Jumat, 08 September 2023

Menjembatani PSM dan Panggilan

Resumer Artikel " Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures: Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures"

(Thompson & Christensen, 2018)

    Bagaimana menemukan rasa kebermaknaan dalam pekerjaan adalah sesuatu yang menjadi sumber dari motifasi. Kebermaknaan suatu pekerjaan sangat di pengaruhi oleh persepsi di sekitar seseorang tersebut tinggal seperti keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan sosial serta berbagai informasi yang ada di media. Bekerja sebagai suatu panggilan, karena melihat kondisi yang ada dan niat yang kuat dari dalam diri yang didorong oleh kognitif serta pengalaman masa lalu serta informasi yang terakumulasi dengan pengalaman. Hal ini di jelaskan dari berbagai pandangan dari klasik, kontemporer dan neoklasik.

    Sektor publik memiliki kekhasan tersendiri karena bekerja pada sektor publik lebih di dorong oleh motif intrinsik untuk membantu orang lain (Rainey, 1982 dan Wittmer, 1991). Tetapi sosial masyarakat yang telah kotor terhadap pekerjaan publik yang salah menyusun nya memberikan dampak yang luar biasa pada masyarakat berupa pergeseran citra pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang menyulitkan masyarakat dan menyebabkan biaya tinggi. bukan niat menolong masyarakat yang terkesan dari pegawai publik tetapi malah niat menyusahkan masyarakat. Tetapi tidak semua layanan publik mendapat stigma seperti itu, beberapa layanan publik yang sifatnya produksi pelayanan langsung seperti guru dan dokter sebagian masih mendapat pujian karena dampak langsung di rasakan masyarakat.

 

Pandangan Klasik

    Bensman dan Rosenberg (1960[2014], 50) mengamati hal itu stasiun dalam hidup.” “Bekerja sebagai sebuah panggilan,” sebuah konsep yang tumbuh dari gerakan organisasi yang positif, telah menjadi fitur yang menonjol dalam literatur manajemen bisnis dalam beberapa tahun terakhir atau lebih dikenal dengan Fashion atau proses identifikasi diri dengan pekerjaan yang pada akhirnya menemukan kecocokan dan pengoptimalan terbaik.

Beberapa birokrat, yang terbebani oleh impersonalitas pekerjaan mereka, melepaskan gagasan bahwa pekerjaan itu bermakna atau merupakan media yang cocok untuk realisasi diri. . . . Dengan menyangkal kebermaknaan pekerjaan mereka, mereka menjadi kurang berdedikasi dan kurang efisien. Mereka meminimalkan tugas-tugas mereka dan melaksanakannya dengan cara yang rutin dan kompeten, tidak terlalu memikirkan pekerjaan yang diperlukan. . . .

Untuk mencapai tindakan positif dan disposisi bisnis yang cepat, birokrasi memerlukan esprit de corps, semangat kerja yang tinggi, dan dedikasi yang penuh semangat. Kondisi birokrasi publik yang jelek, lingkungan yang kurang baik membuat mereka yang memiliki motivasi untuk melayani publik menjadi turun karena kenyataannya bahwa mereka gagal memenuhi motif intrinsik untuk melayani masyarakat malah terjebak dengan regulasi, lingkungan birokrasi yang kotor serta ketidaknyamanan dalam bekerja.

Banyak faktor yang menjadi penyebab lingkungan organisasi tersebut menjadi tercemar, mulai dari pimpinan, struktur, regulasi, kondisi sosial hingga berbagai macam fitnah dan persespi yang ada. Lalu seperti apa pelayanan publik modern? karena nilai-nilai publik saat ini sudah berubah, kecepatan, kepraktisan menjadi salah satu perubahan dari nilai publik saat ini. Penggunaan teknologi dan kecepatan menjadi jawaban layanan publik yang di terima oleh nilai-nilai publik.

 

Pandangan sekuler kontemporer

Kebermaknaan suatu pekerjaan merupakan bentuk panggilan hati yang di perkuat oleh keyakinan pengetahuan dan kondisi feedback lingkungan sekitar. Kebermaknaan tersebut menjadi suatu panggilan yang berakar pada hati dan berdekatan dengan pemikiran keagamaan. konsep ini di tarik secara luas oleh pengetahuan sekuler untuk menjembatani kebermaknaan. Salah satu tokoh yang merasionalkan panggilan tersebut keluar dari kegiatan keagamaan. dimana panggilan kebermaknaan pekerjaan bukan hanya berfokus pada nilai agama tetapi nilai-nilai publik seperti tukang batu, pembuat kue dan pandai besi merupakan panggilan jiwa manusia untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih luas bagi manusia lain.

Luther berargumen ada makna spiritual transenden dari pekerjaan melayani makhluk hidup lain (Hardy, 1990). Calvin menjelaskan lebih detail (Hardy, 1990, 66) panggilan jiwa merupakan keberhasilan seseorang dalam mengidentifikasi bakat yang diberikan tuhan dan dipergunakan untuk kepentingan makhluk lain atau alam. Landasan di atas menempatkan sebagai prinsip utama etos kerja protestan ( "protestan ethic and spirit of capitalism) panggilan ini membentuk narasi kerja selama berabad-abad, namun konsep yang diambil sebagai cikal bakal sekularisme ini telah bergeser maknanya dimana panggilan tidak lagi berdasarkan keyakinan agama yang bersumber pada tuhan tetapi pada panggilan kapitalis, panggilan sosial atau sejenisnya yang akhirnya men-tuhankan sistem tersebut. Ada juga yang mempopulerkan "panggilan" sebagai pekerjaan impian atau juga pekerjaan talenta (pengembangan ide Calvin dan Luther).

Konsep-konsep tersebut mengandung sesuatu yang irasional atau mistis dan menciptakan keyakinan apabila terus di doktrinkan. Weber (1930, 124) menyetujui hal itu sebagai mistismu atau gagasan tentang gaib sesuatu yang tidak dapat di tangkap oleh Panca indra tetapi memiliki pengaruh atau juga berupa gelombang yang di tangkap oleh alam bawah sadar. Konsep ini menjadi suatu panggilan yang menghantui seseorang dalam bekerja dan sulit dipahami atau di jelaskan. Hal ini juga meresap ke dalam budaya populer, misal Alain de Botton (2009) menjelaskan bagaimana suatu panggilan ditemukan dalam "kelompok kekhawatiran yang menyenangkan dan menggairahkan Anda..". Sehingga muncul generasi yang menganggap pencarian pekerjaan yang bermakna sebagai hal yang paling penting (poswolsky, 2014) dan proses tersebut difokuskan pada pencarian hasrat dan kenikmatan.

Ilmu pengetahuan masa kini juga umumnya menganut gagasan bahwa panggilan adalah masalah kepuasan pribadi dan sering kali kurang memberikan perhatian pada pengorbanan dan pelayanan bagi orang lain (misalnya, Bellah dkk, 1985). Misalnya saja, Dobrow dan Tosti-Kharas (2011 1001) mendefinisikan panggilan sebagai “semangat yang sangat besar dan bermakna yang dialami seseorang terhadap suatu domain,” sehingga memberikan prioritas pada gairah.

 

Para pakar Manajemen

Riset Calling telah menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk mengeksplorasi implikasi dari pemanggilan. Beberapa konseptualisasi panggilan kontemporer memang menggunakan nilai-nilai tanpa pamrih sebagai bagian dari upaya mengejar hasrat. Misalnya, karya perintis Wrzesniewski mencirikan panggilan sebagai kontribusi terhadap beberapa nilai sosial di luar diri (Wrzesniewski 2003; Wrzesniewski dkk. 1997). Namun, konsep panggilan masa kini berbeda dengan konsep klasik karena konsep tersebut cenderung mengutamakan pemenuhan pribadi, sedangkan versi Lutheran jelas berakar pada kewajiban untuk mengorbankan diri demi orang lain.

Salah satu kontribusi terpenting penelitian kontemporer adalah kerangka tripartit yang dikembangkan oleh Bellah dkk. (1985), yang mana Wrzesniewski dkk. (1997) dioperasionalkan ke dalam ukuran orientasi pekerjaan, karier, atau panggilan. Orang-orang dengan orientasi pekerjaan memandang pekerjaan mereka hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan finansial; mereka bekerja terutama untuk mendapatkan gaji, bukan untuk imbalan intrinsik. Orang dengan orientasi karir termotivasi untuk maju melalui hierarki pekerjaan dan mendapatkan penghargaan dan rasa hormat dari orang lain. Orang dengan orientasi panggilan memandang pekerjaan sebagai tujuan akhir—sebagai ekspresi identitas profesional mereka yang unik.

Penelitian Wrzesniewski et al. (1997) yang menggunakan ukuran-ukuran ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan orientasi panggilan mengalami kepuasan kerja dan hidup yang lebih tinggi dan tingkat ketidakhadiran yang lebih sedikit. Kerangka kerja-karir-panggilan memberikan struktur yang berguna untuk berpikir tentang bagaimana orang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini juga memberikan cara berpikir yang lebih mendalam tentang PSM dibandingkan yang digunakan oleh para sarjana saat ini. Kerangka kerja ini menjanjikan potensi untuk menambah nuansa penelitian PSM.

 

 

Pandangan Neoklasik

Memasukkan kembali cita-cita tentang panggilan. Penggambaran Wrzesniewski (2003) tentang panggilan sebagai sesuatu yang memberikan nilai sosial merupakan pertanda dari perubahan ini. Definisi panggilan dari Dik dan Duffy (2009, 427) secara eksplisit mencakup nilai-nilai yang berorientasi pada orang lain: “panggilan yang transenden, Namun, era penelitian panggilan neoklasik telah diluncurkan secara resmi melalui studi Bunderson dan Thompson (2009) tentang penjaga kebun binatang, yang membawa dialog panggilan kembali ke akar klasiknya. Mereka menemukan bahwa para penjaga kebun binatang memiliki pandangan tentang panggilan yang sangat mirip dengan pandangan yang dianut oleh Luther dan Calvin, meskipun tanpa nuansa keagamaan. '

Kami merangkum perbedaan inti antara tiga konseptualisasi pemanggilan dalam tabel 1. Secara khusus, kami membandingkan tiga pandangan berbeda tentang panggilan dalam hal bagaimana orang mengalaminya, proses penemuan yang melaluinya orang sampai pada suatu panggilan, dan definisi formal yang digunakan para sarjana untuk membedakannya. Secara khusus, penjaga kebun binatang menggambarkan penemuan suatu proses untuk menemukan konvergens.

Panggilan neoklasik adalah “tempat dalam pembagian kerja dalam masyarakat yang seseorang merasa ditakdirkan untuk diisi berdasarkan karunia, bakat, dan/atau peluang hidup yang istimewa” (Bunderson dan Thompson's (2009, 38). Neoklasik menjelaskan pekerjaan adalah fashion diidentifikasi dengan bakat dan tujuan dari pekerjaan tersebut serta imbalan sosial dari masyarakat. Aspek panggilan yang muncul dalam penelitian ini mencakup (1) pentingnya “hardwiring”—para penjaga kebun binatang yang memiliki panggilan merasa bahwa mereka diciptakan untuk bekerja sebagai hewan; (2) persepsi tentang “takdir”— para penjaga kebun binatang yang mempunyai panggilan hidup merasa bahwa takdir telah membawa mereka ke tempat kerja yang tepat; (3) adanya kewajiban yang dirasakan untuk melayani—para penjaga kebun binatang yang memiliki panggilan mengungkapkan rasa kewajiban moral untuk melayani hewan yang mereka tanggung; (4) hubungan dengan pengorbanan—penjaga kebun binatang yang memiliki panggilan melaporkan kesediaan yang lebih besar untuk melakukan pengorbanan pribadi demi hewan mereka dan kebun binatang.

Dalam pandangan neo klasik pekerjaan yang berat dan penuh tantangan akan di balance dengan semangat motif intrinsik, bakat dan tujuan yang ada. sehingga akan mempertahankan durabilitas tantangan pekerjaan. Penelitian panggilan kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat berbagai hasil positif terkait dengan kesejahteraan dan motivasi karyawan (Dobrow dan TostiKharas 2011 ; Duffy dan Dik 2013 ; Wrzesniewski et al. 1997). Dorongan panggilan hati telah terbukti meningkatkan efikasi diri dan motivasi/keterlibatan intrinsik (Bunderson dan Thompson 2009; Dobrow dan Tosti-Kharas, 2011). Efikasi diri atau persepsi mengenai tujuan organisasi dan manfaat yang besar yang dilakukan organisasi. Keterikatan organisasi juga meningkat ketika pegawai melihat organisasi dan pekerjaannya berperan penting dalam mewujudkan tujuan mereka (Cardador, Dane, dan Pratt 2011). Panggilan tampaknya juga memiliki dampak positif yang kuat terhadap komitmen organisasi, bahkan ketika karyawan merasa bahwa organisasinya lalai. Panggilan atas pekerjaan menjadi pelindung bagi individu atas kurang profesionalnya organisasi (Bunderson dan Thompson 2009 ; Schabram dan Maitlis 2017).

Penelitian kuantitatif baru-baru ini juga menunjukkan “sisi gelap” dari panggilan. Misalnya saja, musisi yang memiliki rasa panggilan yang kuat di awal kehidupannya cenderung membesar-besarkan persepsi mereka tentang kemampuan mereka sendiri (Dobrow dan Heller 2015) dan kurang menerima nasihat karier (Dobrow dan Tosti-Kharas 2012). Penjaga kebun binatang dengan rasa panggilan yang kuat memikul beban tugas moral dan pengorbanan serta menunjukkan lebih banyak kritik terhadap manajemen dan rekan kerja mereka (Bunderson dan Thompson 2009).

Sisi gelap juga akan berdampak pada hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sementara nilai-nilai di luar pekerjaan tidak semuanya sejalan dan bahkan kontra akan mengganggu, atau keterbatasan fisik juga akan menyebabkan kelelahan. Dampak panggilan ini antaran lain konflik pekerjaan-keluarga, pekerjaan-sosial. Penelitian panggilan belum memeriksa dengan cermat proses penemuan panggilan. Dobrow dan Tosti-Kharas (2012) memberikan wawasan berharga mengenai dampak orientasi panggilan yang dimulai pada masa remaja namun tidak mengkaji proses penemuan yang melaluinya subjek menyadari bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi musisi. Bott dan Duffy (2015), dalam studi longitudinal terhadap mahasiswa sarjana, menunjukkan bahwa generasi muda lebih mungkin mengalami panggilan di kemudian hari ketika mereka secara eksplisit mencari makna sebagai mahasiswa dan dengan sengaja terlibat dalam pengembangan diri. Temuan ini memberikan beberapa petunjuk awal tentang apa yang mempengaruhi seseorang untuk menemukan panggilan hidup.

Mungkin panggilan tidak ditemukan dalam satu peristiwa penting atau pencerahan. Seperti yang dikemukakan Duckworth (2016), kebanyakan orang cenderung “jatuh cinta” dengan pekerjaan mereka melalui proses melatih ketabahan seiring berjalannya waktu saat menghadapi rintangan. Gagasan bahwa pekerjaan menjadi bermakna melalui usaha dan pengorbanan konsisten dengan pandangan neoklasik tentang panggilan. (dapat di jelaskan oleh SDT)

 

Pakar PSM mempunyai posisi yang unik untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang apakah panggilan yang berbeda dalam pelayanan publik lebih atau kurang bergantung pada PSM (misalnya, apakah pekerja sosial memiliki rasa panggilan yang lebih kuat dibandingkan, katakanlah, pegawai administrasi meskipun tingkat PSM sama?) Kedua, fokus penelitian terhadap “sisi gelap” dari panggilan telepon baru-baru ini dapat merangsang penyelidikan baru untuk PSM. Dapatkah PSM tingkat tinggi, seperti tingkat panggilan yang tinggi, menumbuhkan penolakan terhadap umpan balik (Dobrow dan Tosti-Kharas 2012), ketegangan pada keluarga (Kreiner, Hollensbe, dan Sheep 2009), atau kritik terhadap manajemen dan sesama karyawan? (Bunderson dan Thompson 2009).

Ritz, 2016 menjelaskan peta PSM. Pertama, sekitar 12 persen dari lebih dari 300 artikel membahas tentang konseptualisasi, pendefinisian, atau teori tentang PSM (termasuk integrasi dengan teori lain). Kedua, Ritz, Brewer, dan Neumann (2016) mengamati bahwa “motivasi pelayanan publik masih terikat erat dengan bidang administrasi publik” dan sebagian besar kontributor PSM terlatih dalam administrasi publik. Tersirat dalam pengamatan ini adalah perlunya mengekspos, membandingkan, membedakan, dan mengintegrasikan PSM dengan konsep lain—termasuk konsep yang lebih sering digunakan di luar bidang administrasi publik. Bozeman dan Su (2015, 703) memperkuat pengamatan ini dalam kritik mereka terhadap PSM, dengan menyatakan bahwa konsep PSM mendapat sandungan dari konsep lainnya seperti altruisme dan prososial atau konsep membantu atau kebaikan adalah energi yang akan kembali pada diri sendiri dengan berkali-kali lipat.

Beberapa bukti bahkan menunjukkan adanya dasar untuk hal ini. Misalnya, Brewer, Selden, dan Facer (2000) menemukan bahwa panggilan muncul sebagai tema dalam patriotisme, salah satu dari empat konsepsi individu PSM dalam studi mereka. Frederickson (1997) mengacu pada “panggilan pelayanan publik” sebagai inti dari “semangat administrasi publik.” (68) • Profesi administrasi publik biasanya dipandang sebagai suatu panggilan khusus, dan mereka yang menjawab panggilan tersebut dipandang berbeda dari mereka yang tidak. (81).

Bozeman dan Su (2015, 704) juga tampaknya mengeksplorasi potensi hubungan ini dalam mendesak kejelasan konseptual dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Apa sifat dari 'panggilan' sekuler? Apakah seseorang perlu menjadi pegawai pemerintah agar dapat dipanggil dan memiliki 'komitmen terhadap kebaikan bersama, bukan sekadar kepentingan pribadi'?” Kami mengembangkan kerangka kerja untuk membahas hal ini dan pertanyaan terkait di bagian berikut.

Meskipun terdapat tumpang tindih, PSM dan pemanggilan secara konseptual berbeda. Kedua konsep ini berbeda dalam pendekatannya terhadap pertanyaan tentang motivasi dan implikasi yang dapat diambil dari keduanya. Selain itu, mengingat kekhawatiran tentang kurangnya paparan PSM terhadap konstruksi lain, kami memandang pemanggilan sebagai memberikan wawasan tambahan yang mungkin bermanfaat bagi pemahaman kita tentang apa yang membuat pegawai negeri tergerak. Namun, pemanggilan tidak dan tidak seharusnya menggantikan PSM. Kami berpendapat bahwa kedua konsep tersebut saling melengkapi; mereka memberikan dua lensa berharga yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan makna pekerjaan di sektor publik.

Membaca fitur definisi ini, jelas bahwa pemanggilan dan PSM tumpang tindih dalam penekanannya pada layanan berorientasi lain (Brewer, Selden, dan Facer 2000; Dik dan Duffy 2009). Namun sebaliknya, PSM awalnya menetapkan batasan seputar pilihan sektor atau industri jasa sebagai hal yang tersirat dalam definisi tersebut (Perry dan Wise 1990). Namun penelitian terkini telah memperluas pandangan tersebut, dengan menyatakan bahwa PSM dapat diterapkan pada semua pekerjaan pelayanan publik—apa pun sektornya (Christensen dan Wright 2011 ; Moulton dan Feeney 2011 )— termasuk pekerjaan di sektor nirlaba (Clerkin dan Coggburn 2012; Taylor 2010) dan pekerjaan yang berpusat pada komitmen umum terhadap komunitas (Nowell et al.2016). Definisi PSM saat ini mencerminkan cakupan yang lebih luas; misalnya, Vandenabeele (2007, 547) menggambarkan PSM sebagai “keyakinan, nilai-nilai, dan sikap yang melampaui kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi, namun juga menyangkut kepentingan entitas politik yang lebih besar dan memotivasi individu untuk bertindak sesuai dengan hal tersebut kapan pun diperlukan.”

Di sisi lain, panggilan tidak pernah diasosiasikan dengan sektor tertentu, melainkan merujuk pada sifat spesifik dari sebuah karya dan proses penemuannya, yaitu, bakat pribadi, hasrat, sebab-sebab, dan rasa takdir yang menuntun seseorang pada suatu bidang tertentu. fokus pada jenis pekerjaan yang didefinisikan secara ketat (lihat Bunderson dan Thompson 2009 ; Dobrow dan Tosti-Kharas 2011 ). Panggilan juga menambahkan gagasan tentang “panggilan”—sebuah kebutuhan sosial tertentu yang mengundang pekerja dengan cara yang unik (Dik dan Duffy 2009).

Para pakar PSM telah mencapai konsensus bahwa konstruksinya bersifat multidimensi, meskipun satu dimensi—ketertarikan pada pembuatan kebijakan—masih kontroversial (Ritz 2011). Dimensi PSM yang lebih diterima secara luas yang menyempurnakan definisi panggilan mencakup pengorbanan diri, kasih sayang, dan komitmen terhadap kepentingan publik. PSM menimbulkan pertanyaan mengenai sektor mana atau, dengan definisi yang lebih luas, pekerjaan pelayanan publik yang mana—apakah sektor publik, nirlaba, atau swasta (lihat Christensen dan Wright 2011 ; Clerkin dan Coggburn 2012 ; Moulton dan Feeney 2011. Para ahli berpendapat bahwa PSM didorong oleh campuran motif afektif, normatif, dan rasional (Perry dan Wise 1990). Namun masing-masing dorongan ini bergantung pada proses sosialisasi dimana pegawai menjadi sadar akan peluang terstruktur untuk pelayanan publik

 

Pengungkit Manajerial

Terakhir, dan mungkin yang paling penting dalam mendorong kita menuju penerapan praktis, PSM dan panggilan berbeda dalam hal alat yang mungkin digunakan manajer dalam mengawasi orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan berorientasi lain. Karena PSM digambarkan sebagai disposisi untuk memberikan pelayanan publik, hal ini menunjukkan bahwa manajer dapat memotivasi karyawan dengan mengartikulasikan visi manfaat pelayanan publik, menunjukkan kepemimpinan transformasional, dan menyoroti valensi misi (misalnya, Wright, Moynihan, dan Pandey 2012).

Sebuah contoh yang baik mengenai peran kepemimpinan yang berfokus pada PSM adalah penelitian Grant (2008b) yang menunjukkan dampak motivasi dalam menghubungkan pekerja dengan penerima manfaat dari pekerjaan mereka. Grant mengilustrasikan, misalnya, bagaimana percakapan singkat dengan seorang penerima beasiswa sangat meningkatkan upaya yang dilakukan oleh para penelepon universitas dalam pekerjaan mereka serta efektivitas mereka dalam meminta sumbangan. Efeknya bertahan setidaknya selama satu bulan.

Literatur panggilan menyarankan beberapa pengaruh manajerial yang berbeda untuk membantu memotivasi pekerja yang berorientasi pada layanan. Meskipun manajer dapat menggunakan komunikasi yang menarik untuk menanamkan motivasi pelayanan publik yang lebih besar kepada karyawannya, seorang manajer tidak dapat dengan sengaja memberikan panggilan kepada orang lain karena panggilan tersebut berakar pada bakat yang melekat pada individu.

PSM hanya mengandalkan konteks pelayanan publik, Calling memperkenalkan pengamatan bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dalam pelayanan publik sangatlah penting. Tinjauan kami terhadap PSM dan konsep pemanggilan menunjukkan banyak perbedaan utama dalam sejumlah pertimbangan (lihat tabel 1). PSM, dengan fokusnya pada sektor publik, memberikan banyak penjelasan tentang atribut dan logika kelembagaan yang membentuk seseorang menuju pekerjaan (misalnya, Van Loon, Vandenabeele, dan Leisink 2015).

Kami berpendapat—sebagian besar secara konseptual/teoritis—bahwa panggilan dan PSM akan berkorelasi positif namun berbeda secara empiris. Penelitian mengenai calling hampir tidak mempertimbangkan bagaimana struktur kelembagaan dan budaya mempengaruhi kemungkinan terjadinya calling development. PSM memberikan konstruksi dan serangkaian tindakan yang memungkinkan para peneliti untuk memeriksa bagaimana nilai-nilai organisasi yang berlaku dapat berdampak pada pembentukan panggilan.

Untuk memberikan langkah pertama menuju pengorganisasian dan eksplorasi empiris kemungkinan-kemungkinan menarik ini, kami menguraikan beberapa kelompok pertanyaan penelitian yang kami pandang sebagai inti agenda ilmiah untuk mensintesis PSM dan menyebut penelitian.

Menyelidiki perbedaan dalam pendahulunya adalah salah satu cara yang berpotensi bermanfaat untuk menjelaskan dengan lebih baik kekhasan empiris dari konsep-konsep tersebut. Namun, tinjauan kami juga mengungkapkan bahwa terdapat banyak bidang yang tumpang tindih dan, yang lebih penting, peluang untuk melakukan penyelidikan di mana setiap konstruksi dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi kepada yang lain. Misalnya, pemupukan silang antara panggilan dan PSM memberikan beragam paparan yang dirujuk oleh Bozeman dan Su (2015) dan hanya dapat memperkuat PSM sebagai konstruksi makna dan tujuan di bidang administrasi publik.

 

Menjelajahi Anteseden PSM dan Calling

Terkait dengan panggilan hidup, Duffy dan Autin (2013) menunjukkan bahwa generasi muda dengan pendapatan lebih tinggi dan pendidikan lebih tinggi cenderung mendukung pentingnya menjalani panggilan hidup. Bunderson dan Thompson (2009) telah menunjukkan bahwa panggilan sebenarnya berhubungan negatif dengan gaji, sehingga semakin mempertanyakan gagasan bahwa hanya mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi yang dapat mengalami panggilan. Tetapi dapat di jelaskan keberadaan orang yang berstatus sosial tinggi tidak pernah mengalam masa kesusahan dan membuat dia bisa merasakan kepedihan yang belum pernah di rasakan.

Implikasinya bagi para pemimpin adalah bahwa PSM adalah keadaan yang memerlukan pengasuhan manajerial, sedangkan ketika karyawan mengalami panggilan, mereka mungkin lebih mampu mempertahankan motivasi mereka sendiri

 

Menjelajahi Sisi Gelap PSM

Para sarjana juga telah menunjukkan bahwa panggilan yang tidak terpenuhi merupakan kesulitan bagi karyawan. Ketika seseorang merasakan suatu panggilan tetapi tidak dapat melaksanakannya, dia cenderung melaporkan penurunan kesehatan fisik dan psikologis (Gazica dan Spector 2015) dan penurunan kesejahteraan secara umum (Duffy, Douglass et al. 2016). Berg, Grant, dan Johnson (2010) telah menunjukkan bahwa orang-orang dengan panggilan. Apalagi jika melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan panggilan atau PSM nya semakin menyakitkan psikologis.

Panggilan tampaknya melindungi karyawan dari kelelahan, misalnya (Duffy, Douglass dkk. 2016; Hagmaier, Volmer, dan Spurk 2013). Meskipun memberikan tuntutan yang signifikan kepada karyawan, panggilan juga tampaknya memberikan sumber ketahanan bagi karyawan. Kami mengetahui bahwa belum ada penelitian yang mengeksplorasi dinamika pekerjaan di sektor publik. Memang benar bahwa terdapat dua sisi panggilan yang lebih menonjol di sektor publik dibandingkan di sektor swasta. Karena gaji di sektor publik cenderung lebih rendah, pegawai yang dipanggil mungkin memikul lebih banyak beban pengorbanan. Terlebih lagi, pertaruhan yang dipertaruhkan di sektor publik sering kali sangat besar—terutama ketika seseorang berupaya mengatasi masalah-masalah sosial penting yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah.

 

“gaji kecil dan beban sosial yang lebih berat dan komples”= masalah sektor publik

 

Kami memperkirakan pegawai negeri yang memiliki panggilan tidak akan terlalu terbebani antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga dibandingkan rekan-rekan mereka di sektor swasta. Namun, pada saat yang sama, kami mengantisipasi bahwa pengalaman menelepon akan menumbuhkan ketekunan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan-tantangan ini. Secara anekdot, kita dapat melihat banyak pemimpin sektor publik yang tetap bertahan dalam pekerjaannya meskipun ada hambatan eksternal, kurangnya imbalan, dan lambatnya pencapaian hasil. Konstruk pemanggilan memberikan kekuatan penjelasan yang unik untuk memahami fenomena ini.

Orang-orang dengan orientasi PSM mungkin lebih kebal terhadap perubahan-perubahan dalam pekerjaan mereka karena mereka didorong oleh perspektif yang lebih luas mengenai kesuksesan dalam komunitas secara luas; mereka mempunyai lebih banyak dimensi untuk dipertimbangkan ketika mereka menilai apakah pekerjaan mereka mempunyai dampak.

 

Kesimpulan

Kami berpendapat bahwa PSM dan pemanggilan adalah konsep yang saling terkait namun ortogonal. Mereka sering terjadi bersamaan. Tapi yang satu bisa diamati tanpa yang lain. Masyarakat sering kali merasakan panggilan di luar pelayanan publik, dan banyak pegawai negeri menunjukkan PSM tanpa merasakan adanya keniscayaan yang ditunjukkan oleh panggilan tersebut. Faktanya, kategori terakhir inilah yang memberikan stereotip tidak termotivasi kepada birokrat publik.

Daripada menyarankan “pacuan kuda” antara PSM dan panggilan, kami berpendapat bahwa keduanya saling melengkapi dalam pemahaman kita tentang mengapa seseorang mungkin tertarik, bertahan, dan bahkan mungkin berpisah dari pekerjaan pelayanan publik. Banyak pertanyaan lain, beberapa di antaranya telah kami uraikan di atas, menghadiri persimpangan menarik antara PSM dan kontribusi panggilan terhadap psikologi kerja

 

Senin, 04 September 2023

Tulisan Akademik

Ringkasan Tulisan Akademik UGM FISIPOL

    Tulisan akademik adalah tulisan mengenai sebuah argumen yang baik yang disusun secara sistematis dan jelas. Untuk mencapai hal tersebut hubungan logis, berurut dan konsistensi dalam tulisan harus terkait dengan benang merah.

    Kegagalan dalam menjelaskan gagasan secara sistematis karena tujuan utama dari penulisan tidak muncul, karena banyaknya argument yang ditampilkan sehingga argumen utamanya tenggelam dengan argumen-argumen pendukung. Argument utama di jelaskana secara berputar-putar dan tidak utuh, terlalu banyak menjelaskan logika skundernya di banding logika primernya. Pembahasan terlalu berputar-putar. Penjelasan yang tidak konsisten antara data-data yang di tampikan kurang mendukung gagasan utama malah menjebak menuju pada gagasan skunder. Misal ketika ingin menulis terkait mengenai bagaimana proses pebentukan terjadinya perilaku korupsi malah menampikan banyak tulisan terkait dengan dampak korupsi. Dengan kata lain untuk membuat tulisan yang gagasan nya jelas maka tulisan fokus pada satu gagasan utama, dari awal telah membuat argumen-argumen kuat mengenai gagasan utama tersebut dan tulisa didukung dengan penjelasan yang logis dan memiliki benang merah dalam fokus gagasan utama.

Beberapa kriteria argumen dan gagasan tulisan yang baik yaitu adanya (1) tesis yaitu dugaan dari gagasan pemikiran yang dapat dijelaskan secara runtun. (2) pandangan peneliti lain yang mendukung argumen tesis penulis. (3) seperangkat premis yang disusun runtun untuk menggambarkan argumen dengan jelas. (4) bukti yang menunjukkan jawaban tesis terhadap premis tersebut. (5) kesimpulan yang meyakinkan bahwa argumen tersebut masuk akal dan dapat di terima pembaca.


Tingkat Kedalaman sebuah Tulisan

Sebuah tulisan dengan gagasan pada (1) tingkat paling rendah adalah bagaimana tulisan menunjukkan kesenjangan antara kondisi ideal (das sollen) dan kenyataan (das sein). Pada tulisan ini kita hanya menulis fenomena yang terjadi yang tidak berjalan sesuai dengan harapan atau semestinya. Bisa juga di duking dengan tesis-tesis berdasarkan pengetahuan logika yang dimiliki. (2) Pada tingkatan yang lebih tinggi gagasan di sampaikan dengan membandingkan beberapa penelitian dan mengetahui beberapa faktor penyebab dari penelitian tersebut. Hasil penelitian terdahulu, perdebatan teoritis dan kemampuan pengetahuan menjadi sumber pintu masuk dalam membangun argumen baru yang lebih komprehensif. (3) Pada tingkatan paling tinggi adalah mempertanyakan keabsahaan atau kesahihan dari sebuah argumen atau pendapat yang mapan. misal selama ini banyak faktor yang menjelaskan sebuah teori yang sudah banyak teruji dan mencapai kemapapan maka dengan perubahan kondisi sosial maka teori tersebut dapat bergeser, penulis mencoba mengkritisi teori tersebut dan berusahan membangun argumen baru beserta data pendukung yang lengkap sehingga memunculkan variabel penentu baru untuk menjawa teori atau argumen yang lebih mapan. Misalnya, hasil penelitian Clifford Geertz (1992) yang menyimpulkan bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu: santri, abangan, dan priayi. Kita bisa menulis artikel tentang hal yang sama dengan cara melawan pendapat Geertz tersebut dan menunjukkan bahwa kategorinya tumpang tindih. Priayi dalam kategori Geertz bukanlah kategori yang bisa menunjukkan tingkat religiusitas seseorang melainkan kategori sosial yang membedakannya dengan kalangan bawah. Dengan sudut yang lain, seorang penulis bisa menemukan argumen lain bahwa masyarakat Jawa bukan seperti yang digambarkan Geertz. Misalnya, temuan Nakamura menunjukkan bahwa kategori statis santri dan abangan tidak muncul di masyarakat Yogyakarta. Pada kenyataannya, ada proses dinamis Islamisasi dari masyarakat yang semula abangan menjadi santri sebagaimana ditunjukkan dengan adanya berbagai pengajian.

Contoh lain adalah penelitian-penelitian tentang politik dan birokrasi di Indonesia yang selama ini menghasilkan kesimpulan tentang kuatnya peran negara atau birokrasi. Temuan-temuan tersebut memunculkan berbagai istilah seperti bureaucratic polity atau patrimonial bureaucracy (Crouch, 1979), corporatist state (King, 1982), atau clientalism state. Akan tetapi, hal itu telah disanggah dengan tulisan yang mengatakan bahwa proses pembuatan kebijakan di Indonesia lebih mengarah pada pluralism dan menegaskan kuatnya peran institusi nonnegara (MacIntyre, 1988).

Jenis Struktur Penulisan

    Esensi karya akademik adalah adanya argumen yang jelas. Penulis wajib menghadirkan argumen dalam tulisannya. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menghadirkan argumen? Argumen suatu karya akademik merupakan kesatuan dari ide-ide pokok yang tercantum dalam paragraf. Titik tekan menghadirkan argumen terletak pada susunan paragaf. Paragaf adalah elemen-elemen pembangun argumen dalam suatu karya akademik.

    Crème dan Lea (2008) menjelaskan beberapa jenis paragraf, yaitu kronologi, deskripsi, sebab-akibat, perbandingan, dan evaluasi. Masing-masing jenis dapat berdiri sendiri atau berkolaborasi untuk membangun suatu argumen. Misalnya, argumen evaluasi dapat disusun dengan paragraf evaluasi semata atau menggabungkan antara paragraf kronologi, deskripsi, sebab-akibat, dan evaluasi.

Jenis paragraf:

(1) Kronologi, Karakteristik utama paragraf kronologi adalah gagasan yang berbasis sekuen waktu (time line). Penyajian runtut berdasarkan alur waktu menjadi kekuatan jenis paragraf ini.

(2) Deskripsi, Jenis paragraf deskripsi bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena secara detail. Dalam istilah Geertz, hal ini disebut deskripsi mendalam (thick description) Keunggulan paragraf deskriptif adalah mampu menjelaskan konsep yang abstrak secara lebih konkret sehingga mudah dipahami pembaca. Ada berbagai strategi yang lazim digunakan dalam jenis paragraf ini, misalnya: diagram, tabel, monografi, dan tipologi. Kualitas penulisan paragraf deskripsi tergantung pada kedalaman penjelasan. Banyak penulis terjebak dalam pola reportase sehingga sulit membedakan antara liputan berita atau karya akademik

(3) Sebab-Akibat, Logika pikir yang mendasari penulisan paragraf sebab-akibat adalah hubungan satu isu atau fenomena dengan isu atau fenomena lain. Kata kuncinya adalah tidak ada isu atau fenomena yang berdiri sendiri. Ada tiga pertanyaan mendasar yang lazim di dalam paragraf sebab-akibat. Pertama, apa yang terjadi? Pertanyaan ini menuntut pemahaman penulis untuk menetapkan isu atau fenomena yang menjadi substansi penulisan. Sangat mungkin isu yang dipaparkan lebih dari satu. Namun demikian, variasi isu tidak dimaksudkan untuk membandingkan dan hanya memperkaya fenomena sejenis. Kedua, bagaimana hal tersebut terjadi? Pemaparan mengenai proses bekerjanya suatu isu atau fenomena sehingga memengaruhi munculnya fenomena lain. Ketiga, apa konsekuensi yang ditimbulkan? Akhir dari paragraf sebab-akibat menjelaskan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan atas suatu fenomena.

(4) Perbandingan, Paragraf perbandingan bertujuan untuk membandingkan dua hal atau lebih. Perbandingan dilakukan berbasis indikatorindikator tertentu. Oleh sebab itu, paparan indikator pembanding penting ada dalam paragraf perbandingan. Indikator-indikator inilah yang akan menunjukkan persamaan dan perbedaan isu dan fenomena yang dibandingkan. Catatan kritis dalam jenis paragraf ini adalah ketidakjelasan indikator pembanding. Banyak penulis tidak menggunakan indikator pembanding yang konsisten ketika membandingkan dua hal atau lebih.

(5) Evaluasi, Paragraf evaluasi bertujuan untuk memberikan penilaian (judgement) terhadap kebijakan atau program yang dievaluasi. Sangat mungkin beberapa penulis memberikan penilaian yang berbeda terhadap satu isu yang sama. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan perspektif. Oleh sebab itu, paparan perspektif yang menjadi pijakan dalam evaluasi penting adanya dalam paragraf jenis ini. Hal ini penting agar pembaca mengetahui perspektif yang digunakan. Selain itu, juga penting untuk memaparkan indikator-indikator yang menjadi dasar evaluasi.

Bentuk Karya Akademik

1. Ringkasan (Summary) Membaca ringkasan menjadi pilihan bagi para pembelajar untuk memahami karya akademik secara cepat. Ringkasan merupakan versi singkat dari sebuah teks (buku, artikel jurnal, laporan penelitian). Tujuan menulis ringkasan adalah menyajikan kepada pembaca sebuah gagasan paling penting dari sebuah teks dan memampatkan informasi dan argumen yang digunakan dalam mendukung gagasan utama sebuah tulisan (Friedman & Steinberg, 1989:140). Struktur penulisan dalam ringkasan lebih bersifat langsung (straight forward). Ringkasan berisi tentang inti dari latar belakang, perspektif, argumen yang didukung bukti-bukti, metode (jika hasil penelitian), dan kesimpulan atau refleksi teoretis. Secara umum, panjang ringkasan antara 750-1.000 kata. Ringkasan ditulis dengan kalimat sendiri atau tidak menyalin kalimat dalam teks. Oleh sebab itu, kemampuan parafrase mutlak dimiliki untuk menulis ringkasan.

2. Tinjauan Kritis (Critical Review)

Tinjauan kritis adalah sebuah tulisan yang lebih rumit daripada ringkasan karena mensyaratkan, antara lain, kemampuan untuk menganalisis teks seperti yang dimaksudkan penulisnya, gagasan pengendali atau tesis, menganalisis teknik pengorganisasian, dan kemampuan meringkas (summary). Tujuan tinjauan kritis adalah memberikan penilaian kualitas sebuah tulisan. Ada dua pertanyaan mendasar untuk memberikan penilaian sebuah tulisan. Pertama, apakah informasi disajikan secara objektif? Kedua, apakah pendapat penulis fair dan logis (masuk akal)?

3. Esai 

Esai adalah salah satu karya akademik yang paling sering dijumpai oleh mahasiswa. Dalam proses pembelajaran setiap semester, tidak sedikit dosen memberikan tugas membuat esai. Oleh sebab itu, kemampuan menulis esai mutlak dimiliki mahasiswa. Banyak definisi berkembang untuk menggambarkan esai. Namun demikian, terdapat satu kesepahaman bahwa esai terdiri dari tiga bagian, yaitu pengantar, batang tubuh atau isi, dan penutup atau kesimpulan. Bagian pengantar terdiri dari gambaran umum dan tesis yang akan dijawab melalui esai. Esai biasanya diawali dengan pernyataan secara eksplisit kalimat tesis atau gagasan pengendali.

4. Tugas Akhir 

Setiap jenjang pendidikan mensyaratkan mahasiswanya untuk menulis sebuah karya ilmiah yang menjadi tugas akhir. Karya Ilmiah bagi mahasiswa pendidikan S1 adalah skripsi, bagi mahasiswa S2 adalah tesis, dan bagi mahasiswa S3 adalah disertasi. Perbedaan ketiga bentuk karya ilmiah tersebut terletak pada kedalaman pembahasannya. Oleh sebab itu, jumlah kata untuk tiap-tiap tugas akhir pun berbeda-beda. Setiap institusi pendidikan memiliki aturan tersendiri mengenai jumlah kata untuk penulisan tugas akhir. Namun demikian, berdasarkan perbandingan (benchmarking) aturan akademik di berbagai universitas terkemuka di dunia dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata jumlah kata tugas akhir adalah sebagai berikut: 1. Skripsi Sarjana : 15.000-25.000 kata 2. Tesis Pascasarjana : 30.000-40.000 kata 3. Disertasi Doktoral : 80.000-100.000 kata


Gambaran Umum Tulisan

Sebuah tulisan secara garis besar minimal harus memuat pendahuluan, isi, dan penutup

- Bagian pendahuluan mengutarakan garis besar dan rencana yang akan ditulis oleh penulis. 

- Isi merupakan bagian yang berisi pemaparan argumentasi dan analisis yang ingin disampaikan penulis.

- Penutup merupakan bagian tempat penulis menyampaikan kesimpulan dari hasil analisisnya.

Pendahuluan 

Pendahuluan mempunyai dua fungsi yang mendasar dalam sebuah rangkaian tulisan. Fungsi yang pertama adalah memberikan ruang kepada penulis untuk mendeklarasikan posisinya atas isu atau topik bahasan atau cara pandang, metode, dan landasan berpikir atau kajian teoretiknya. Penentuan posisi yang jelas oleh penulis dapat memberikan sumbangan bagi topik yang sedang dibahas. Fungsi kedua adalah menunjukkan kepada pembaca mengenai permasalahan yang sebenarnya menjadi pijakan awal menulis, alasan menjadi masalah, dan perlunya pemecahan atas permasalahan itu. 

Pendahuluan setidak-tidaknya berisi reviu referensi awal, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, dan hipotesis. Namun tidak semua komponen itu terdapat dalam sebuah tulisan dan hal ini sangat tergantung pada bentuk tulisan dan metode penelitian yang digunakan penulis. Bentuk tulisan jurnal dengan laporan hasil penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi berbeda format strukturnya. Perbedaan metode penelitian yang digunakan juga membawa konsekuensi pada format strukturnya. Misalnya, dalam penelitian kuantitatif terdapat hipotesis yang dinyatakan secara lugas, sedangkan dalam penelitian kualitatif cukup dengan bentuk pertanyaan penelitian atau rumusan masalah serta argumen. Berikut ini adalah komponen-komponen yang selayaknya terdapat dalam bagian pendahuluan.

Pendahuluan menjelaskan sebagai berikut:

1. Pemaparan Topik (Kenapa topik ini penting dan menarik?)

2. Tinjau awal, menjelaskan mengenai pembahasan-pembahasan terdahulu, bagian-bagia penting, perbedaan-perbedaan penelitian. Tinjauan awal memetakan konsep, topik pembahasan, sehingga pokok pembahasan menjadi jelas posisinya.

3. Argumentasi Tulisan

mengeluarkan ide yang lebih spesifik dari tinjauan awal berdsarkan fenomena dan fakta yang ada. atau bisa juga membantah temuan terdahulu dari kondisi yang dilihat. kemudian disusun argumen yang kuat kenapa perbedaan terjadi

Argumentasi dengan logika deduktif merupakan argumentasi yang dimulai dengan menampilkan hal-hal yang bersifat umum dan kemudian mengarah pada hal-hal yang lebih khusus. Ia dimulai dengan mengetengahkan argumentasi utama dan kemudian menurunkan uraian yang berupa fakta, referensi, dan analisis untuk memperjelasnya. Argumentasi dengan logika induktif dimulai dengan memaparkan bukti-bukti yang mendukung argumentasi secara lengkap, sebelum diakhiri dengan ide besar argumentasinya.

4. Fokus

Fokus kajian merupakan pemosisian penulis atas hal yang akan menjadi inti tulisannya dengan menunjukkan hal-hal yang akan dibahas dan paradigma atau sudut pandang untuk membahasnya. Fokus kajian lazimnya dirumuskan menjadi rumusan masalah atau pertanyaan penelitian atau hipotesis dalam penelitian kuantitatif.

- Rumusan masalah

Rumusan masalah merupakan pernyataan yang memberikan penekanan utama atas permasalahan yang dibahas dalam sebuah tulisan. Bagian ini diawali dengan menunjukkan pemaparan argumentasi secara rasional kemudian ditutup dengan sebuah kesimpulan yang dapat menunjuk pada satu fokus permasalahan yang jelas

- Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian merupakan pernyataan yang tegas oleh penulis untuk bertanya mengenai permasalahan yang akan dibahas dan dicari jawabannya.

- Hipotesis

Pernyataan hipotesis (sebuah atau beberapa tesis yang hendak ditunjukkan kebenarannya) biasanya digunakan dalam sebuah tulisan bermetode kuantitatif. Pernyataan hipotesis dalam laporan penelitian biasanya menunjukkan sebuah hubungan antara atau pengaruh atas minimal dua variabel.

H1 : Terdapat perubahan motivasi pegawai sebelum dan setelah memasuki organisasi publik (DJBC)

H2: 


Pengorganisasian Tulisan

Tujuan organisasi tulisan adalah penulis perlu memberitahukan kepada pembaca tentang tulisannya agar dapat diketahui garis besar isi dari pendahuluan, isi atau pembahasan, sampai kesimpulan dan penutup. Pembaca dapat lebih mudah mengikuti alur dan logika penulis atau menyelaraskannya dengan pemikiran penulis. Pembaca juga dapat menemukan secara cepat hal-hal yang ingin dicarinya dari tulisan tersebut tanpa harus membacanya secara keseluruhan. Hal ini hanya dipakai oleh pembaca untuk memastikan bahwa di dalam tulisan tersebut terdapat isi atau pembahasan yang diinginkan sebelum membaca secara keseluruhan.



Kajian Teoretik

Reviu Referensi Terdahulu 

Reviu referensi terdahulu berisi mengenai hasil-hasil terdahulu yang bisa berupa hasil analisis atau hasil penelitian. Berbeda sedikit dengan bagian reviu awal, referensi terdahulu mengulas lebih komplit dan memasukkan hasil analisis, metode yang digunakan, lokasi, dan waktunya. Referensi yang digunakan, baik dalam reviu awal maupun referensi terdahulu boleh sama, namun tidak boleh berulang sama persis. Referensi terdahulu bermanfaat pertama, untuk dapat membantu membangun argumentasi penulis mengenai sebuah topik, sebelum nantinya dibahas lebih mendalam dalam analisis. Argumentasi dibangun dengan menunjukkan fakta atas referensi dan/atau penelitian terdahulu yang selaras dan mendukung ide penulis. Argumentasi juga dapat dilakukan dengan menunjukkan kontradiksi pada topik yang bersangkutan dan penulis dapat memosisikan dirinya pada sebuah pilihan yang berdasar reviu awal ini. Kedua, membantu mengetengahkan orisinalitas analisis dan argumentasi penulis mengenai topik yang sedang dibahas. Penulis kadangkala terjebak dengan sebuah topik bahwa yang pertama membahas itu adalah yang original tanpa memberikan pembandingan atas penelitian dan referensi terdahulu. Penulis harus dapat memberi pembanding dan menunjukkan sisi orisinalitasnya atas penelitian terdahulu baru kemudian menyatakan orisinil.

Landasan Teori

Landasan teori merupakan pemaparan akan teori yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam sebuah penelitian yang menggunakan dasar berpikir deduktif. Teori dimulai dengan menunjukkan teori besarnya dan diturunkan pada middle theory sampai pada operasionalnya.

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan bagian tempat penulis mengemukakan proses melakukan penelitian sebagai dasar terciptanya tulisan. Selayaknya metode penelitian berisi tentang halhal berikut ini

Pemaparan atas perbedaan terhadap metode yang dipergunakan seperti strategi penelitian, variable penelitian jika penelitian kuantitatif, data dan yang lainnya terhadap penelitian yang dilakukan terdahulu. Aspek kebaruan dalam sebuah penelitian tidak hanya terbatas pada isu atau subtansi, namun bisa juga pada objek penelitian, lokasi, data, dan metodenya. 

b. Menunjukkan pendekatan metode penelitian (kuantitatif atau kualitatif) yang digunakan dan alasan yang mendasari pemilihan metode ini sehingga pemilihan metode penelitian bukan tanpa dasar atau sekadar sebagai suatu kebiasaan. Metode penelitian yang digunakan harus selaras dengan tujuan penelitian dan objek atau data penelitian yang dilakukan. Tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah sampai pembandingan kelebihan dan kekurangan atas metode tersebut.

c. Menunjukkan strategi dan tahapan-tahapan yang digunakan dalam menjalankan proses penelitian. Tahapan-tahapannya terdiri dari, misalnya, pengumpulan data (observasi, data sekunder, dan wawancara). Berkenaan dengan hal ini, yang ditampilkan bukan hanya definisi atau pengertian atas tahapan itu, namun juga hal yang dilakukan dengannya. Penulisan aktivitas wawancara, sebagai contoh, perlu memaparkan bentuk wawancara, siapa yang diwawancara, dan global pertanyaannya. 

d. Apabila menggunakan data sekunder, penulis perlu memaparkan karakteristik data tersebut, misal sumber dan tanggal aksesnya. 

e. Khusus untuk penelitian kuantitatif biasanya disertai dengan penjelasan atas variabel yang digunakan, model jika menggunakannya, dan penjelasan mengenai alat analisisnya.