berbagai hasil positif terkait dengan kesejahteraan dan motivasi karyawan (Dobrow dan TostiKharas 2011 ; Duffy dan Dik 2013 ; Wrzesniewski et al. 1997). Dorongan panggilan hati telah terbukti meningkatkan efikasi diri dan motivasi/keterlibatan intrinsik (Bunderson dan Thompson 2009; Dobrow dan Tosti-Kharas, 2011). Efikasi diri atau persepsi mengenai tujuan organisasi dan manfaat yang besar yang dilakukan organisasi. Keterikatan organisasi juga meningkat ketika pegawai melihat organisasi dan pekerjaannya berperan penting dalam mewujudkan tujuan mereka (Cardador, Dane, dan Pratt 2011). Panggilan tampaknya juga memiliki dampak positif yang kuat terhadap komitmen organisasi, bahkan ketika karyawan merasa bahwa organisasinya lalai. Panggilan atas pekerjaan menjadi pelindung bagi individu atas kurang profesionalnya organisasi (Bunderson dan Thompson 2009 ; Schabram dan Maitlis 2017).

Penelitian kuantitatif baru-baru ini juga menunjukkan “sisi gelap” dari panggilan. Misalnya saja, musisi yang memiliki rasa panggilan yang kuat di awal kehidupannya cenderung membesar-besarkan persepsi mereka tentang kemampuan mereka sendiri (Dobrow dan Heller 2015) dan kurang menerima nasihat karier (Dobrow dan Tosti-Kharas 2012). Penjaga kebun binatang dengan rasa panggilan yang kuat memikul beban tugas moral dan pengorbanan serta menunjukkan lebih banyak kritik terhadap manajemen dan rekan kerja mereka (Bunderson dan Thompson 2009).

Sisi gelap juga akan berdampak pada hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sementara nilai-nilai di luar pekerjaan tidak semuanya sejalan dan bahkan kontra akan mengganggu, atau keterbatasan fisik juga akan menyebabkan kelelahan. Dampak panggilan ini antaran lain konflik pekerjaan-keluarga, pekerjaan-sosial. Penelitian panggilan belum memeriksa dengan cermat proses penemuan panggilan. Dobrow dan Tosti-Kharas (2012) memberikan wawasan berharga mengenai dampak orientasi panggilan yang dimulai pada masa remaja namun tidak mengkaji proses penemuan yang melaluinya subjek menyadari bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi musisi. Bott dan Duffy (2015), dalam studi longitudinal terhadap mahasiswa sarjana, menunjukkan bahwa generasi muda lebih mungkin mengalami panggilan di kemudian hari ketika mereka secara eksplisit mencari makna sebagai mahasiswa dan dengan sengaja terlibat dalam pengembangan diri. Temuan ini memberikan beberapa petunjuk awal tentang apa yang mempengaruhi seseorang untuk menemukan panggilan hidup.

Mungkin panggilan tidak ditemukan dalam satu peristiwa penting atau pencerahan. Seperti yang dikemukakan Duckworth (2016), kebanyakan orang cenderung “jatuh cinta” dengan pekerjaan mereka melalui proses melatih ketabahan seiring berjalannya waktu saat menghadapi rintangan. Gagasan bahwa pekerjaan menjadi bermakna melalui usaha dan pengorbanan konsisten dengan pandangan neoklasik tentang panggilan. (dapat di jelaskan oleh SDT)

 

Pakar PSM mempunyai posisi yang unik untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang apakah panggilan yang berbeda dalam pelayanan publik lebih atau kurang bergantung pada PSM (misalnya, apakah pekerja sosial memiliki rasa panggilan yang lebih kuat dibandingkan, katakanlah, pegawai administrasi meskipun tingkat PSM sama?) Kedua, fokus penelitian terhadap “sisi gelap” dari panggilan telepon baru-baru ini dapat merangsang penyelidikan baru untuk PSM. Dapatkah PSM tingkat tinggi, seperti tingkat panggilan yang tinggi, menumbuhkan penolakan terhadap umpan balik (Dobrow dan Tosti-Kharas 2012), ketegangan pada keluarga (Kreiner, Hollensbe, dan Sheep 2009), atau kritik terhadap manajemen dan sesama karyawan? (Bunderson dan Thompson 2009).

Ritz, 2016 menjelaskan peta PSM. Pertama, sekitar 12 persen dari lebih dari 300 artikel membahas tentang konseptualisasi, pendefinisian, atau teori tentang PSM (termasuk integrasi dengan teori lain). Kedua, Ritz, Brewer, dan Neumann (2016) mengamati bahwa “motivasi pelayanan publik masih terikat erat dengan bidang administrasi publik” dan sebagian besar kontributor PSM terlatih dalam administrasi publik. Tersirat dalam pengamatan ini adalah perlunya mengekspos, membandingkan, membedakan, dan mengintegrasikan PSM dengan konsep lain—termasuk konsep yang lebih sering digunakan di luar bidang administrasi publik. Bozeman dan Su (2015, 703) memperkuat pengamatan ini dalam kritik mereka terhadap PSM, dengan menyatakan bahwa konsep PSM mendapat sandungan dari konsep lainnya seperti altruisme dan prososial atau konsep membantu atau kebaikan adalah energi yang akan kembali pada diri sendiri dengan berkali-kali lipat.

Beberapa bukti bahkan menunjukkan adanya dasar untuk hal ini. Misalnya, Brewer, Selden, dan Facer (2000) menemukan bahwa panggilan muncul sebagai tema dalam patriotisme, salah satu dari empat konsepsi individu PSM dalam studi mereka. Frederickson (1997) mengacu pada “panggilan pelayanan publik” sebagai inti dari “semangat administrasi publik.” (68) • Profesi administrasi publik biasanya dipandang sebagai suatu panggilan khusus, dan mereka yang menjawab panggilan tersebut dipandang berbeda dari mereka yang tidak. (81).

Bozeman dan Su (2015, 704) juga tampaknya mengeksplorasi potensi hubungan ini dalam mendesak kejelasan konseptual dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Apa sifat dari 'panggilan' sekuler? Apakah seseorang perlu menjadi pegawai pemerintah agar dapat dipanggil dan memiliki 'komitmen terhadap kebaikan bersama, bukan sekadar kepentingan pribadi'?” Kami mengembangkan kerangka kerja untuk membahas hal ini dan pertanyaan terkait di bagian berikut.

Meskipun terdapat tumpang tindih, PSM dan pemanggilan secara konseptual berbeda. Kedua konsep ini berbeda dalam pendekatannya terhadap pertanyaan tentang motivasi dan implikasi yang dapat diambil dari keduanya. Selain itu, mengingat kekhawatiran tentang kurangnya paparan PSM terhadap konstruksi lain, kami memandang pemanggilan sebagai memberikan wawasan tambahan yang mungkin bermanfaat bagi pemahaman kita tentang apa yang membuat pegawai negeri tergerak. Namun, pemanggilan tidak dan tidak seharusnya menggantikan PSM. Kami berpendapat bahwa kedua konsep tersebut saling melengkapi; mereka memberikan dua lensa berharga yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan makna pekerjaan di sektor publik.

Membaca fitur definisi ini, jelas bahwa pemanggilan dan PSM tumpang tindih dalam penekanannya pada layanan berorientasi lain (Brewer, Selden, dan Facer 2000; Dik dan Duffy 2009). Namun sebaliknya, PSM awalnya menetapkan batasan seputar pilihan sektor atau industri jasa sebagai hal yang tersirat dalam definisi tersebut (Perry dan Wise 1990). Namun penelitian terkini telah memperluas pandangan tersebut, dengan menyatakan bahwa PSM dapat diterapkan pada semua pekerjaan pelayanan publik—apa pun sektornya (Christensen dan Wright 2011 ; Moulton dan Feeney 2011 )— termasuk pekerjaan di sektor nirlaba (Clerkin dan Coggburn 2012; Taylor 2010) dan pekerjaan yang berpusat pada komitmen umum terhadap komunitas (Nowell et al.2016). Definisi PSM saat ini mencerminkan cakupan yang lebih luas; misalnya, Vandenabeele (2007, 547) menggambarkan PSM sebagai “keyakinan, nilai-nilai, dan sikap yang melampaui kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi, namun juga menyangkut kepentingan entitas politik yang lebih besar dan memotivasi individu untuk bertindak sesuai dengan hal tersebut kapan pun diperlukan.”

Di sisi lain, panggilan tidak pernah diasosiasikan dengan sektor tertentu, melainkan merujuk pada sifat spesifik dari sebuah karya dan proses penemuannya, yaitu, bakat pribadi, hasrat, sebab-sebab, dan rasa takdir yang menuntun seseorang pada suatu bidang tertentu. fokus pada jenis pekerjaan yang didefinisikan secara ketat (lihat Bunderson dan Thompson 2009 ; Dobrow dan Tosti-Kharas 2011 ). Panggilan juga menambahkan gagasan tentang “panggilan”—sebuah kebutuhan sosial tertentu yang mengundang pekerja dengan cara yang unik (Dik dan Duffy 2009).

Para pakar PSM telah mencapai konsensus bahwa konstruksinya bersifat multidimensi, meskipun satu dimensi—ketertarikan pada pembuatan kebijakan—masih kontroversial (Ritz 2011). Dimensi PSM yang lebih diterima secara luas yang menyempurnakan definisi panggilan mencakup pengorbanan diri, kasih sayang, dan komitmen terhadap kepentingan publik. PSM menimbulkan pertanyaan mengenai sektor mana atau, dengan definisi yang lebih luas, pekerjaan pelayanan publik yang mana—apakah sektor publik, nirlaba, atau swasta (lihat Christensen dan Wright 2011 ; Clerkin dan Coggburn 2012 ; Moulton dan Feeney 2011. Para ahli berpendapat bahwa PSM didorong oleh campuran motif afektif, normatif, dan rasional (Perry dan Wise 1990). Namun masing-masing dorongan ini bergantung pada proses sosialisasi dimana pegawai menjadi sadar akan peluang terstruktur untuk pelayanan publik

 

Pengungkit Manajerial

Terakhir, dan mungkin yang paling penting dalam mendorong kita menuju penerapan praktis, PSM dan panggilan berbeda dalam hal alat yang mungkin digunakan manajer dalam mengawasi orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan berorientasi lain. Karena PSM digambarkan sebagai disposisi untuk memberikan pelayanan publik, hal ini menunjukkan bahwa manajer dapat memotivasi karyawan dengan mengartikulasikan visi manfaat pelayanan publik, menunjukkan kepemimpinan transformasional, dan menyoroti valensi misi (misalnya, Wright, Moynihan, dan Pandey 2012).

Sebuah contoh yang baik mengenai peran kepemimpinan yang berfokus pada PSM adalah penelitian Grant (2008b) yang menunjukkan dampak motivasi dalam menghubungkan pekerja dengan penerima manfaat dari pekerjaan mereka. Grant mengilustrasikan, misalnya, bagaimana percakapan singkat dengan seorang penerima beasiswa sangat meningkatkan upaya yang dilakukan oleh para penelepon universitas dalam pekerjaan mereka serta efektivitas mereka dalam meminta sumbangan. Efeknya bertahan setidaknya selama satu bulan.

Literatur panggilan menyarankan beberapa pengaruh manajerial yang berbeda untuk membantu memotivasi pekerja yang berorientasi pada layanan. Meskipun manajer dapat menggunakan komunikasi yang menarik untuk menanamkan motivasi pelayanan publik yang lebih besar kepada karyawannya, seorang manajer tidak dapat dengan sengaja memberikan panggilan kepada orang lain karena panggilan tersebut berakar pada bakat yang melekat pada individu.

PSM hanya mengandalkan konteks pelayanan publik, Calling memperkenalkan pengamatan bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dalam pelayanan publik sangatlah penting. Tinjauan kami terhadap PSM dan konsep pemanggilan menunjukkan banyak perbedaan utama dalam sejumlah pertimbangan (lihat tabel 1). PSM, dengan fokusnya pada sektor publik, memberikan banyak penjelasan tentang atribut dan logika kelembagaan yang membentuk seseorang menuju pekerjaan (misalnya, Van Loon, Vandenabeele, dan Leisink 2015).

Kami berpendapat—sebagian besar secara konseptual/teoritis—bahwa panggilan dan PSM akan berkorelasi positif namun berbeda secara empiris. Penelitian mengenai calling hampir tidak mempertimbangkan bagaimana struktur kelembagaan dan budaya mempengaruhi kemungkinan terjadinya calling development. PSM memberikan konstruksi dan serangkaian tindakan yang memungkinkan para peneliti untuk memeriksa bagaimana nilai-nilai organisasi yang berlaku dapat berdampak pada pembentukan panggilan.

Untuk memberikan langkah pertama menuju pengorganisasian dan eksplorasi empiris kemungkinan-kemungkinan menarik ini, kami menguraikan beberapa kelompok pertanyaan penelitian yang kami pandang sebagai inti agenda ilmiah untuk mensintesis PSM dan menyebut penelitian.

Menyelidiki perbedaan dalam pendahulunya adalah salah satu cara yang berpotensi bermanfaat untuk menjelaskan dengan lebih baik kekhasan empiris dari konsep-konsep tersebut. Namun, tinjauan kami juga mengungkapkan bahwa terdapat banyak bidang yang tumpang tindih dan, yang lebih penting, peluang untuk melakukan penyelidikan di mana setiap konstruksi dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi kepada yang lain. Misalnya, pemupukan silang antara panggilan dan PSM memberikan beragam paparan yang dirujuk oleh Bozeman dan Su (2015) dan hanya dapat memperkuat PSM sebagai konstruksi makna dan tujuan di bidang administrasi publik.

 

Menjelajahi Anteseden PSM dan Calling

Terkait dengan panggilan hidup, Duffy dan Autin (2013) menunjukkan bahwa generasi muda dengan pendapatan lebih tinggi dan pendidikan lebih tinggi cenderung mendukung pentingnya menjalani panggilan hidup. Bunderson dan Thompson (2009) telah menunjukkan bahwa panggilan sebenarnya berhubungan negatif dengan gaji, sehingga semakin mempertanyakan gagasan bahwa hanya mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi yang dapat mengalami panggilan. Tetapi dapat di jelaskan keberadaan orang yang berstatus sosial tinggi tidak pernah mengalam masa kesusahan dan membuat dia bisa merasakan kepedihan yang belum pernah di rasakan.

Implikasinya bagi para pemimpin adalah bahwa PSM adalah keadaan yang memerlukan pengasuhan manajerial, sedangkan ketika karyawan mengalami panggilan, mereka mungkin lebih mampu mempertahankan motivasi mereka sendiri

 

Menjelajahi Sisi Gelap PSM

Para sarjana juga telah menunjukkan bahwa panggilan yang tidak terpenuhi merupakan kesulitan bagi karyawan. Ketika seseorang merasakan suatu panggilan tetapi tidak dapat melaksanakannya, dia cenderung melaporkan penurunan kesehatan fisik dan psikologis (Gazica dan Spector 2015) dan penurunan kesejahteraan secara umum (Duffy, Douglass et al. 2016). Berg, Grant, dan Johnson (2010) telah menunjukkan bahwa orang-orang dengan panggilan. Apalagi jika melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan panggilan atau PSM nya semakin menyakitkan psikologis.

Panggilan tampaknya melindungi karyawan dari kelelahan, misalnya (Duffy, Douglass dkk. 2016; Hagmaier, Volmer, dan Spurk 2013). Meskipun memberikan tuntutan yang signifikan kepada karyawan, panggilan juga tampaknya memberikan sumber ketahanan bagi karyawan. Kami mengetahui bahwa belum ada penelitian yang mengeksplorasi dinamika pekerjaan di sektor publik. Memang benar bahwa terdapat dua sisi panggilan yang lebih menonjol di sektor publik dibandingkan di sektor swasta. Karena gaji di sektor publik cenderung lebih rendah, pegawai yang dipanggil mungkin memikul lebih banyak beban pengorbanan. Terlebih lagi, pertaruhan yang dipertaruhkan di sektor publik sering kali sangat besar—terutama ketika seseorang berupaya mengatasi masalah-masalah sosial penting yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah.

 

“gaji kecil dan beban sosial yang lebih berat dan komples”= masalah sektor publik

 

Kami memperkirakan pegawai negeri yang memiliki panggilan tidak akan terlalu terbebani antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga dibandingkan rekan-rekan mereka di sektor swasta. Namun, pada saat yang sama, kami mengantisipasi bahwa pengalaman menelepon akan menumbuhkan ketekunan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan-tantangan ini. Secara anekdot, kita dapat melihat banyak pemimpin sektor publik yang tetap bertahan dalam pekerjaannya meskipun ada hambatan eksternal, kurangnya imbalan, dan lambatnya pencapaian hasil. Konstruk pemanggilan memberikan kekuatan penjelasan yang unik untuk memahami fenomena ini.

Orang-orang dengan orientasi PSM mungkin lebih kebal terhadap perubahan-perubahan dalam pekerjaan mereka karena mereka didorong oleh perspektif yang lebih luas mengenai kesuksesan dalam komunitas secara luas; mereka mempunyai lebih banyak dimensi untuk dipertimbangkan ketika mereka menilai apakah pekerjaan mereka mempunyai dampak.

 

Kesimpulan

Kami berpendapat bahwa PSM dan pemanggilan adalah konsep yang saling terkait namun ortogonal. Mereka sering terjadi bersamaan. Tapi yang satu bisa diamati tanpa yang lain. Masyarakat sering kali merasakan panggilan di luar pelayanan publik, dan banyak pegawai negeri menunjukkan PSM tanpa merasakan adanya keniscayaan yang ditunjukkan oleh panggilan tersebut. Faktanya, kategori terakhir inilah yang memberikan stereotip tidak termotivasi kepada birokrat publik.

Daripada menyarankan “pacuan kuda” antara PSM dan panggilan, kami berpendapat bahwa keduanya saling melengkapi dalam pemahaman kita tentang mengapa seseorang mungkin tertarik, bertahan, dan bahkan mungkin berpisah dari pekerjaan pelayanan publik. Banyak pertanyaan lain, beberapa di antaranya telah kami uraikan di atas, menghadiri persimpangan menarik antara PSM dan kontribusi panggilan terhadap psikologi kerja

 

0 comments:

Posting Komentar