Resumer Artikel " Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures: Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures"
(Thompson & Christensen, 2018)
Bagaimana menemukan
rasa kebermaknaan dalam pekerjaan adalah sesuatu yang menjadi sumber
dari motifasi. Kebermaknaan suatu pekerjaan sangat di pengaruhi oleh persepsi
di sekitar seseorang tersebut tinggal seperti keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan sosial serta berbagai informasi yang ada di media. Bekerja sebagai
suatu panggilan, karena melihat kondisi yang ada dan niat yang kuat dari dalam
diri yang didorong oleh kognitif serta pengalaman masa lalu serta informasi
yang terakumulasi dengan pengalaman. Hal ini di jelaskan dari berbagai
pandangan dari klasik, kontemporer dan neoklasik.
Sektor publik
memiliki kekhasan tersendiri karena bekerja pada sektor publik lebih di dorong
oleh motif intrinsik untuk membantu orang lain (Rainey, 1982 dan Wittmer,
1991). Tetapi sosial masyarakat yang telah kotor terhadap pekerjaan publik yang
salah menyusun nya memberikan dampak yang luar biasa pada masyarakat
berupa pergeseran citra pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang menyulitkan
masyarakat dan menyebabkan biaya tinggi. bukan niat menolong
masyarakat yang terkesan dari pegawai publik tetapi malah niat menyusahkan
masyarakat. Tetapi tidak semua layanan publik mendapat stigma seperti
itu, beberapa layanan publik yang sifatnya produksi pelayanan langsung
seperti guru dan dokter sebagian masih mendapat pujian karena dampak langsung
di rasakan masyarakat.
Pandangan Klasik
Bensman dan
Rosenberg (1960[2014], 50) mengamati hal itu stasiun dalam hidup.” “Bekerja
sebagai sebuah panggilan,” sebuah konsep yang tumbuh dari gerakan organisasi
yang positif, telah menjadi fitur yang menonjol dalam literatur manajemen
bisnis dalam beberapa tahun terakhir atau lebih dikenal dengan Fashion atau
proses identifikasi diri dengan pekerjaan yang pada akhirnya menemukan
kecocokan dan pengoptimalan terbaik.
Beberapa birokrat, yang terbebani
oleh impersonalitas pekerjaan mereka, melepaskan gagasan bahwa pekerjaan itu
bermakna atau merupakan media yang cocok untuk realisasi diri. . . . Dengan
menyangkal kebermaknaan pekerjaan mereka, mereka menjadi kurang berdedikasi dan
kurang efisien. Mereka meminimalkan tugas-tugas mereka dan melaksanakannya
dengan cara yang rutin dan kompeten, tidak terlalu memikirkan pekerjaan yang
diperlukan. . . .
Untuk mencapai tindakan positif dan
disposisi bisnis yang cepat, birokrasi memerlukan esprit de corps, semangat
kerja yang tinggi, dan dedikasi yang penuh semangat. Kondisi birokrasi
publik yang jelek, lingkungan yang kurang baik membuat mereka yang memiliki
motivasi untuk melayani publik menjadi turun karena kenyataannya bahwa mereka
gagal memenuhi motif intrinsik untuk melayani masyarakat malah terjebak dengan
regulasi, lingkungan birokrasi yang kotor serta ketidaknyamanan dalam bekerja.
Banyak faktor yang menjadi penyebab
lingkungan organisasi tersebut menjadi tercemar, mulai dari pimpinan, struktur,
regulasi, kondisi sosial hingga berbagai macam fitnah dan persespi yang ada.
Lalu seperti apa pelayanan publik modern? karena nilai-nilai publik
saat ini sudah berubah, kecepatan, kepraktisan menjadi salah satu perubahan
dari nilai publik saat ini. Penggunaan teknologi dan kecepatan menjadi jawaban layanan
publik yang di terima oleh nilai-nilai publik.
Pandangan sekuler kontemporer
Kebermaknaan suatu pekerjaan
merupakan bentuk panggilan hati yang di perkuat oleh keyakinan pengetahuan dan
kondisi feedback lingkungan sekitar. Kebermaknaan tersebut menjadi suatu
panggilan yang berakar pada hati dan berdekatan dengan pemikiran keagamaan.
konsep ini di tarik secara luas oleh pengetahuan sekuler untuk menjembatani
kebermaknaan. Salah satu tokoh yang merasionalkan panggilan tersebut
keluar dari kegiatan keagamaan. dimana panggilan kebermaknaan pekerjaan bukan
hanya berfokus pada nilai agama tetapi nilai-nilai publik seperti tukang batu,
pembuat kue dan pandai besi merupakan panggilan jiwa manusia untuk memberikan
kebermanfaatan yang lebih luas bagi manusia lain.
Luther berargumen ada makna
spiritual transenden dari pekerjaan melayani makhluk hidup lain (Hardy, 1990). Calvin
menjelaskan lebih detail (Hardy, 1990, 66) panggilan jiwa merupakan
keberhasilan seseorang dalam mengidentifikasi bakat yang diberikan tuhan dan
dipergunakan untuk kepentingan makhluk lain atau alam. Landasan di atas
menempatkan sebagai prinsip utama etos kerja protestan ( "protestan
ethic and spirit of capitalism) panggilan ini membentuk narasi kerja
selama berabad-abad, namun konsep yang diambil sebagai cikal bakal sekularisme
ini telah bergeser maknanya dimana panggilan tidak lagi berdasarkan keyakinan
agama yang bersumber pada tuhan tetapi pada panggilan kapitalis, panggilan
sosial atau sejenisnya yang akhirnya men-tuhankan sistem tersebut. Ada juga
yang mempopulerkan "panggilan" sebagai pekerjaan impian atau juga
pekerjaan talenta (pengembangan ide Calvin dan Luther).
Konsep-konsep tersebut mengandung
sesuatu yang irasional atau mistis dan menciptakan keyakinan apabila terus di
doktrinkan. Weber (1930, 124) menyetujui hal itu sebagai mistismu atau gagasan
tentang gaib sesuatu yang tidak dapat di tangkap oleh Panca indra tetapi
memiliki pengaruh atau juga berupa gelombang yang di tangkap oleh alam bawah
sadar. Konsep ini menjadi suatu panggilan yang menghantui seseorang dalam
bekerja dan sulit dipahami atau di jelaskan. Hal ini juga meresap ke dalam
budaya populer, misal Alain de Botton (2009) menjelaskan bagaimana suatu
panggilan ditemukan dalam "kelompok kekhawatiran yang menyenangkan dan
menggairahkan Anda..". Sehingga muncul generasi yang menganggap pencarian
pekerjaan yang bermakna sebagai hal yang paling penting (poswolsky, 2014)
dan proses tersebut difokuskan pada pencarian hasrat dan kenikmatan.
Ilmu pengetahuan masa kini juga
umumnya menganut gagasan bahwa panggilan adalah masalah kepuasan pribadi
dan sering kali kurang memberikan perhatian pada pengorbanan dan
pelayanan bagi orang lain (misalnya, Bellah dkk, 1985). Misalnya saja, Dobrow
dan Tosti-Kharas (2011 1001) mendefinisikan panggilan sebagai “semangat
yang sangat besar dan bermakna yang dialami seseorang terhadap suatu
domain,” sehingga memberikan prioritas pada gairah.
Para pakar Manajemen
Riset Calling telah menggunakan
metode kualitatif dan kuantitatif untuk mengeksplorasi implikasi dari
pemanggilan. Beberapa konseptualisasi panggilan kontemporer memang menggunakan
nilai-nilai tanpa pamrih sebagai bagian dari upaya mengejar hasrat. Misalnya,
karya perintis Wrzesniewski mencirikan panggilan sebagai kontribusi terhadap
beberapa nilai sosial di luar diri (Wrzesniewski 2003; Wrzesniewski dkk. 1997).
Namun, konsep panggilan masa kini berbeda dengan konsep klasik karena konsep
tersebut cenderung mengutamakan pemenuhan pribadi, sedangkan versi Lutheran
jelas berakar pada kewajiban untuk mengorbankan diri demi orang lain.
Salah satu kontribusi terpenting penelitian
kontemporer adalah kerangka tripartit yang dikembangkan oleh Bellah dkk.
(1985), yang mana Wrzesniewski dkk. (1997) dioperasionalkan ke dalam ukuran
orientasi pekerjaan, karier, atau panggilan. Orang-orang dengan orientasi
pekerjaan memandang pekerjaan mereka hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan
finansial; mereka bekerja terutama untuk mendapatkan gaji, bukan untuk
imbalan intrinsik. Orang dengan orientasi karir termotivasi untuk maju
melalui hierarki pekerjaan dan mendapatkan penghargaan dan rasa hormat dari
orang lain. Orang dengan orientasi panggilan memandang pekerjaan sebagai
tujuan akhir—sebagai ekspresi identitas profesional mereka yang unik.
Penelitian Wrzesniewski et al. (1997)
yang menggunakan ukuran-ukuran ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan
orientasi panggilan mengalami kepuasan kerja dan hidup yang lebih tinggi dan
tingkat ketidakhadiran yang lebih sedikit. Kerangka kerja-karir-panggilan
memberikan struktur yang berguna untuk berpikir tentang bagaimana orang
berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini juga memberikan cara berpikir
yang lebih mendalam tentang PSM dibandingkan yang digunakan oleh para sarjana
saat ini. Kerangka kerja ini menjanjikan potensi untuk menambah nuansa
penelitian PSM.
Pandangan Neoklasik
Memasukkan kembali cita-cita tentang
panggilan. Penggambaran Wrzesniewski (2003) tentang panggilan sebagai sesuatu
yang memberikan nilai sosial merupakan pertanda dari perubahan ini. Definisi
panggilan dari Dik dan Duffy (2009, 427) secara eksplisit mencakup nilai-nilai
yang berorientasi pada orang lain: “panggilan yang transenden, Namun, era
penelitian panggilan neoklasik telah diluncurkan secara resmi melalui studi
Bunderson dan Thompson (2009) tentang penjaga kebun binatang, yang membawa dialog
panggilan kembali ke akar klasiknya. Mereka menemukan bahwa para penjaga
kebun binatang memiliki pandangan tentang panggilan yang sangat mirip dengan
pandangan yang dianut oleh Luther dan Calvin, meskipun tanpa nuansa keagamaan.
'
Kami merangkum perbedaan inti antara
tiga konseptualisasi pemanggilan dalam tabel 1. Secara khusus, kami
membandingkan tiga pandangan berbeda tentang panggilan dalam hal bagaimana
orang mengalaminya, proses penemuan yang melaluinya orang sampai pada suatu
panggilan, dan definisi formal yang digunakan para sarjana untuk membedakannya.
Secara khusus, penjaga kebun binatang menggambarkan penemuan suatu proses
untuk menemukan konvergens.
Panggilan neoklasik adalah “tempat
dalam pembagian kerja dalam masyarakat yang seseorang merasa ditakdirkan untuk diisi
berdasarkan karunia, bakat, dan/atau peluang hidup yang istimewa” (Bunderson
dan Thompson's (2009, 38). Neoklasik menjelaskan pekerjaan adalah fashion
diidentifikasi dengan bakat dan tujuan dari pekerjaan tersebut serta imbalan
sosial dari masyarakat. Aspek panggilan yang muncul dalam
penelitian ini mencakup (1) pentingnya “hardwiring”—para penjaga
kebun binatang yang memiliki panggilan merasa bahwa mereka
diciptakan untuk bekerja sebagai hewan; (2) persepsi tentang “takdir”—
para penjaga kebun binatang yang mempunyai panggilan hidup merasa bahwa takdir
telah membawa mereka ke tempat kerja yang tepat; (3) adanya kewajiban yang
dirasakan untuk melayani—para penjaga kebun binatang yang memiliki
panggilan mengungkapkan rasa kewajiban moral untuk melayani hewan yang
mereka tanggung; (4) hubungan dengan pengorbanan—penjaga kebun
binatang yang memiliki panggilan melaporkan kesediaan yang lebih besar
untuk melakukan pengorbanan pribadi demi hewan mereka dan kebun
binatang.
Dalam pandangan neo klasik pekerjaan
yang berat dan penuh tantangan akan di balance dengan semangat motif intrinsik,
bakat dan tujuan yang ada. sehingga akan mempertahankan durabilitas
tantangan pekerjaan. Penelitian panggilan kuantitatif menunjukkan bahwa
terdapat berbagai hasil positif terkait dengan kesejahteraan dan
motivasi karyawan (Dobrow dan TostiKharas 2011 ; Duffy dan Dik 2013 ;
Wrzesniewski et al. 1997). Dorongan panggilan hati telah terbukti meningkatkan
efikasi diri dan motivasi/keterlibatan intrinsik (Bunderson dan Thompson 2009;
Dobrow dan Tosti-Kharas, 2011). Efikasi diri atau persepsi
mengenai tujuan organisasi dan manfaat yang besar yang dilakukan organisasi.
Keterikatan organisasi juga meningkat ketika pegawai melihat organisasi dan pekerjaannya
berperan penting dalam mewujudkan tujuan mereka (Cardador, Dane, dan Pratt
2011). Panggilan tampaknya juga memiliki dampak positif yang kuat
terhadap komitmen organisasi, bahkan ketika karyawan merasa bahwa organisasinya
lalai. Panggilan atas pekerjaan menjadi pelindung bagi individu atas kurang
profesionalnya organisasi (Bunderson dan Thompson 2009 ; Schabram dan Maitlis
2017).
Penelitian kuantitatif baru-baru ini
juga menunjukkan “sisi gelap” dari panggilan. Misalnya saja, musisi yang
memiliki rasa panggilan yang kuat di awal kehidupannya cenderung
membesar-besarkan persepsi mereka tentang kemampuan mereka sendiri
(Dobrow dan Heller 2015) dan kurang menerima nasihat karier (Dobrow dan
Tosti-Kharas 2012). Penjaga kebun binatang dengan rasa panggilan yang
kuat memikul beban tugas moral dan pengorbanan serta menunjukkan
lebih banyak kritik terhadap manajemen dan rekan kerja mereka
(Bunderson dan Thompson 2009).
Sisi gelap juga akan berdampak pada
hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sementara nilai-nilai di luar
pekerjaan tidak semuanya sejalan dan bahkan kontra akan mengganggu, atau
keterbatasan fisik juga akan menyebabkan kelelahan. Dampak panggilan ini
antaran lain konflik pekerjaan-keluarga, pekerjaan-sosial. Penelitian panggilan
belum memeriksa dengan cermat proses penemuan panggilan. Dobrow dan
Tosti-Kharas (2012) memberikan wawasan berharga mengenai dampak orientasi panggilan
yang dimulai pada masa remaja namun tidak mengkaji proses penemuan yang
melaluinya subjek menyadari bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi musisi.
Bott dan Duffy (2015), dalam studi longitudinal terhadap mahasiswa sarjana,
menunjukkan bahwa generasi muda lebih mungkin mengalami panggilan di
kemudian hari ketika mereka secara eksplisit mencari makna sebagai mahasiswa
dan dengan sengaja terlibat dalam pengembangan diri. Temuan ini memberikan
beberapa petunjuk awal tentang apa yang mempengaruhi seseorang untuk
menemukan panggilan hidup.
Mungkin panggilan tidak ditemukan
dalam satu peristiwa penting atau pencerahan. Seperti yang dikemukakan
Duckworth (2016), kebanyakan orang cenderung “jatuh cinta” dengan
pekerjaan mereka melalui proses melatih ketabahan seiring berjalannya
waktu saat menghadapi rintangan. Gagasan bahwa pekerjaan menjadi
bermakna melalui usaha dan pengorbanan konsisten dengan pandangan
neoklasik tentang panggilan. (dapat di jelaskan oleh SDT)
Pakar PSM mempunyai posisi yang unik
untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang apakah panggilan yang
berbeda dalam pelayanan publik lebih atau kurang bergantung pada PSM (misalnya,
apakah pekerja sosial memiliki rasa panggilan yang lebih kuat dibandingkan,
katakanlah, pegawai administrasi meskipun tingkat PSM sama?) Kedua, fokus
penelitian terhadap “sisi gelap” dari panggilan telepon baru-baru ini dapat
merangsang penyelidikan baru untuk PSM. Dapatkah PSM tingkat tinggi, seperti tingkat
panggilan yang tinggi, menumbuhkan penolakan terhadap umpan balik (Dobrow dan
Tosti-Kharas 2012), ketegangan pada keluarga (Kreiner, Hollensbe, dan Sheep
2009), atau kritik terhadap manajemen dan sesama karyawan? (Bunderson dan
Thompson 2009).
Ritz, 2016 menjelaskan peta PSM. Pertama,
sekitar 12 persen dari lebih dari 300 artikel membahas tentang konseptualisasi,
pendefinisian, atau teori tentang PSM (termasuk integrasi dengan teori lain).
Kedua, Ritz, Brewer, dan Neumann (2016) mengamati bahwa “motivasi pelayanan
publik masih terikat erat dengan bidang administrasi publik” dan sebagian besar
kontributor PSM terlatih dalam administrasi publik. Tersirat dalam pengamatan
ini adalah perlunya mengekspos, membandingkan, membedakan, dan mengintegrasikan
PSM dengan konsep lain—termasuk konsep yang lebih sering digunakan di luar
bidang administrasi publik. Bozeman dan Su (2015, 703) memperkuat pengamatan
ini dalam kritik mereka terhadap PSM, dengan menyatakan bahwa konsep PSM
mendapat sandungan dari konsep lainnya seperti altruisme dan prososial atau
konsep membantu atau kebaikan adalah energi yang akan kembali pada diri sendiri
dengan berkali-kali lipat.
Beberapa bukti bahkan menunjukkan
adanya dasar untuk hal ini. Misalnya, Brewer, Selden, dan Facer (2000)
menemukan bahwa panggilan muncul sebagai tema dalam patriotisme, salah satu
dari empat konsepsi individu PSM dalam studi mereka. Frederickson (1997)
mengacu pada “panggilan pelayanan publik” sebagai inti dari “semangat administrasi
publik.” (68) • Profesi administrasi publik biasanya dipandang sebagai suatu
panggilan khusus, dan mereka yang menjawab panggilan tersebut dipandang berbeda
dari mereka yang tidak. (81).
Bozeman dan Su (2015, 704) juga
tampaknya mengeksplorasi potensi hubungan ini dalam mendesak kejelasan
konseptual dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Apa sifat dari
'panggilan' sekuler? Apakah seseorang perlu menjadi pegawai pemerintah agar
dapat dipanggil dan memiliki 'komitmen terhadap kebaikan bersama, bukan sekadar
kepentingan pribadi'?” Kami mengembangkan kerangka kerja untuk membahas hal ini
dan pertanyaan terkait di bagian berikut.
Meskipun terdapat tumpang tindih,
PSM dan pemanggilan secara konseptual berbeda. Kedua konsep ini berbeda
dalam pendekatannya terhadap pertanyaan tentang motivasi dan implikasi yang
dapat diambil dari keduanya. Selain itu, mengingat kekhawatiran tentang
kurangnya paparan PSM terhadap konstruksi lain, kami memandang pemanggilan
sebagai memberikan wawasan tambahan yang mungkin bermanfaat bagi pemahaman kita
tentang apa yang membuat pegawai negeri tergerak. Namun, pemanggilan tidak
dan tidak seharusnya menggantikan PSM. Kami berpendapat bahwa kedua konsep
tersebut saling melengkapi; mereka memberikan dua lensa berharga yang dapat
digunakan untuk mempertimbangkan makna pekerjaan di sektor publik.
Membaca fitur definisi ini, jelas
bahwa pemanggilan dan PSM tumpang tindih dalam penekanannya pada layanan
berorientasi lain (Brewer, Selden, dan Facer 2000; Dik dan Duffy 2009).
Namun sebaliknya, PSM awalnya menetapkan batasan seputar pilihan sektor atau
industri jasa sebagai hal yang tersirat dalam definisi tersebut (Perry dan
Wise 1990). Namun penelitian terkini telah memperluas pandangan tersebut, dengan
menyatakan bahwa PSM dapat diterapkan pada semua pekerjaan pelayanan publik—apa
pun sektornya (Christensen dan Wright 2011 ; Moulton dan Feeney 2011 )— termasuk
pekerjaan di sektor nirlaba (Clerkin dan Coggburn 2012; Taylor 2010) dan
pekerjaan yang berpusat pada komitmen umum terhadap komunitas (Nowell et
al.2016). Definisi PSM saat ini mencerminkan cakupan yang lebih luas; misalnya,
Vandenabeele (2007, 547) menggambarkan PSM sebagai “keyakinan, nilai-nilai, dan
sikap yang melampaui kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi, namun juga
menyangkut kepentingan entitas politik yang lebih besar dan memotivasi individu
untuk bertindak sesuai dengan hal tersebut kapan pun diperlukan.”
Di sisi lain, panggilan tidak pernah
diasosiasikan dengan sektor tertentu, melainkan merujuk pada sifat spesifik
dari sebuah karya dan proses penemuannya, yaitu, bakat pribadi, hasrat,
sebab-sebab, dan rasa takdir yang menuntun seseorang pada suatu bidang
tertentu. fokus pada jenis pekerjaan yang didefinisikan secara ketat (lihat
Bunderson dan Thompson 2009 ; Dobrow dan Tosti-Kharas 2011 ). Panggilan juga
menambahkan gagasan tentang “panggilan”—sebuah kebutuhan sosial tertentu yang
mengundang pekerja dengan cara yang unik (Dik dan Duffy 2009).
Para pakar PSM telah mencapai
konsensus bahwa konstruksinya bersifat multidimensi, meskipun satu
dimensi—ketertarikan pada pembuatan kebijakan—masih kontroversial (Ritz 2011). Dimensi
PSM yang lebih diterima secara luas yang menyempurnakan definisi panggilan
mencakup pengorbanan diri, kasih sayang, dan komitmen terhadap kepentingan
publik. PSM menimbulkan pertanyaan mengenai sektor mana atau, dengan definisi
yang lebih luas, pekerjaan pelayanan publik yang mana—apakah sektor publik,
nirlaba, atau swasta (lihat Christensen dan Wright 2011 ; Clerkin dan
Coggburn 2012 ; Moulton dan Feeney 2011. Para ahli berpendapat bahwa PSM
didorong oleh campuran motif afektif, normatif, dan rasional (Perry dan Wise
1990). Namun masing-masing dorongan ini bergantung pada proses sosialisasi
dimana pegawai menjadi sadar akan peluang terstruktur untuk pelayanan publik
Pengungkit Manajerial
Terakhir, dan mungkin yang paling
penting dalam mendorong kita menuju penerapan praktis, PSM dan panggilan
berbeda dalam hal alat yang mungkin digunakan manajer dalam mengawasi
orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan berorientasi lain. Karena PSM
digambarkan sebagai disposisi untuk memberikan pelayanan publik, hal
ini menunjukkan bahwa manajer dapat memotivasi karyawan dengan
mengartikulasikan visi manfaat pelayanan publik, menunjukkan kepemimpinan
transformasional, dan menyoroti valensi misi (misalnya, Wright, Moynihan,
dan Pandey 2012).
Sebuah contoh yang baik mengenai
peran kepemimpinan yang berfokus pada PSM adalah penelitian Grant (2008b)
yang menunjukkan dampak motivasi dalam menghubungkan pekerja dengan
penerima manfaat dari pekerjaan mereka. Grant mengilustrasikan, misalnya,
bagaimana percakapan singkat dengan seorang penerima beasiswa sangat
meningkatkan upaya yang dilakukan oleh para penelepon universitas dalam
pekerjaan mereka serta efektivitas mereka dalam meminta sumbangan.
Efeknya bertahan setidaknya selama satu bulan.
Literatur panggilan menyarankan
beberapa pengaruh manajerial yang berbeda untuk membantu memotivasi
pekerja yang berorientasi pada layanan. Meskipun manajer dapat
menggunakan komunikasi yang menarik untuk menanamkan motivasi pelayanan
publik yang lebih besar kepada karyawannya, seorang manajer tidak dapat
dengan sengaja memberikan panggilan kepada orang lain karena panggilan
tersebut berakar pada bakat yang melekat pada individu.
PSM hanya mengandalkan konteks pelayanan
publik, Calling memperkenalkan pengamatan bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan
seseorang dalam pelayanan publik sangatlah penting. Tinjauan kami terhadap PSM
dan konsep pemanggilan menunjukkan banyak perbedaan utama dalam sejumlah
pertimbangan (lihat tabel 1). PSM, dengan fokusnya pada sektor publik, memberikan
banyak penjelasan tentang atribut dan logika kelembagaan yang membentuk seseorang
menuju pekerjaan (misalnya, Van Loon, Vandenabeele, dan Leisink 2015).
Kami berpendapat—sebagian besar
secara konseptual/teoritis—bahwa panggilan dan PSM akan berkorelasi positif
namun berbeda secara empiris. Penelitian mengenai calling hampir tidak
mempertimbangkan bagaimana struktur kelembagaan dan budaya mempengaruhi
kemungkinan terjadinya calling development. PSM memberikan konstruksi dan
serangkaian tindakan yang memungkinkan para peneliti untuk memeriksa bagaimana
nilai-nilai organisasi yang berlaku dapat berdampak pada pembentukan
panggilan.
Untuk memberikan langkah pertama
menuju pengorganisasian dan eksplorasi empiris kemungkinan-kemungkinan menarik
ini, kami menguraikan beberapa kelompok pertanyaan penelitian yang kami pandang
sebagai inti agenda ilmiah untuk mensintesis PSM dan menyebut penelitian.
Menyelidiki perbedaan dalam
pendahulunya adalah salah satu cara yang berpotensi bermanfaat untuk
menjelaskan dengan lebih baik kekhasan empiris dari konsep-konsep tersebut. Namun,
tinjauan kami juga mengungkapkan bahwa terdapat banyak bidang yang tumpang
tindih dan, yang lebih penting, peluang untuk melakukan penyelidikan di mana
setiap konstruksi dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi kepada yang
lain. Misalnya, pemupukan silang antara panggilan dan PSM memberikan beragam
paparan yang dirujuk oleh Bozeman dan Su (2015) dan hanya dapat memperkuat
PSM sebagai konstruksi makna dan tujuan di bidang administrasi publik.
Menjelajahi Anteseden PSM dan
Calling
Terkait dengan panggilan hidup,
Duffy dan Autin (2013) menunjukkan bahwa generasi muda dengan pendapatan lebih
tinggi dan pendidikan lebih tinggi cenderung mendukung pentingnya menjalani
panggilan hidup. Bunderson dan Thompson (2009) telah menunjukkan bahwa panggilan
sebenarnya berhubungan negatif dengan gaji, sehingga semakin mempertanyakan
gagasan bahwa hanya mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi yang dapat
mengalami panggilan. Tetapi dapat di jelaskan keberadaan orang yang berstatus
sosial tinggi tidak pernah mengalam masa kesusahan dan membuat dia bisa
merasakan kepedihan yang belum pernah di rasakan.
Implikasinya bagi para pemimpin
adalah bahwa PSM adalah keadaan yang memerlukan pengasuhan manajerial,
sedangkan ketika karyawan mengalami panggilan, mereka mungkin lebih mampu
mempertahankan motivasi mereka sendiri
Menjelajahi Sisi Gelap PSM
Para sarjana juga telah menunjukkan
bahwa panggilan yang tidak terpenuhi merupakan kesulitan bagi karyawan. Ketika
seseorang merasakan suatu panggilan tetapi tidak dapat melaksanakannya, dia
cenderung melaporkan penurunan kesehatan fisik dan psikologis (Gazica dan
Spector 2015) dan penurunan kesejahteraan secara umum (Duffy, Douglass et al.
2016). Berg, Grant, dan Johnson (2010) telah menunjukkan bahwa orang-orang
dengan panggilan. Apalagi jika melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan
panggilan atau PSM nya semakin menyakitkan psikologis.
Panggilan tampaknya melindungi karyawan
dari kelelahan, misalnya (Duffy, Douglass dkk. 2016; Hagmaier, Volmer,
dan Spurk 2013). Meskipun memberikan tuntutan yang signifikan kepada
karyawan, panggilan juga tampaknya memberikan sumber ketahanan bagi karyawan.
Kami mengetahui bahwa belum ada penelitian yang mengeksplorasi dinamika pekerjaan
di sektor publik. Memang benar bahwa terdapat dua sisi panggilan yang lebih
menonjol di sektor publik dibandingkan di sektor swasta. Karena gaji di
sektor publik cenderung lebih rendah, pegawai yang dipanggil mungkin memikul lebih
banyak beban pengorbanan. Terlebih lagi, pertaruhan yang dipertaruhkan
di sektor publik sering kali sangat besar—terutama ketika seseorang berupaya
mengatasi masalah-masalah sosial penting yang tidak dapat diselesaikan
dengan mudah.
“gaji kecil dan beban sosial yang
lebih berat dan komples”= masalah sektor publik
Kami memperkirakan pegawai negeri yang
memiliki panggilan tidak akan terlalu terbebani antara tuntutan pekerjaan dan
kehidupan rumah tangga dibandingkan rekan-rekan mereka di sektor swasta. Namun,
pada saat yang sama, kami mengantisipasi bahwa pengalaman menelepon akan
menumbuhkan ketekunan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan-tantangan
ini. Secara anekdot, kita dapat melihat banyak pemimpin sektor publik yang
tetap bertahan dalam pekerjaannya meskipun ada hambatan eksternal, kurangnya
imbalan, dan lambatnya pencapaian hasil. Konstruk pemanggilan memberikan
kekuatan penjelasan yang unik untuk memahami fenomena ini.
Orang-orang dengan orientasi PSM
mungkin lebih kebal terhadap perubahan-perubahan dalam pekerjaan mereka karena
mereka didorong oleh perspektif yang lebih luas mengenai kesuksesan dalam
komunitas secara luas; mereka mempunyai lebih banyak dimensi untuk dipertimbangkan
ketika mereka menilai apakah pekerjaan mereka mempunyai dampak.
Kesimpulan
Kami berpendapat bahwa PSM dan
pemanggilan adalah konsep yang saling terkait namun ortogonal. Mereka sering
terjadi bersamaan. Tapi yang satu bisa diamati tanpa yang lain. Masyarakat
sering kali merasakan panggilan di luar pelayanan publik, dan banyak pegawai
negeri menunjukkan PSM tanpa merasakan adanya keniscayaan yang ditunjukkan
oleh panggilan tersebut. Faktanya, kategori terakhir inilah yang memberikan
stereotip tidak termotivasi kepada birokrat publik.
Daripada menyarankan “pacuan kuda”
antara PSM dan panggilan, kami berpendapat bahwa keduanya saling melengkapi
dalam pemahaman kita tentang mengapa seseorang mungkin tertarik, bertahan, dan
bahkan mungkin berpisah dari pekerjaan pelayanan publik. Banyak pertanyaan
lain, beberapa di antaranya telah kami uraikan di atas, menghadiri persimpangan
menarik antara PSM dan kontribusi panggilan terhadap psikologi kerja