BAB I PENDAHULUAN


Motivasi Pelayanan Publik Dalam Perubahan Layanan Digital Dan Perkembangan Organisasi Yang Adaptif

BAB I

PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Organisasi adalah kumpulan individu-individu yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Robbins, 1983; Mooney, 1947). Tujuan merupakan hal yang sangat penting yang harus dipahami oleh individu yang berada dalam suatu organisasi. Tujuan juga seharusnya menjadi faktor determinan seseorang menentukan pilihan untuk bergabung dalam organisasi terutama di sektor publik (Asseburg & Homberg, 2018; Wright, Hassan, & Christensen, 2017). Dalam Alenia ke 4 konstitusi negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan negara indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan negara tersebut dibentuklah sistem pemerintahan yang bertugas menjalankan roda pemerintahan negara dipimpin oleh presiden dengan dibantu oleh menteri-menterinya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 Tentang Kementerian Keuangan disebutkan bahwa Kementerian Keuangan bertugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan kekayaan negara untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam menjalankan tugas tersebut kementerian keuangan dibantu oleh unit eselon satu diantaranya adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bertugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan fasilitas, serta optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masing-masing organisasi di bawahnya harus memiliki spesialisasi tugas pokok yang dapat menunjang tujuan tercapainya tujuan pemerintahan Republik Indonesia.

Tujuan organisasi seharusnya menjadi landasan awal seseorang dalam memilih bergabung dalam sektor tertentu (Jäkel dan Borshchevsky, 2019; Asseburg & Homberg, 2018; Wright, Hassan, & Christensen, 2017). Organisasi pemerintah merupakan organisasi sektor publik yang mendedikasikan tujuannya untuk sektor publik. Berbagai gejolak dalam tata kelola kepegawaian muncul dikarenakan pegawai tidak memahami tujuan dari organisasi dan bertindak dengan cara dan perilaku sendiri untuk mencapai tujuan individu. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor organisasi yang dirasakan secara langsung (Thoha, 2002). Organisasi pada akhirnya menerapkan berbagai upaya untuk menjalankan nilai-nilai organisasi. Kementerian keuangan telah menetapkan nilai-nilai organisasi melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 312/KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yaitu integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan dan kesempurnaan. Nilai ini harus terinternalisasi dalam setiap pegawai dan mencapai kecocokan organisasi-individu (Day & Schleicher, 2012; KristofBrown dkk., 2016). Adanya kecocokan nilai organisasi dan individu serta pencapaian tujuan yang sama akan mendorong individu untuk bekerja ekstra dalam memberikan pengabdian kepada publik (van Loon, 2017; Warren & Chen, 2013). Hal ini akan menjadi sumber daya yang besar di tengah kekurangan sumber lainnya karena manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam organisasi publik.

Menurut Richard Scott (1995) dalam buku “Institution and Organization” menjelaskan mengenai tiga pilar institusi untuk mencapai tujuan organisasi yaitu regulasi, normatif dan budaya. (1) Regulasi yaitu aturan tertulis organisasi yang harus ditaati dan menjadi dasar yang harus dijalankan semua anggota organisasi yang memiliki kewenangan dan kekuatan untuk dapat membuat individu melaksanakan peraturan tersebut. (2) Pilar normatif adalah aturan kode etik dalam lingkungan organisasi yang merupakan nilai-nilai yang ditetapkan oleh organisasi. (3) kultural kognitif yaitu pemahaman bersama mengenai perilaku dan cara organisasi dalam menterjemahkan arah organisasi, pemahaman ini dibawa oleh pimpinan ke semua individu dalam organisasi sehingga memiliki cara pandang yang sama dan berjalan sesuai dengan tujuan yang sama.

Penerapan transformasi kementerian keuangan untuk mencapai tujuan organisasi telah dimulai sejak 2002 dengan dikeluarkannya seperangkat regulasi di bidang keuangan antara lain UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang perbendaharaan negara, UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, UU No. 17/2006 tentang Kepabeanan. Dalam melaksanakan pilar normatif Kementerian keuangan juga telah mengeluarkan seperangkat norma-norma kode etik melalui penetapan KMK-312/2011 tentang nilai-nilai kementerian keuangan, PMK-190/2018 tentang kode etik dan kode perilaku di kementerian keuangan, KMK-322/2021 tentang sistem pengendalian intern dan KMK-323/2021 tentang kerangka kerja integratif. Sementara itu untuk menjaga regulasi, nilai, norma dan etika diinternalisasikan dengan baik maka penunjukkan pemimpin dengan merit system dan kemampuan sebagai role model (Tran & Truong, 2021) agar mampu menerapkan internalisasi dalam setiap pegawai di kementerian keuangan. Pilar ini akan menciptakan budaya dengan kesamaan nilai dan tujuan pada setiap level pegawai.

Transformasi di organisasi bukan perubahan yang dimulai dari nol tetapi merupakan perjalanan panjang sebuah organisasi yang telah membentuk budaya dan nilai dalam organisasi itu sendiri. Kekuatan tiga pilar tersebut harus dapat berjalan bersama dengan regulasi yang kuat, norma organisasi yang telah diterima individu dan kepemimpinan yang mampu menjadi teladan dan menginternalisasi anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan nilai dan norma yang sama. Dalam birokrasi publik yang selalu berganti pimpinan setiap periode politik. Perubahan organisasi merupakan proses panjang dan sangat rumit, perbedaan pemimpin dalam menginternalisasi regulasi, nilai dan norma kepada pegawai berakibat terhambatnya internalisasi nilai organisasi.  Penginternalisasian dan kooptasi dalam menghadapi perubahan seringkali mendapatkan resistensi dari pegawai. Pembaharuan nilai memerlukan waktu yang panjang dan upaya yang konsisten secara terus menerus. Sementara itu dalam upaya yang sedang dilakukan tuntutan perubahan pun juga semakin cepat dan tidak pasti mengakibatkan proses internalisasi yang sedang berjalan harus siap mengalami perubahan lanjutan. Dampak yang dirasakan pegawai semakin tidak konsisten terhadap nilai, pada akhirnya membuat kebingungan pegawai. 

Perubahan tidak dapat dihindari tetapi dikelola sesuai kondisi. Sebuah organisasi tidak berada dalam lingkungan yang mati tetapi selalu berkembang. Perubahan merupakan sebuah siklus yang harus dilewati organisasi. Kemampuan merespon perubahan merupakan ciri perilaku adaptif organisasi (Swanson dan Holton, 2001). Organisasi cenderung untuk mencapai optimalisasi atau kondisi organisasi yang sangat efisien dan efektif. Dalam pencapaian tersebut diperlukan upaya yang besar dan panjang dan melewati berbagai rintangan untuk mencapai posisi puncak. Menurut Robbins (1991) perubahan akan membawa pada resistensi individu dan resistensi kelompok. Resistensi individu dikarenakan faktor kebiasaan, faktor comfort zone, faktor ekonomi, faktor ketidakjelasan tujuan, faktor ketidakpastian, faktor kurangnya pengetahuan dan persepsi, sedangkan resistensi kelompok karena adanya Inersia struktural, dampak perubahan yang meluas, inersia kelompok kerja, ancaman terhadap keahlian, ancaman terhadap kekuasaan dan ancaman terhadap alokasi sumber daya. 

Pegawai publik berbeda dengan sektor private dimana dalam bekerja pegawai publik bertanggung jawab kepada publik dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan publik diatas kepentingan pribadi (Christensen et al., 2017; Mussagulova & van der Wal, 2021). Wewenang yang ada pada pegawai publik merupakan wewenang yang diatur dalam perundang-undangan yang telah diamanahkan untuk dilaksanakan demi kepentingan umum. Transparansi dan akuntabilitas pelaksanaanya harus disampaikan secara terbuka. Upaya yang telah dilakukan pegawai publik akan dikritisi dari berbagai perbedaan pendapat dan kepentingan dalam menyelesaikan isu publik. Dengan semakin terbukanya organisasi publik maka kompetensi yang harus dimiliki pegawai publik juga harus  meningkat. Kritik lain juga datang dari privasi pegawai publik itu sendiri, dimana sebagai pegawai publik maka hal-hal yang menjadi privasi pada pegawai publik tetap harus disampaikan kepada publik seperti laporan harta kekayaan pegawai publik, gaya hidup serta berbagai upaya lainnya yang membatasi kebebasan berekspresi. Apabila nilai-nilai publik dan norma-norma etika publik sudah menginternalisasi kepada individu pegawai publik maka peraturan tersebut hanya untuk menjaga mereka yang belum menginternalisasi nilai dan etika publik.

Dalam organisasi publik, etika dan nilai organisasi publik harus dipahami oleh semua pegawai publik. Individu harus mampu untuk menyelaraskan antara moral pribadi ke dalam etika organisasi publik. Keselarasan antara nilai individu dan organisasi akan mengoptimalkan kinerja organisasi dan dapat membangkitkan motivasi internal. Organisasi dapat mencapai tujuan dengan resource yang maksimal pada individu apabila mampu memaksimalkan motivasi internal pegawai. Pengelolaan motivasi pegawai dalam bekerja akan membantu organisasi dalam melakukan efisiensi dan mengoptimalisasi sumber daya manusia untuk menjalankan tugasnya secara maksimal. Dalam teori self determination theory (Ryan dan Deci, 2000) motivasi bergerak dari amortisasi ke ekstrinsik motivasi dan menjadi Intrinsik motivasi, kesinambungan motivasi intrinsik yang didukung oleh faktor-faktor seperti dampak positif yang menjadi pengalaman pegawai dan dilaksanakan secara terus menerus akan menginternalisasi pegawai menjadi individu yang kreatif dan inovatif dalam mencapai tujuan organisasi (Kroll and Vogel, 2014). Upaya ini harus didorong agar pegawai dapat mencapai motivasi intrinsik nya dalam menjalankan tugas organisasi. Individu yang memiliki tujuan yang sama dengan organisasi akan sangat termotivasi dalam bekerja.

Berbagai upaya untuk memelihara terjaganya motivasi intrinsik antara lain adalah dengan pendidikan dan pengembangan pegawai, menempatkan orang yang tepat pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat pegawai, peran pimpinan, doktrinasi budaya, penghargaan atas kinerja dan nilai-nilai organisasi kepada pegawai agar individu memiliki tujuan yang sama dengan organisasi. Kemampuan dan keahlian dapat meningkatkan motivasi intrinsik. Dalam era digital, informasi yang berkembang dalam masyarakat sangat luas, lingkungan sosial yang dihadapi membuat perubahan yang sangat cepat. Perubahan tersebut mempengaruhi  struktur organisasi dikarenakan lingkungan sosial berubah, organisasi juga harus menyesuaikan dengan kondisi sosial yang ada. Selain Tantangan eksternal, organisasi juga menghadapi tantangan dari internal. Saat ini perubahan dalam internal terjadi sebagai imbas dari perubahan sosial. Upaya pencarian bentuk organisasi saat ini masih terus berproses untuk mencari bentuk ideal yang sejalan dengan tujuan, potensi, sumber daya organisasi.

Dua hal tersebut membuat organisasi harus mampu bertahan menyesuaikan dengan lingkungan eksternal maupun internal yang saat ini sedang mengalami perubahan pasca pandemi. Demografi pegawai yang didominasi generasi milenial, perkembangan teknologi dan cara hidup sosial baru yang terjadi menjadi rangkaian peristiwa yang membuat stabilitas organisasi menjadi terganggu dan harus dapat menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Manajemen organisasi harus mampu melihat tantangan tersebut dengan memanfaatkan setiap sumber daya yang dimiliki untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan struktur organisasi, perubahan cara bekerja, perubahan sistem dan tatanan lainnya harus dapat diupayakan untuk membentuk struktur terbaik dengan segala potensi yang ada. Dominansi generasi milenial yang sangat berbakat dalam teknologi harus diupayakan semaksimal mungkin sebagai sumber daya yang handal. Model pengambilan keputusan yang didesentralisasikan, model kerja pegawai generasi milenial juga harus disesuaikan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal. Tetapi terdapat kekhawatiran bahwa sumber daya  manusia saat ini belum mampu menginternalisasi nilai-nilai organisasi dengan baik. Berbagai peraturan serta budaya organisasi patrimonial masih menghambat keikutsertaan generasi milenial dalam upaya ikut serta dalam pengambilan keputusan, Pejabat birokrasi mulai dari Eselon 1,2 3 dan 4 masih didominasi oleh generasi X yang memiliki cara kerja berbeda termasuk dalam mengikutsertakan peran generasi milenial dalam pengambilan keputusan. Norma dan budaya organisasi masih belum mendukung partisipasi terhadap semua pegawai dalam berperan aktif membuat keputusan. 

Perubahan yang masih belum utuh dalam struktur manajerial dikarenakan sejarah panjang yang telah dilalui organisasi, merubah suatu nilai yang sudah sangat kuat pada individu bukanlah perkara yang mudah. Nilai organisasi pada sebagian besar pegawai sudah mengkristal dan sulit untuk dirubah. Citra yang tampak pada organisasi publik juga berdampak pada regenerasi pegawai yang telah kehilangan makna dari sebuah organisasi publik. Hilangnya citra birokrasi sebagai organisasi yang bekerja atas nama publik telah mengundang banyak calon pegawai untuk bekerja dalam organisasi publik hanya karena faktor keterjaminan pekerjaan, keamanan kerja, keinginan orang tua, dan keterjaminan masa tua (Jäkel & Borshchevsky, 2019). Hilangnya nilai organisasi publik di dalam persepsi masyarakat mengakibatkan regenerasi pegawai publik yang benar-benar berorientasi pada publik semakin sulit dan menjadi tantangan organisasi dalam menginternalisasi nilai-nilai publik pada individu yang memiliki tujuan berbeda. Semakin besar perbedaan nilai individu dengan nilai organisasi maka semakin besar upaya organisasi dalam menginternalisasikan nilai tersebut. Seorang pegawai yang masuk kedalam organisasi publik yang tidak dilatarbelakangi oleh nilai publik tetapi hanya persepsi bahwa menjadi pegawai publik akan memberikan status sosial, jaminan ekonomi, penghasilan yang baik, jaminan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua serta manfaat lainya tetapi melupakan hal utama yaitu pengabdian dan pengorbanan akan membuat pertentangan nilai individu dan organisasi di waktu bekerja dalam organisasi publik. 

Sebagai salah satu institusi di bawah kementerian keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki citra dan persepsi di masyarakat sebagai organisasi yang “basah”. Citra ini tidak lepas dari sejarah panjang yang diakibatkan oleh perjalanan organisasi.  Informasi yang berada di dalam masyarakat terkait remunerasi dan tunjangan kinerja di kementerian keuangan juga telah mengundang pelamar untuk bekerja di kementerian keuangan dengan berbagai motif.  Semakin berbeda tujuan individu dan organisasi akan semakin sulit internalisasi nilai organisasi ke dalam individu. Perbedaan ini mengharuskan organisasi mencari cara yang efektif untuk mengelola nilai organisasi dalam individu. Berbagai faktor tersebut menjadi sebuah tantangan bagi DJBC untuk dapat memperbaiki citra dengan mengoptimalkan perbaikan pelayanan, efisiensi, kekuatan internal serta perbaikan lainnya untuk menunjukkan citra yang baik dalam masyarakat. Hal ini semata-mata mengembalikan makna DJBC sebagai organisasi yang memiliki marwah, berjuang demi masyarakat dan memberikan pelayanan terbaik. Dalam merubah nilai-nilai organisasi yang puluhan tahun telah terbentuk diperlukan waktu yang panjang dengan segala resistensi dan gejolak terutama dari sisi internal. Ditambah sistem dan cara baru menghadapi tantangan yang jauh lebih besar karena perubahan eksternal yang semakin cepat. Penerapan nilai yang paling utama adalah bagaimana organisasi publik menghapus nilai-nilai lama yang salah dan mengganti dengan nilai-nilai baru yang adaptif, visioner dan inovatif.

Langkah mengembalikan nilai publik dan menginternalisasi tujuan merupakan langkah awal yang dilakukan organisasi untuk dapat kembali pada tujuannya, setelah sekian lama nilai tersebut berkembang dan telah berbeda dari tujuan awalnya. Upaya perubahan nilai tersebut dilaksanakan secara terus menerus, dengan disertai oleh ketegasan organisasi, peran pimpinan, sosialisasi, punish dan reward serta berbagai upaya lainnya untuk merubah citra tersebut. Pendekatan formal maupun informal harus dilakukan dengan berbagai tantangan yang besar dari eksternal maupun internal. Keberhasilan merubah nilai pegawai merupakan keberhasilan dasar untuk mewujudkan organisasi yang lebih baik. Perubahan nilai kedua adalah dengan menumbuhkan nilai dan tujuan yang sama pada setiap pegawai dalam organisasi. Internalisasi nilai-nilai organisasi terus dilakukan di tengah gejolak penghapusan nilai-nilai yang lama yang masih mengakar. Kesulitan terjadi karena upaya-upaya yang dilakukan tidak merata sehingga mempersulit penerapan secara langsung. Upaya organisasi tetap harus difokuskan pada prioritas dan tempat-tempat strategis dalam melaksanakan perubahan tersebut karena adanya keterbatasan. Di tengah proses yang berat tersebut perubahan lain dari eksternal dan gejolak internal harus segera direspon dalam pemenuhan strategi baru dalam pembaharuan nilai organisasi.

Dalam menghadapi tantangan tersebut kementerian keuangan telah mempersiapkan dengan rangkaian inisiatif strategis dan reformasi birokrasi  dan transformasi kelembagaan (Kemenkeu, 2022). Secara teoritis idealnya pelaksanaan inisiatif strategis ini melibatkan semua pegawai tapi budaya dan nilai yang masih berjalan mempersulit realitas partisipasi secara keseluruhan karena adanya gap antara manajerial dan staff. Perbedaan status, kesempatan partisipasi, kematangan menyampaikan masalah perlu benar-benar diamati dan diformulasikan sehingga dapat menyerap aspirasi dengan baik, jangan sampai strategi rencana inisiatif dan RBTK hanya formalitas di tingkat manajemen. Upaya RBTK ini ditindaklanjuti dengan cara yang menarik seperti sebuah festival tahunan, sosialisasi melalui medsos, kemasan podcast yang menarik, sharing session, penerbitan berita transformasi, focus group discussion dimana kegiatan-kegiatan ini seharusnya dapat menyerap aspirasi perubahan dari eksternal maupun internal. Tetapi budaya dan kemampuan individu yang berbeda-beda mempengaruhi keterlibatan dan partisipasi aktif pegawai. Tidak semua aspirasi terserap karena struktur birokrasi yang masih kuat dengan budaya top-down (Homberg dkk., 2019), sehingga aspirasi kelompok bawah sering kali tidak tampak karena sulitnya menjembatani aspirasi tersebut ke tingkat yang dapat diimplementasikan. Keberhasilan organisasi menyerap aspirasi internal dan mengubahnya menjadi kekuatan yang dapat menghadapi tuntutan eksternal memerlukan upaya penguatan internal termasuk meyakinkan dan memperhatikan individu dalam organisasi agar memberikan sumber daya terbaiknya untuk organisasi.  Menurut teori pertukaran sosial bahwa organisasi yang memberikan manfaat bagi anggotanya akan dibalas oleh loyalitas, pengabdian dan perjuangan dari anggota untuk mencapai tujuan organisasi (Cropanzano & Mitchell, 2005).

Semakin beragamnya nilai individu pegawai yang hidup dalam sosial digital dengan berbagai pendapat, ekspresi, pengaruh budaya dan nilai-nilai eksternal mengakibatkan nilai organisasi semakin tenggelam dan tidak dapat terinternalisasi karena kompleksnya perubahan internal dan eksternal yang terus terjadi. Percampuran nilai-nilai lama, nilai nilai baru organisasi dan nilai-nilai baru individu akan semakin memperkeruh proses internalisasi organisasi. Langkah adaptif harus kembali kepada visi dan misi organisasi serta tujuan dari pemerintahan. Hal ini harus diinternalisasikan pada setiap pegawai. Upaya untuk menanamkan nilai-nilai organisasi juga dilakukan melalui cara-cara yang tidak ketinggalan dengan kondisi saat ini seperti podcast, media sosial, tiktok, facebook tetapi dalam pelaksanaannya lebih banyak menjalankan ide dari pimpinan tidak melibatkan sepenuhnya pada level pelaksana sehingga cara-cara tersebut terkesan masih sangat formal dengan strategi yang baru.

Organisasi DJBC merupakan organisasi publik yang memiliki dua tujuan dan peran yang berbeda. Dua tujuan organisasi dalam DJBC menjadi sebuah paradox yaitu tujuan dalam pengawasan dan penegakan hukum yang berbanding terbalik dengan pelayanan dan fasilitator. Kedua hal ini dapat dilihat dari framework  Slippery slope (Kirchler, 2008) dimana pengawasan ketat yang akan semakin menurun dengan tingkat kepatuhan yang dilaksanakan. Konsep ini dipakai oleh sistem DJBC dimana setiap importir yang pertama melakukan kegiatan kepabeanan akan selalu dianggap sebagai pihak yang beresiko, semakin taat stakeholder dengan tidak adanya pelanggaran maka pengawasan pun akan semakin berkurang.

Perubahan budaya ke depan harus mampu menjawab tantangan dan menjadi organisasi yang selalu adaptif. Budaya adaptif ini harus mampu dipahami pegawai dalam menghadapi tantangan yang lebih besar di kemudian hari. Organisasi birokrasi lebih cocok pada lingkungan yang stabil sementara dalam menghadapi lingkungan yang berubah maka memerlukan organisasi yang adaptif. Bentuk organisasi birokrasi dinilai banyak pihak kurang tepat tetapi bukan berarti organisasi ini tidak dapat berjalan lagi. Birokrasi masih menjadi salah satu bentuk yang efisien dalam penataan organisasi yang besar seperti pemerintah. Perkembangan paradigma terbaru tentang organisasi juga tetap diperhitungkan dan dijadikan modifikasi dari bentuk organisasi birokrasi yang lama. Pemerintah sudah mengadopsi perkembangan paradigma baru seperti NPM, NPS maupun good governance. Tetapi pada umumnya pola birokrasi masih berpegang pada prinsip-prinsip  lama yaitu spesialisasi pekerjaan, hierarkis, dokumentasi tertulis, dan dijalankan secara mekanik. Paradigma baru juga tetap mewarnai dalam struktur birokrasi saat ini. Pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Paradigma seperti NPM terlihat dengan layanan prioritas terhadap perusahaan dengan persyaratan tertentu yang dapat menjadi perusahaan MITA yang memiliki karakter-karakter tertentu. Pelayanan prioritas ini mengadopsi bagaimana cara memperlakukan perusahan sebagai client. Paradigma ini diatur dalam PMK 229/2015 tentang Mitra Utama Kepabeanan.

Penerapan lain dari paradigma tersebut pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai antara lain dalam pelayanan publik digital yang semakin transparan dan akuntabel melalui aplikasi-aplikasi digital yang memberikan ruang serta informasi proses dari pelayanan publik. Penerapan standarisasi pelayanan melalui International Standardization Organization (ISO) untuk menjamin mutu proses pelayanan publik. Penilaian kinerja berlandaskan balance scorecard, penilaian dari lembaga-lembaga lain seperti Menpan RB maupun KPK dalam mengawasi kinerja dan aparatur pegawai serta survei kepuasan masyarakat terkait pelayanan yang dilakukan oleh internal maupun oleh pihak eksternal. Dalam menjaga kerja keras dan tuntutan tersebut pegawai tetap di pacu motivasi melalui beberapa cara. Menurut Clark dan Wilson (1961) terdapat tiga tipe organisasi dalam memberikan insentif kepada pegawai yaitu material (insentif berupa nilai moneter seperti gaji, bonus, sarana dan prasarana), solidaritas (budaya kerja) dan kesamaan tujuan (antara organisasi dan individu). 

Organisasi publik seharusnya lebih menekankan pada insentif tujuan sebagai langkah awal dalam memacu motivasi pegawai karena sektor publik dan sektor swasta memiliki cara operasi kerja yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Rainey (1982) tentang insentif yang disediakan pada kedua sektor membandingkan antara middle manager di sektor publik dan privat dalam membuat keuntungan bagi organisasi. Skala pengukuran insentif, tujuan organisasi yang jelas dan karakter individu. Rainey menemukan bahwa manajer sektor publik memiliki persepsi hubungan yang lemah antara kinerja dan ekstrinsik reward artinya ekstensif reward sebenarnya tidak terlalu mendukung kinerja, tetapi untuk kejelasan tujuan organisasi tidak ditemukan perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memberikan pelayanan publik tidak semata-mata mengharapkan timbal balik moneter. 

Selain itu, tolak ukur kinerja pegawai publik masih menjadi perdebatan dan kesulitan dalam penerapannya sehingga dianggap gagal oleh beberapa sarjana dalam pemberian reward moneter berbasis kinerja pada pegawai publik (Perry, Mesch, & Paarlberg, 2006) tetapi walaupun banyak mendapat kritik sistem ini tetap diadopsi sebagai cara pandang paradigma kebijakan publik berbasis NPM (Hyndman & Ende, 2001) termasuk di kementerian keuangan sebagai organisasi publik yang menerapkan kebijakan remunerasi atau tunjangan berbasis kinerja. Melalui Peraturan Presiden Nomor 156/2014 tentang Tunjangan kinerja pegawai di lingkungan kementerian keuangan. Penerapan tunjangan kinerja ini menjadi rangkaian dalam reformasi birokrasi di kementerian keuangan yang juga merupakan adopsi dari paradigma NPM. Pengaruh insentif dalam meningkatkan kinerja sangat berhasil di sektor private (Lazear, 2000; Weibel, Rost, & Osterloh, 2010) tetapi dalam sektor publik motivasi intrinsik menjadi sumber utama peningkatan kinerja  (Crewson, 1997; Frey, Homberg, & Osterloh, 2013; Houston, 2000; Perry, 1997).

Penerapan insentif kinerja menjadikan kementerian keuangan sebagai organisasi birokrasi dengan pendapatan besar. Meningkatnya pendapatan juga diikuti dengan tuntutan yang semakin kompleks. Di banyak kesempatan Kementerian keuangan menjadi institusi leader dalam program-program reformasi. Peningkatan pendapatan ini juga menunjukkan pergeseran motivasi  internal kepada motivasi eksternal (Ruffini dkk., 2020). Kegagalan dari remunerasi pada sektor publik adalah alat ukur penilaian kinerja yang ditetapkan sesuai standar membuat pegawai fokus pada standarisasi yang telah ditetapkan tanpa melihat tujuan utama dari organisasi. Selain itu standarisasi yang ditetapkan dan dorongan motivasi intrinsik dapat menyebabkan pelepasan moral  (Benabou & Tirole, 2003; Falk und Kosfeld, 2006; Frey, 1997; Frey & Osterloh, 2002; Lidenberg, 2001; Weibel, Rost, & Osterloh, 2007). Kecerobohan dalam menerapkan motivasi intrinsik dan mengabaikan motivasi intrinsik seperti content pekerjaan, lingkungan kerja, kondisi kerja, dapat menyebabkan pegawai kehilangan motivasi intrinsiknya dan terjebak pada tuntutan remunerasi sesuai kontrak kinerja yang telah disepakati dengan organisasi.

Menurut Deci (1985) penurunan motivasi karena adanya remunerasi berbasis kinerja adalah disebabkan pengabaian terhadap motivasi intrinsik yang dimiliki oleh pegawai dan sangat berpengaruh dalam kondisi (1) pegawai sebelumnya sudah memiliki motivasi intrinsik dalam pekerjaannya. (2) tuntutan standarisasi dalam penilaian kinerja mengharuskan pegawai untuk memenuhi tuntutan-tuntutan sesuai standar yang telah ditetapkan dan membatasi pekerjaan pegawai karena standar telah ditetapkan dan dijadikan tolak ukur keberhasilan. (3) Efek kontrol tersebut mengakibatkan penurunan motivasi intrinsik karena mengejar motivasi ekstrinsik yang telah ditetapkan. 

Insentif bersandar pada model homo oeconomicus yang pada dasarnya manusia mementingkan perilaku indiviu, rasional, egois dan hanya akan melakukan sesuai dengan sistem insentif berupa penghargaan ataupun menghindari hukuman (Weibel, Rost, & Osterloh, 2010; Jensen & Murphy, 2010). Karakter yang ditonjolkan dalam sistem ini sangat berkebalikan dengan karakter organisasi publik yang seharusnya mementingkan perilaku prososial dan altruisme pada pegawai publik. Penerapan insentif juga menuai ketidakpuasan pada pegawai publik karena pengukuran kompensasi kinerja aparat publik selalu menghadapi ketidakjelasan dalam implementasi di sektor publik (Ruffini dkk., 2020).

Dalam upaya mengoptimalkan dengan tuntutan yang besar besar terhadap pelayanan publik (Luu, 2017) dan keterbatasan sumber daya yang ada memerlukan peranan motivasi intrinsik untuk menutup kesenjangan (Frey, Homberg, & Osterloh, 2013), Perry dan Wise (1990) mengemukakan konsep motivasi pelayanan publik sebagai orientasi individu dalam bekerja pada sektor publik. Konsep motivasi ini merupakan perilaku dan sumber energi yang melekat pada pegawai yang memiliki internalisasi nilai-nilai yang sama untuk tujuan publik dan tidak mengabaikan kebutuhan lainya seperti rasional, norma dan afeksi. 

Motivasi pelayanan publik atau PSM (public service motivation) lahir dari konsep nilai publik dimana sektor publik mementingkan kepentingan bersama sebagai wujud sosial (Bullock, Stritch, & Rainey, 2015).  PSM memberikan manfaat praktik yang besar terutama dalam manajemen sumber daya manusia (Asseburg, Homberg, & Vogel, 2018; Waldner, 2012). Konsep PSM  ini berbeda dengan konsep prososial altruisme (Schott, Neumann, Bärtschi, & Ritz, 2016, working paper). Proses pembentukan PSM dan outcome PSM menjadi subjek penelitian, faktor determinan yang menentukan PSM seseorang seperti sosialisasi  (Kjeldsen & Jacobsen, 2012; Perry, Brudney, Coursey, & Littlepage, 2008) sedangkan output PSM seperti peningkatan kinerja pegawai publik (van Loon, 2017; Warren & Chen, 2013), kepuasan kerja (Homberg, McCarthy, & Tabvuma, 2015), organizational citizenship behaviours (Christensen, Paarlberg, & Perry, 2017), pilihan pada sektor publik (Asseburg & Homberg, 2018; Wright, Hassan, & Christensen, 2017). Sektor publik memiliki dimensi tersendiri dan motivasi bekerja di sektor publik juga berbeda dengan sektor lainnya. 

Dalam pengelolaan organisasi publik, seringkali dihadapkan pada kelangkaan sumber daya sehingga organisasi harus dapat efisien dalam memaksimalkan sumber daya yang terbatas serta dapat memberikan kinerja yang optimal. Hal ini akan sangat bergantung pada upaya untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki di dalam organisasi. Sebagai salah satu sumber daya utama dalam organisasi, PSM memiliki peran penting sebagai penggerak organisasi untuk dapat bekerja kreatif, inovatif serta totalitas dalam bekerja (Kroll and Vogel, 2014). Banyak penelitian lain yang membahas manfaat motivasi pelayanan publik dalam meningkatkan efisiensi organisasi (Paarlberg and Lavigna, 2010), meningkatkan komitmen organisasi (Leisink & Steijn, 2009), ketahanan menghadapi tantangan (Luu dkk., 2019), meningkatkan kinerja (Schwartz dkk., 2016; Harari dkk., 2016), dan kepuasan kerja (Homberg dkk., 2015).

Sumber daya motivasi ini lebih mudah di kembangkan karena akan mendapat mengoptimalkan pegawai di tengah besarnya tuntutan dan sumber daya lainnya yang semakin sulit. Organisasi harus mampu menyediakan lingkungan yang memberikan dukungan agar motivasi pelayanan publik ini dapat berkembang. bentuk apresiasi tersebut adalah lingkungan yang mendukung dan pengalaman positif yang dapat meningkatkan motivasi pelayanan publik (Nicholson-Crotty dkk., 2021). Dalam menerapkan model kerja juga harus memperhatikan apakah tempat kerja dan sistem kerja mendukung upaya yang akan berdampak pada motivasi pelayanan publik. Sebagian besar pengeluaran kantor adalah untuk memenuhi belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan. Jadi sudah seharusnya sumber daya manusia ini ditingkatkan untuk mencapai tujuan organisasi.

Dampak perubahan pasca pandemi adalah perkembangan model kerja yang sangat beragam dengan memanfaatkan teknologi sebagai media utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Feher & Szabo, 2019). Selama ini teknologi telah memberikan kontribusi yang besar dalam optimalisasi dan kemudahan pekerjaan. Kegiatan yang tadinya sulit dan membutuhkan waktu yang lama menjadi sangat cepat dan akurat. Pekerjaan yang dilakukan melalui sistem dan mesin lebih stabil dibanding menggunakan sumber daya manusia. Dalam pelayanan publik kepentingan individu berdasarkan nilai-nilai publik harus dapat ditangkap dengan interaksi langsung yang sulit dilakukan oleh mesin maupun pelayanan digital.

Psikologi positif akan muncul apabila pekerjaan yang dikerjakanan sejalan dengan nilai yang ada ada individu (organisasi-personel fit). Efek positif muncul apabila nilai-nilai tersebut telah sejalan, keyakinan mengenai pekerjaan tersebut bermanfaat atau tidak dalam upaya mencapai tujuan akan memberikan sikap positif individu (Banjir dan Daniels, 2011). misal ketika pekerjaan dapat memberikan waktu yang seimbang antara keluarga dan pekerjaan maka hal tersebut memberikan keyakinan bahwa pekerjaan yang ditekuni juga dapat memberikan waktu yang cukup untuk keluarga, sehingga tanggung jawab terhadap keluarga sekaligus pekerjaan dapat memberikan nilai yang sama. Lingkungan kerja yang sejalan dengan keyakinan serta nilai individu memberikan semangat, kebahagiaan dan dedikasi terhadap pekerjaan (Schaufeli dkk., 2002). Sementara itu kondisi kerja yang kurang baik akan menurunkan semangat kerja. sehingga bekerja dari manapun harus didukung oleh faktor kondisi sarana dan prasarana kerja yang mendukung yang terbebas dari gangguan dan hambatan, kondisi ruang kerja dapat membantu memberikan semangat kerja (De Bruyne & Gerritse, 2018).

Kekuatan resource kerja bagi setiap pegawai memiliki perbedaan pengaruh satu sama lain. Beberapa pegawai  yang lebih tertarik pada kebanggan organisasi, ada yang tertarik pada penghasilan, maupun pada flexible waktu dan tempat bekerja. Perbedaan karakter tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi pegawai dan karakter sumber daya (Moynihan dan Pandey, 2007; Seijin, 2004) tetapi secara umum sumber daya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis yaitu kekuatan sumber daya yang terletak pada pekerjaan dan sumber daya yang terletak pada organisasi (Xanthopoulou dkk., 2007). Contoh sumber daya yang melekat pada pekerjaan seperti konten pekerjaan, model kerja, dan otonomi. Sementara itu sumber daya yang berhubungan dengan organisasi seperti penilaian kinerja oleh organisasi, pembayaran kerja, pengembangan karir, sistem pengawasan dan cara kontrol organisasi. 

Pengaruh sumber daya pada pekerjaan lebih besar daripada kekuatan sumber daya yang melekat pada organisasi dikarenakan content pekerjaan lebih mendekati motivasi intrinsik sementara kekuatan sumber daya organisasi lebih terkait dengan motivasi ekstrinsik yang membuat pegawai mengikuti perintah organisasi karena keterpaksaan (Buelands dan Van den Broeck, 2007; Houston, 2000). Banyak eksekutif puncak mendapatkan tekanan eksternal yang memaksa pimpinan untuk memaksakan tuntutan organisasi kepada pegawai dengan regulasi organisasi (Lavigne, 2013). Pada akhirnya penekanan regulasi eksternal ini hanya akan mencapai standarisasi yang telah diterapkan tanpa adanya usaha untuk memberikan yang lebih kreatif dan inovatif. Pegawai tidak merasakan antusiasme, kesenangan atau kepuasan dan hanya berupaya untuk menghindari konsekuensi dari menjalankan standar yang telah ditetapkan (Cowok dkk, 2016). Penerapan standar operating prosedur juga dapat menghilangkan moral dikarenakan pemenuhan standar menjadi tolak ukur sementara esensi dari tujuan aparat publik tidak terpenuhi, padahal berbagai inovasi, kepedulian terhadap publik, diskresi dan etika dapat menjadi insentif non moneter dalam membantu publik. Sistem yang ketat juga membatasi perilaku tersebut karena berpotensi pada sifat utilitarisme manusia yang selalu ingin mengambil manfaat padahal pegawai publik yang memiliki motivasi publik, prososial dan altruisme seharusnya diberi ruang untuk dapat mencapai tujuannya (Shu et al., 2011).

PSM termasuk sumber daya psikologi utama yang harus dimiliki oleh pegawai publik agar dapat menjalankan tuntutan publik yang semakin besar (Bakker, 2015, hlm. 729). Sumber daya yang dimiliki ini harus dipertahankan dan dikembangkan dan dapat dijadikan sumber budaya untuk mempengaruhi suatu tim yang terdiri dari individu-individu lainnya. PSM memiliki dampak yang besar bagi organisasi antara lain tingkat keterlibatan kerja yang tinggi (Lavigna, 2015), kecenderungan melayani kepentingan publik (Perry dan Hondeghem, 2008) dan pengorbanan kepada masyarakat melebihi kepentingan diri sendiri (Perry dan Vandenabeele, 2015). Optimalisasi individu secara internal melalui  peningkatan PSM harus terus dioptimalkan, di tengah kesulitan sumber daya lain yang harus dipenuhi organisasi dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin besar. PSM memberikan energi dan dedikasi yang besar bagi individu karena nilai publik sudah menginternalisasi kedalam individu. Mereka yang menaruh harapan yang sama dalam memilih organisasi publik karena komitmen untuk mengabdi dan memiliki prioritas yang sama dengan tujuan pemerintah (Lavigne, 2013). Kekuatan PSM merupakan variabel yang stabil terhadap guncangan dan sulit untuk di goyangkan terhadap tuntutan (Baker, 2015).

Ditengah gelombang tuntutan yang besar dan perubahan lingkungan berbasis teknologi. Manager publik memerlukan strategi untuk meningkatkan motivasi internal guna memperkuat pegawai dalam mencapai tujuan organisasi. DJBC sebagai kantor pelayanan bea cukai yang mengawasi peredaran barang-barang yang masuk ke Indonesia menghadapi tantangan yang besar. Kegiatan pengawasan dan sekaligus menarik kewajiban kepabeanan berupa bea masuk dan PDRI (Pajak dalam rangka impor) sementara itu perubahan sistem digital sebagai bentuk tuntutan yang semakin besar memaksa organisasi tidak hanya memberikan insentif moneter tetapi juga mendesain insentif internal dari desain dan model pekerjaan yang dapat menginternalisasikan nilai-nilai organisasi. Upaya menghubungkan nilai organisasi melalui desain pekerjaan digital dan mendorong individu untuk mencapai tujuan pribadi yang sejalan dengan tujuan organisasi serta dapat bertindak profesional dalam memberikan pelayanan terbaik.

Perubahan pada layanan digital membawa perubahan besar pada layanan publik dan dapat berimbas pada motivasi pelayanan publik individu. Aparatur sipil negara (ASN) yang selama ini melakukan pelayanan secara langsung, mengalami penyesuaian dengan kondisi pelayanan digital. Individu juga tidak merasakan suasana kerja seperti sebelumnya. Pelayanan digital mengurangi interaksi dengan pihak yang dilayani. Pegawai memberikan pelayanan tanpa melihat ekspresi, interaksi dengan warga yang meminta pelayanan. Tidak adanya interaksi terhadap warga negara membuat nilai afeksi semakin berkurang dan dapat mempengaruhi motivasi pelayanan publik dimana dimensi afeksi merupakan salah satu dimensi yang menyusun motivasi tersebut (Perry dan Wise, 1990). Teori Motivasi pelayanan publik terdiri atas tiga dimensi yaitu rasional, norma base dan afeksi (Perry dan Wise, 1990). Berkurangnya interaksi dan suasana kerja akan mempengaruhi dimensi motivasi pelayanan publik. Kegagalan meningkatkan motivasi pelayanan publik atau menginternalisasi nilai - nilai organisasi dengan nilai individu akan menyebabkan stress kerja, pertentangan nilai dan penurunan kualitas kerja (Baker, 2015), ketiadaan fasilitas bekerja juga mengurangi motivasi pegawai dalam melayani masyarakat (Bakker and Demerouti, 2007). Sementara di sisi afeksi ketiadaan interaksi akan semakin memesinkan cara kerja birokrasi (Hummel, 2008).

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan dan dihubungkan dalam teori motivasi pelayanan publik maka penelitian ini mempertanyakan sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaruh perubahan pelayanan publik menjadi digital terhadap motivasi pelayanan publik pegawai?

  2. Bagaimana pengaruh perubahan organisasi yang adaptif terhadap perilaku profesional dengan  motivasi pelayanan publik sebagai moderator?


Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dampak besar dalam perkembangan teori PSM. Secara praktis manfaat penelitian dapat diimplementasikan dalam praktik kerja sektor publik (Paarlberg, Perry, and Hondeghem, 2008) terutama dalam manajemen sumber daya manusia antara lain mengidentifikasi pegawai yang dapat bekerja melalui layanan digital atau tidak, mengatur penempatan individu, memodifikasi merit system dengan mengembankan teori PSM ini kedalam praktik kerja. Motivasi merupakan komponen penting dalam meningkatkan optimalisasi sumber daya manusia, kesesuain individu dengan organisasi dan pekerjaan akan memberikan dampak yang positif dalam organisasi. Secara teoritis memberikan masukan perkembangan teori motivasi pelayanan publik terutama dalam antecedent dengan mengangkat nilai dan norma dari daerah atau wilayah (local wisdom) dimana masyarakat memiliki kepercayaan atas norma dan nilai sendiri yang memberikan dorongan dalam konsep motivasi pelayanan publik. Dengan memahami teori tersebut dapat dipahami perubahan yang terjadi dalam pekerjaan.

.


0 comments:

Posting Komentar