Making the quality of government better: the possibility of public service motivation (PSM) change
Cheouljoo Leea and Seoyong Kimb*(2014)
Penelitian ini berfokus pada bagaimana PSM berubah, secara natural atau berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh individu PSM. PSM berubah dari waktu ke waktu tentu akibat interaksi antar personal dan natural. tetapi apakah PSM bisa berubah atau tidak? Pertama penelitian ini melihat apakah PSM dapat berubah atau tidak?apakah PSM adalah sesuatu yang dapat berubah sifat atau watak? Kedua, penelitian ini menjelaskan bagaimana 3 model faktor sosialisasi organisasi seperti: role model atau identification, pengalaman pekerjaan, dan konten pekerjaan dapat mempengaruhi perubahan PSM tersebut. Ketiga, melihat sejauh mana perbandingan faktor determinan yang mempengaruhi perubahan PSM tersebut.
Pertanyaan pertama: apakah motivasi dapat berubah?
Motivasi merupakan kunci untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui produktivitas individu yang tinggi. Banyak sekali penelitian yang menunjukkan kunci dari keberhasilan organisasi adalah motivasi individu di dalamnya (Wright, 2000). Untuk sektor publik masih sedikit penjelasan motivasi dan perkembangan yang berfokus dimulai dari penelitian Rainer (1982) yang mempertegas perbedaan antara motivasi para manajer pada sektor private dan sektor publik, sehingga apa yang menjadi role model pada sektor private tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam sektor publik karena perbedaan karakter tersebut. Hal ini terbukti dengan kegagalan adopsi sektor private kedalam sektor publik secara konsisten sebagaimana penelitian oleh (Perry, Mesch, and Paarlberg 2006) mengenai kegagalan skema insentif keuangan yang diterapkan pada sektor publik sebagaimana yang diadopsi dari sektor private sejak awal tahun 1970 an.
Ketika sektor private berfokus pada efisiensi untuk mencapai keuntungan dan inovasi untuk keberlangsungan usaha maka sektor publik lebih menggunakan efisiensi untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, sedangkan untuk keberlangsungan sektor publik sangat dipengaruhi oleh persepsi yang dibangun dan diterima oleh masyarakat. Itulah kenapa saat ini masih banyak orang yang berpikiran masih enak di era soeharto, karena tentu kebijakan tersebut melihat jangka pendek dengan memberikan kepuasan secara terus menerus kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak bergejolak yang lambat laun perencanaan tersebut tidak diimbangi dengan kontrol yang baik pada akhirnya meletus reformasi.
Perry and Wise (1990) mengembangkan teori motivasi pelayanan publik dalam seminar papernya yang menyatakan bahwa PSM adalah keyakinan dan nilai serta sikap yang terdapat pada individu yang ada pada organisasi publik dalam mendedikasikan dirinya untuk pelayanan publik. Dari hal tersebut tentu motif intrinsik nya sudah ada dan berbeda dari pilihan di private sektor. Penelitian terkait PSM ini meningkat (Perry dkk., 2010). Walaupun sudah banyak sekali penelitian tentang PSM (Choi, 2004; Park & Word, 2012) masih banyak sekali yang harus dipelajari tentang PSM (Perry, 1997) seperti penelitian bagaimana PSM dapat berubah dan apakah PSM pada individu dapat berubah atau tidak? dan apabila dapat berubah karena apa?
Studi terdahulu yang mengetest terkait perubahan motivasi antara lain Mortimer and Lorence (1979) yang menunjukkan bagaimana extrinsic rewards (seperti gaji pendapatan, prestige dan keamanan), status sosial dan persepsi masyarakat (kesempatan untuk bekerja dalam membantu orang lain dan berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara) dan intrinsik value (tantangan, tanggung jawab, pashion, dan autonomi). Kelemahan penelitian ini tidak mempertimbangkan longitudinal waktu yang panjang, karena motivasi, watak berubah seiring waktu sehingga fundamental dalam jangka panjang tak tercapture dalam penelitian tersebut. Lalu apa hal yang paling menentukan dalam dinamika PSM tersebut? Perry (1997, P. 193) menyarankan untuk penelitian yang lebih jauh ke dalam birokrasi dan PSM dengan bersandar pada pertanyaan apa yang membuat individu termotivasi untuk masuk ke dalam organisasi publik? bagaimana pandangan seseorang terhadap bekerja di sektor publik? faktor ini dikenal dengan antecedent motivasi pelayanan publik dan terbentuk dari sosio historis yang panjang seperti pengaruh dari orang tua, keluarga dekat, agama, identifikasi profesional, ideologi dan demografi individu (Perry, 1997) interaksi sampai pada proses pilihan ke dalam sektor publik menjadi starting point awal PSM pada individu dalam memasuki organisasi publik.
Faktor sosialisasi ini atau informasi mengenai organisasi publik akan menjadi kognitif awal individu menentukan apakah nilai yang ada pada dirinya dapat berjalan sesuai dengan pilihannya. faktor sosialisasi, interaksi informasi individu dan lingkungan sangat mempengaruhi pilihan. Pertanyaanya seperti apa persepsi masyarakat terkait organisasi pelayanan publik yang kemudian menjadi faktor yang mempengaruhi individu untuk bekerja di sektor publik? Faktor kognitif ini sangat menentukan individu dalam memilih sektor publik dan menjadi modal awal PSM, kesalahan fatal yang terjadi adalah kesalahan persepsi bahwa menjadi ASN hanya mengejar faktor ekstrinsik reward saja tanpa adanya intrinsik reward dan perubahan organisasi yang terjadi berdampak pada kelelahan nilai dan kesadaran bahwa kognitif awal yang di bangun tidak sesuai dengan kenyataan. Sosialisasi sebelumnya dari keluarga, lingkungan yang memberikan persepsi bahwa ASN dilayani sementara dalam proses organisasi berubah dan perubahan organisasi ini masih belum tersosialisasi dengan baik dalam masyarakat, menyebabkan individu yang masuk dalam turbulensi perubahan organisasi akan memiliki pertentangan nilai antara kognitif awal dan kenyataan yang dihadapi.
Organisasi memiliki peran dalam mensosialisasikan kepada masyarakat serta kepada pegawainya bahwa konsep organisasi publik adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sosialisasi organisasi dapat melalui sosialisasi media, proses, peran pimpinan, dan aturan-aturan yang dibuat organisasi (Chao, O’Leary-Kelly, Wolf, Klein, & Gardner, 1994). Aturan tersebut meliputi cara, perilaku, sikap dan pengetahun tentang diri mereka dan organisasi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan berbagai konsekuensi untuk mempengaruhi perilaku tersebut (Van Maanen dan Schein, 1979). Melalui penelitian empirik, kita dapat menjelajahi bagaimana PSM berubah. untuk dapat melihat perubahan maka PSM di transkrip menjadi nilai, sehingga perubahan PSM dapat diukur secara kuantitatif. Adapun faktor yang dihipotesiskan dalam mempengaruhi perubahan PSM adalah faktor sosialisasi. Berdasarkan teori sosialisasi organisasi sebagai kunci yang menentukan perubahan PSM antara lain:
Sosialisasi Role model atau identity (bagaimana kita memahami pekerjaan dan organisasi publik kita meliputi atasan dan rekan kerja dan sistem kerja yang profesional).
Sosialisasi Pengalaman personal dan tindakan seperti pengalaman-pengalaman mengejan pekerjaan hasil negatif atau positif yang kita terima sangat menentukan tindakan dan pilihan).
Sosialisasi Work content (isi pekerjaan apakah sesuai dengan diri individu atau sesuai dengan motivasi intrinsik pada individu).
Sosialisasi Melalui Role Model dan Identifikasi
Perry (2000) mendebat apabila kita menganggap motivasi sebagai faktor endogen yang berasal dari genetika dan dapat berubah karena termodifikasi dalam proses sosial sehingga dapat dipelajari efek endogen dan eksogennya yang saling mempengaruhi. Walau secara khusus faktor endogen melekat sejak lahir tetapi akan termodifikasi oleh lingkungan dan mempengaruhi bentuk dari perilaku endogen tersebut. Faktor eksogen inilah yang dapat mempengaruhi perilaku sikap endogen yang merupakan sikap atau ciri bawaan seseorang. Organisasi perlu menerapkan norma dan aturan serta nilai dalam konteks organisasi sebagai faktor ekstrogen untuk dapat memodifikasi faktor endogen seseorang.
Bandura (1977, P. 22) menjelaskan kenapa role model dapat menjadi faktor eksogen yang mempengaruhi dan memodifikasi perilaku manusia? karena kebanyakan manusia belajar dengan menggunakan panca inderanya seperti melihat, mendengar, merasakan, meraba, maupun mencium lingkungan disekitarnya. Dengan mengandalkan input panca indera tersebut akan mempengaruhi perilaku dengan pembelajaran atau proses berpikir untuk mencapai seperti yang dicapai orang lain yang menjadi keinginannya, Maka itu pemodelan dan sosialisasi organisasi sangat penting dalam proses pembelajaran dan pembentukan faktor eksogen agar dapat memodifikasi faktor endogen dalam individu.
Role model merupakan bentuk sosialisasi yang secara significant berdampak dalam proses pembelajaran sosial. pemimpin dan rekan kerja atau apapun yang dalam sehari-hari berinteraksi dapat menjadi role model termasuk juga gadget dan media sosial akan menjadi input role model dalam pembelajaran social learning dan akan mempengaruhi perspektif serta kognisi dari individu. Role model menjadi pengaruh yang penting dalam mempengaruhi individu termasuk perilaku, dan motivasi pelayanan publiknya.
Role Model Pimpinan
Berdasarkan penelitian dari Camilleri(2007) yang meneliti hubungan pegawai dan pimpinan (initiating structure, leader consideration, participative leadership and leader communication) menyimpulkan bahwa hubungan tersebut memiliki dampak positif terhadap PSM. Semakin tinggi hubungan pegawai dan pimpinan akan dapat mentransfer PSM ke bawahan, Sebuah komunitas akan mempengaruhi individu di dalamnya dan pemimpin juga paling berperan dalam mempengaruhi individu di dalamnya. Hubungan yang baik, komunikasi yang baik, dan saling percaya akan menjadi saluran yang efektif dalam mentransfer PSM dari leader ke bawahan, organisasi atau rekan kerja ke Individu lainnya dan dapat meningkatkan komitmen terhadap pelayanan publik (Kim, 2009).
Pemimpin lebih dominan jika diukur satu pemimpin dengan pegawai di bawahnya jika dibandingkan rekan kerja, karena ada relasi kuasa dan kewenangan dalam mempengaruhi bawahannya, tetapi rekan kerja walau lebih kecil tapi dapat masuk dalam situasi formal maupun dan non formal dalam mempengaruhi motivasi pegawai. Selain itu, pemimpin memiliki pengaruh yang lebih kuat jika dibandingkan satu persatu dengan rekan kerja karena pemimpin bertindak sebagai panutan, supervisor dapat diandalkan sebagai sumber interpersonal di semua domain, sementara rekan kerja dapat membantu sebagai sumber di domain kelompok (Filstad, 2004).
Nilai lain dalam birokrasi dan hubungan sosialnya secara umum didukung oleh profesional identifikasi. Sejak profesional sudah menjadi nilai-nilai pelayanan publik secara historis. Maka organisasi mewarisi nilai dari sejarah organisasi sebelumnya, dari masa lalu organisasi yang telah membentuk brand dalam masyarakat. Warisan ini tidak terlepas dari sosio historis yang telah terbentuk dari masa ke masa. Organisasi publik merupakan wadah penyimpanan nilai-nilai pelayanan publik secara historis. Perry (1997) berasumsi bahwa apabila ada ketegangan antara nilai-nilai etika dan moral, identifikasi profesi, visi misi organisasi diharapkan dapat menjadi rujukan dan berhubungan positif dengan PSM. Tetapi hasil penelitian empiris Perry (1997) menunjukkan bahwa identifikasi profesional adalah pedang bermata dua yaitu PSM berhubungan negatif dengan ketertarikan pada pembuatan kebijakan sedangkan PSM berhubungan positif dengan tugas sipil dan pengorbanan diri. Di sisi lain, Moynihan dan Pandey (2007) melaporkan hubungan positif yang kuat dan seragam antara identifikasi profesional dan PSM.
Socialization through personal experience and action
Faktor kedua dalam mempengaruhi perubahan PSM adalah pengalaman individu positif atau negatif. Ada individu yang beberapa kali kecewa dengan organisasi yang ingkar janji misal individu sudah menunjukkan komitmen yang tinggi tetapi harapannya juga tidak kunjung datang, dengan kata lain pengorbanan yang telah dia lakukan bertahun-tahun tidak membuahkan hasil dan rusak dalam seketika. Pertentangan tersebut menyebabkan ketidak percayaan individu pada organisasi dan akan merubah PSM nya atau kekecewaan terhadap penilaian organisasi yang tidak sejalan dengan penilaian PSM sehingga individu merubah PSM nya melemah dan hanya berfokus pada ukuran-ukuran penilaian tertentu yang ditetapkan oleh organisasi. Kejadian tersebut sangat erat dengan terjadinya perubahan organisasi yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor politis misal penilaian yang tidak objektif, perubahan sistem organisasi dan sebagainya yang bertentangan dengan sifat dari motivasi pelayanan publik.
Respon pengalaman yang diterima dari organisasi akan membentuk dan mempengaruhi PSM berkembang atau menurun, berdasarkan reaksi dari pengalaman-pengalaman kerja nya. Perry (1997) menunjukkan bagaimana reaksi pengalaman saling ber orkestra antara satu pengalaman dengan pengalaman lain, bisa saja dikaitkan dengan pengalaman masa kecil, pengamalan ajaran agama dan keyakinan dan pengalaman profesional hidup (Perry, 1997, p. 190). Steinberg, Greenberger, Vaux and Ruggiero (1981, p. 403) sepakat bahwa perilaku individu dalam bekerja juga ditentukan dalam pengalaman awal kerja dan persepsinya pada dunia kerja yang dipilihnya. Mortimer dan Lorence (1979) secara empiris menunjukkan bahwa pengalaman kerja yang bermanfaat memperkuat nilai yang sama yang menjadi dasar pengalaman kerja sebelumnya. Studi kami akan fokus pada dua pengalaman dalam organisasi: kegiatan Relawan dan peristiwa kehidupan negatif. Misalnya, Perry et al. (2008) percaya bahwa tindakan sukarela formal atau informal merupakan indikator PSM lebih tinggi.
Perry dkk., 2008 menunjukkan bahwa indikator melihat level PSM seseorang tinggi atau tidak adalah sikap sukarela atau relawan. Indikasi relawan ini menunjukkan seseorang memiliki PSM yang baik. Indikator menjadi relawan juga ditopang oleh banyak faktor misal kompetensi, nilai yang diyakini, pengalaman masa lalu positif, penghargaan, status sosial dan sebagainya terutama yang bersumber dari intrinsik motivasinya. Penelitian ini lebih fokus menarik dua pengalaman organisasi yaitu pengalaman sukarelawan dan negative life events. Membandingkan pra dan pasca sosialisasi organisasi. Kim, Joe and Park (2010) menunjukkan bahwa pengalaman membantu sesama dalam pekerjaan sektor publik secara konsisten berpengaruh positif terhadap PSM.
Adapun pengalaman hidup atau life event, menurut Perry (2000, P. 480) merupakan pengalaman yang diperoleh individu dalam organisasi misal bagaimana organisasi dapat masuk ke dalam masyarakat dan memberikan kesan positif akan memerankan motivasi dan keterikatan mereka terhadap organisasi, individu yang memiliki persepsi mengenai nilai positif yang menjadi bagian dari historisnya akan mampu membentuk PSM yang tinggi (Perry et al. (2008)Camilleri (2007) sedangkan negative life event misal berdasarkan pengalaman individu dimana polisi diidentikan dengan perilaku menangkap termasuk dalam menakuti anak kecil kalau nakal ditangkap polisi memberikan kesan negatif terhadap organisasi dan merupakan bagian dari life event (Kim et al., 2010). pengalaman negatif terhadap brand organisasi atau pengalaman yang pernah dialami dalam organisasi merupakan faktor yang dapat menjadi penghambat dalam perkembangan PSM.
Socialization Melalui Konten Pekerjaan
Work content adalah target dari desain pekerjaan, bagaimana desain pekerjaan yang ideal dapat membangkitkan motivasi, lingkungan kerja dan situasi baik fisik seperti sarana prasarana maupun non fisik misal kehangatan dan komunikasi yang baik antara atasan dan rekan kerja. Pembelajaran untuk berkinerja secara strategis dan jelas merupakan bagian penting dalam sosialisasi. work content meliputi kejelasan tugas, desain pekerjaan. Hal ini juga memunculkan perbedaan tiap individu dalam organisasi. berdasarkan teori sosialisasi organisasi (Dolan, 2002) menyatakan bahwa pengalaman kerja yang berbeda dalam lembaga pemerintah akan menonjolkan perbedaan preferensi antara jenis kelamin. Selain itu, sosialisasi organisasi berkontribusi pada kemahiran pekerja dalam tugas mereka, yang meningkatkan resolusi identitas, kemampuan beradaptasi, dan kepuasan kerja mereka (Chao et al., 1994).
Karakter pekerjaan merupakan identitas pekerjaan dan tentu akan mempengaruhi persepsi individu maupun masyarakat mengenai pekerjaan tersebut. Karakter pekerjaan dan content pekerjaan menjadi pembelajaran secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi PSM individu. Wrights (2004) mendemonstrasikan bahwa karakter dan konten pekerjaan seperti konflik tujuan antara individu dan organisasi, hambatan prosedural dan ketidakjelasan tujuan atau goal ambiguity memiliki dampak negatif dalam motivasi kerja. begitu juga menurut penelitian Moynihan dan Pandey (2007. P. 41) menyarankan bahwa organisasi publik dengan karakter red tape, hierarkis authority, dapat mempertajam perilaku administratif dari publik servant. Menunjukkan bahwa lembaga organisasi ditandai dengan birokrasi dan otoritas hirarkis membentuk perilaku administrasi pegawai negeri serta sikap dasar bahwa individu memegang tentang nilai pelayanan publik.
Studi kami berfokus pada pekerjaan pelayanan sebagai konten pekerjaan utama, yang dialami oleh mereka yang ditempatkan di departemen atau lembaga pekerjaan layanan, misalnya, pusat komunitas lokal, kantor jaminan sosial dan klinik gratis. Karena mereka yang melakukan pekerjaan layanan seperti itu biasanya menangani klaim warga secara langsung, mereka akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pelanggan daripada pegawai negeri lainnya. Dari studi eksperimental, Scott (1997) mengungkapkan bahwa PNS yang terlibat dalam pekerjaan sosial lebih altruistik daripada yang terlibat dalam administrasi publik. Dalam hipotesis tersebut menunjukan bahwa individu yang berinteraksi secara langsung dan dengan yang tidak berinteraksi secara langsung akan mengalami perbedaan PSM dimana individu yang berinteraksi secara langsung akan memiliki pengalaman altruistik, karena secara langsung melihat kesulitan yang dirasakan sehingga terdorong untuk membantu. PSM juga dapat diaktifkan dengan adanya empati yang disaksikan secara langsung oleh individu yang melayani pelayanan publik tersebut. PSM meningkat dengan interaksi secara langsung. Kim et all (2010) menunjukkan bahwa semakin lama pegawai negeri dikerahkan dalam peran layanan, semakin banyak PSM yang mereka miliki. Camilleri (2007) menunjukkan bahwa berurusan dengan orang lain adalah prediktor yang lebih baik untuk setiap dimensi PSM.
Sampel dan Alat Ukur
Measure menggunakan Perry (1996) dengan menyebarkan questionnaire tetapi dari measurement Perry (1996) mengeluarkan APM (Attraction to policy making/APM) karena beberapa penelitian menunjukkan ketidakhubungan antara APM dalam mengukur PSM (Coursey & Pandey, 2007) pengukuran dengan 2 kali ukur yang pertama pengukuran responded mengenai kehadiran level PSM dengan menanyakan tingkat degree dengan 11 pernyataan PSM menggunakan skala likert, lalu mengukur PSM berdasarkan periode waktu setelah mereka masuk dalam public office. Penelitian ini mengajak respondent untuk kembali mengingat masa awal sampai saat ini mengenai perkembangan PSM yang ada padanya dan mengevaluasinya dari waktu ke waktu. Tentu hal ini memiliki keterbatasan karena momen masa lalu yang diekspresikan di masa sekarang tentu akan berbeda karena sdh tercampur dan termodifikasi dengan momen sekarang. Masa-masa tersebut antara lain saat pertama menentukan pilihan ke sektor publik, kemudian masa awal bekerja, dan masa sekarang.
Mengukur Reliability Level atas Pertanyaan Tersebut.
Pengukuran dengan skor dari hasil kuesioner tahap awal entry time dan sekarang dan menghubungkannya dengan mengurangi PSM sekarang dengan PSM entry time, apabila hasil positif artinya ada peningkatan dari awal sampai kondisi sekarang dan apabila negatif ada penurunan PSM
Perubahan PSM antara masuk dan sekarang sangat berhubungan antara variabel demografis nya. perubahan terjadi lebih besar pada perempuan. sedangkan dari sisi usia, usia yang lebih muda rentan (20-20 an) dan masa kerja yang lebih pendek berdampak pada penurunan PSM setelah melewati batas usia dan masa jabatan tertentu PSM akan meningkat kembali. semakin tinggi jabatan PSM akan naik, semakin tinggi usia PSM juga akan naik. Hal ini menunjukkan bahwa fase hidup pegawai sangat penting dalam mempertimbangkan siklus hidup pegawai, pertimbangan lain dalam siklus hidup pegawai antara lain adalah ekspektasi kegagalan, frustasi awal, kekurangan relatif, yang sering dialami pegawai muda dan masa kerja yang baru. PSM juga berhubungan positif dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dimana responden dengan pendidikan pascasarjana mengalami perubahan PSM yang lebih tinggi termasuk pilihan jurusannya juga, hal ini dikarenakan dapat memenuhi aktualisasi diri.
Crowded materialism menjadi pengaruh terhadap motivasi misal status sosial, status jabatan juga mempengaruhi peningkatan PSM. Dari 3 sub dimensi PSM, compassion menunjukkan lintasan yang berbeda dalam perubahan nya terutama dihubungkan dalam variabel demographic. Untuk mengetahui dan memahami hubungan antara sosialisasi organisasi faktor dan perubahan PSM, maka PSM dihitung dengan score pada periode entry dan pada saat periode sekarang
PEMBAHASAN
Sosialisasi pertama yaitu Role model and identification
Atasan dan rekan kerja memiliki korelasi yang sangat significant terhadap perubahan PSM. Ada dua temuan penting. Pertama, perubahan PSM secara konsisten memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan peran atasan daripada peran rekan kerja, yang menyiratkan bahwa manajer atau pemimpin dalam suatu organisasi memiliki peran yang lebih konsisten dalam mentransfer nilai-nilai publik kepada bawahan daripada rekan kerja. Kedua, dari fakta bahwa dua variabel panutan mempertahankan korelasi yang relatif lebih tinggi dengan komitmen terhadap kepentingan publik dibandingkan dengan belas kasihan dan pengorbanan diri, dapat disimpulkan bahwa ada kecocokan khusus antara variabel panutan dan perubahan PSM. Artinya, role model tidak bisa mengubah semua dimensi PSM, melainkan hanya dimensi tertentu. Identifikasi profesional berhubungan positif dengan tiga skala perubahan PSM.
Sosialisasi organisasi kedua adla dengan Experience and action
Hasil penelitian menunjukkan kemunculan pengalaman menjadi sukarelawan dan perubahan PSM. Pengalaman sebagai sukarelawan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pengorbanan diri yang merupakan sub dimensi dari PSM. Struktur relasi ini berbeda dari role model. Pengalaman relawan dalam pelayanan publik memiliki korelasi tertinggi dengan perubahan pengorbanan diri di antara ketiga subdimensi PSM. Semua struktur relasional ini cukup berbeda dari model peran. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan korelasi sangat tergantung pada jenis atau isi faktor sosialisasi. Peristiwa kehidupan negatif memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan PSM (seperti yang diharapkan). Besaran korelasi berada dalam urutan berikut: Komitmen terhadap kepentingan publik > kasih sayang > pengorbanan diri.
Sosialisasi Organisasi yang Ketiga adalah Terkait Work Content
Terdapat hubungan yang positif antara masa kerja dalam pelayanan publik dan keempat jenis perubahan, Masa jabatan yang lebih lama dalam pekerjaan pelayanan memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan pengorbanan diri dibandingkan dengan dua sub-dimensi lainnya. Ini menyiratkan bahwa interaksi tatap muka dalam konteks kerja pelayanan (antara pejabat publik dan warga negara) dapat memperkuat nilai publik dari pengorbanan diri. Untuk mengetahui aturan terkait perubahan PSM, pertama-tama kami mencoba menjawab pertanyaan 'apakah keempat dimensi PSM memiliki arah dan derajat perubahan yang sama?' tunjukan PSM dengan PSM pada saat masuk ke kantor publik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1). Dalam arah perubahan, nilai rata-rata belas kasih meningkat, tetapi tiga PSM lainnya menurun. Welas asih menunjukkan perubahan terbesar di antara empat dimensi dalam tingkat perubahan (walaupun nilainya rendah). Ini menunjukkan bahwa welas asih mungkin memiliki sifat yang berbeda dari dimensi PSM lainnya. Selain itu, kesenjangan antara nilai maksimum dan minimum dalam perubahan menunjukkan perbedaan antara dimensi lain dan kasih sayang. Antara dimensi lain dan welas asih. Untuk memahami arah dan tingkat perubahan, pertama-tama kami membagi responden menjadi dua kelompok. Berdasarkan skor PSM keseluruhan pada tahap masuk, satu kelompok memiliki PSM di atas rata-rata, sementara yang lain memiliki PSM di bawah rata-rata. Kami menghitung nilai perubahan kedua grup di masing-masing dari empat dimensi PSM, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2). Menariknya, PSM meningkat pada kelompok di bawah rata-rata, sedangkan PSM menurun pada kelompok di atas rata-rata. Selain itu, pola penurunan dan peningkatan bervariasi menurut subdimensi PSM. Pada kelompok di bawah rata-rata, welas asih memiliki nilai perubahan terbesar sedangkan pengorbanan diri memiliki nilai terendah. Di sisi lain, pada kelompok di atas rata-rata, perubahan terbesar ada pada komitmen dan yang paling rendah ada pada kasih sayang. Singkatnya, arah dan tingkat perubahan PSM bervariasi sesuai dengan subdimensi PSM seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Untuk menguji kekuatan penjelas relatif determinan perubahan PSM dan membandingkannya dengan determinan statis, kami melakukan analisis regresi . Setelah mengendalikan variabel sosial-demografis, termasuk jenis kelamin, usia, pendapatan (tercatat), peringkat (skala terbalik) dan pendidikan, kami melakukan regresi skor perubahan (lihat C, C1, C2 dan C3 pada Tabel 4) pada enam variabel sosialisasi. Apalagi untuk membandingkan perbedaannya
Selengkapnya tentang teks sumber ini dari struktur determinan antara perubahan dan skor saat ini dalam variabel yang diprediksi, kami meregresi nilai PSM saat ini (lihat Y, Y1, Y2 dan Y3 pada Tabel 4) pada faktor sosialisasi yang sama.
Role model and identification
Pimpinan memiliki pengaruh yang kuat dalam perubahan PSM dan secara empiris terbukti dalam penelitian tersebut. Sehingga leader menjadi kunci dalam sosialisasi roles model dalam perubahan PSM. Dalam menentukan faktor penentu perubahan PSM, pengaruh pimpinan memiliki score tertinggi dalam sub dimensi komitmen terhadap kepentingan publik dan compassion, tetapi untuk pengorbanan diri menempati urutan kedua. hal ini menunjukkan bahwa setiap independen variabel akan mempengaruhi perbedaan level kuat atau lemahnya terhadap sub dimensi PSM. Walaupun rekan kerja memiliki pengaruh dengan leader tetapi effectnya tidak cukup significant dalam subdimensi perubahan PSM.
Identifikasi profesional berdampak negatif hanya pada pengorbanan diri di antara dimensi perubahan PSM. Namun, profesionalisme memiliki hubungan yang kontradiktif dibawah dimensi PSM yang sama: hubungan negatif dengan kasih sayang dan hubungan positif dengan tiga dimensi lainnya. Hasil kontradiktif serupa dilaporkan dalam Perry (1997), di mana identifikasi profesional berhubungan negatif dengan ketertarikan pada pembuatan kebijakan dan berhubungan positif dengan komitmen terhadap kepentingan publik dan pengorbanan diri. Efek ambigu seperti itu bisa jadi disebabkan oleh sisi ganda yang dipegang oleh profesionalisme. Perry (1997, p. 185) menjelaskan bahwa sejauh mana profesionalisme mempengaruhi PSM cenderung dibatasi oleh ketegangan antara kepentingan pribadi profesional dan cita-cita tanggung jawab profesional terhadap standar etika dan moral yang lebih tinggi.
Pengalaman dan tindakan Pengalaman
Tindakan relawan dalam pelayanan publik secara signifikan mempengaruhi dua dimensi dalam perubahan PSM, yaitu PSM secara keseluruhan dan pengorbanan diri, dibandingkan dengan semua signifikansi dalam dimensi PSM saat ini. Pengalaman dalam koefisien standar independen berperingkat tertinggi; ini menunjukkan bahwa tidak hanya pelajaran dari orang lain (yaitu belajar dari panutan) tetapi juga pengalaman pribadi langsung mungkin berdampak pada penciptaan PSM. Pengalaman peristiwa kehidupan negatif secara konsisten berdampak negatif pada perubahan dan skor PSM saat ini di keempat dimensi. Berdasarkan koefisien Beta faktor sosialisasi perubahan PSM, pengalaman hidup negatif memiliki kekuatan penjelas tertinggi kedua untuk komitmen terhadap kepentingan dan kasih sayang, tetapi ini tidak berlaku untuk PSM saat ini. Ini mencerminkan perbedaan dalam struktur penentu antara PSM dinamis dan statis.
Konten pekerjaan
Masa kerja yang lebih lama dalam pekerjaan layanan memiliki efek yang konsisten pada empat dimensi perubahan PSM dan PSM saat ini. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pengalaman layanan lebih erat kaitannya dengan perubahan pengorbanan diri, memiliki koefisien Beta tertinggi kedua di antara enam faktor sosialisasi.
Variabel sosio-demografi
Di antara variabel sosio-demografi yang dikontrol, jenis kelamin memiliki dampak positif yang signifikan pada keempat perubahan PSM, sedangkan tidak memiliki pengaruh signifikan pada skor PSM saat ini. Baik dalam perubahan maupun nilai sekarang, usia memiliki efek positif pada PSM. Koefisien di PSM keseluruhan dan tiga sub-dimensi signifikan. Hasil seperti itu menyiratkan bahwa usia dan PSM memiliki hubungan yang konsisten secara struktural. Namun, dalam kasus perubahan PSM, kami perlu memastikan bahwa tidak ada hubungan yang linier, yaitu penurunan tajam selama 20-an dan rebound setelah 30-an. Pendapatan memiliki hubungan negatif signifikan dengan tiga dimensi perubahan PSM, yaitu PSM keseluruhan, komitmen terhadap kepentingan umum dan pengorbanan diri, sedangkan tidak memiliki hubungan negatif dengan semua dimensi PSM saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa PSM mungkin memiliki hubungan yang bertentangan dengan insentif moneter atau, secara umum, manajemen publik baru berdasarkan neoliberalisme. Tingkat jabatan yang lebih tinggi memiliki efek positif yang signifikan terhadap dimensi keseluruhan dan pengorbanan diri dalam perubahan PSM, dan keseluruhan PSM di PSM saat ini. Hasil ini mengkonfirmasi pengaruh dimensi waktu: signifikansi determinan berubah sesuai dengan variabel waktu, yaitu waktu sekarang atau durasi (dari masa lalu ke masa kini) dalam analisis kami.
Interim remarks
Analisis komparatif di atas mengungkapkan dua temuan utama. Pertama, skor PSM perubahan dan sekarang memiliki struktur penentu yang sangat berbeda dalam hal arah, kekuatan penjelas dan signifikansi statistik dari prediktor. Kedua, seperti itu perbedaan juga muncul dalam empat dimensi PSM. Berdasarkan koefisien Beta, yang menunjukkan peringkat dalam kekuatan penjelas relatif dari variabel sosialisasi independen yang signifikan, berbagai peringkat dan variabel signifikan di bawah setiap perubahan PSM atau PSM saat ini menunjukkan atribut berbeda yang dimiliki oleh setiap dimensi PSM. Kami memeriksa apakah struktur penentu perubahan PSM serupa untuk kedua sisi penurunan dan peningkatan. Responden dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok pertama dengan penurunan skor perubahan pada dimensi PSM keseluruhan (n = 494), kelompok kedua dengan tidak ada perubahan (n = 337), dan kelompok ketiga dengan peningkatan (n = 544 ). Kami melanjutkan dengan analisis logistik binomial, di mana kelompok pertama (Model 1, Model 2) atau kelompok ketiga (Model 3, Model 4) adalah variabel dependen, dibandingkan dengan referensi (kelompok kedua). Tabel 5 menunjukkan bahwa struktur determinan perubahan PSM berbeda pada fase penurunan dan peningkatan. Parameter signifikan untuk penentu penurunan PSM pada Model 2 meliputi usia, pendapatan, peran atasan, peristiwa kehidupan negatif, dan pekerjaan pelayanan, sedangkan untuk peningkatan PSM pada Model 4 bergantung pada jenis kelamin, kelas, dan peran atasan. Berdasarkan koefisien regresi logistik dan Exp. (B), probabilitas bahwa responden akan menjadi mereka yang mengalami penurunan nilai dalam perubahan PSM lebih tinggi ketika responden lebih tua, lebih kaya dan memiliki lebih banyak pengalaman dalam peristiwa kehidupan negatif, sementara lebih rendah ketika mereka bertemu dengan panutan atasan yang baik dan dikerahkan lebih lama dalam pekerjaan pelayanan. Pada fase peningkatan perubahan PSM, responden memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk diikutsertakan dalam kelompok, menunjukkan peningkatan nilai dalam perubahan PSM jika memiliki atasan sebagai panutan yang baik dan berjenis kelamin perempuan. Jika mereka berada di kelas yang lebih tinggi dalam pekerjaan posisinya, mereka cenderung tidak termasuk dalam grup dengan peningkatan perubahan PSM. Singkatnya, kecuali atasan sebagai panutan, setiap fase penurunan dan peningkatan dalam perubahan PSM memiliki struktur determinan yang berbeda. Ini menyiratkan bahwa kita perlu memobilisasi strategi yang berbeda untuk meningkatkan atau menurunkan PSM.
Rangkuman dan Kesimpulan
Studi ini merupakan upaya pertama untuk menganalisis hubungan antara sosialisasi organisasi dan perubahan PSM. Kami menganalisis perubahan dan determinannya di PSM, membandingkan determinan perubahan PSM dengan PSM statis dan mengeksplorasi beberapa aturan yang mendasari perubahan PSM. Untuk ini, kami mendefinisikan perubahan PSM – variabel dependen – sebagai perbedaan antara skor PSM saat masuk dan saat ini, dan kemudian menetapkan faktor sosialisasi sebagai variabel independen. Temuan utama dirangkum di bawah ini. Pertama, enam faktor sosialisasi organisasi mempengaruhi perubahan PSM. Peran atasan – faktor relasional – berpengaruh positif terhadap perubahan PSM, sedangkan peran rekan kerja tidak berpengaruh signifikan. Ini menunjukkan bahwa memperkenalkan sistem mentor, terutama bergantung pada atasan, ke dalam organisasi dapat meningkatkan tingkat motivasi. Atasan atau rekan kerja bisa menjadi sumber relasional atau panutan dari siapa karyawan belajar tentang misi, nilai dan tugas organisasi publik.
Dampak positif tersebut pada PSM diamati dalam pengalaman sukarela dan masa kerja yang lebih lama dalam pekerjaan pelayanan. Jika responden memiliki lebih banyak pengalaman partisipasi dalam kegiatan kerelawanan dan telah bekerja dalam konteks layanan, mereka akan mengalami peningkatan PSM. Efek pengalaman seperti itu menunjukkan bahwa, jika dirancang dengan tepat, manajemen pengalaman melalui penyebaran atau rencana pengembangan karir dapat dilakukan memotivasi para pekerja dalam sebuah organisasi. Namun, identifikasi profesional dan peristiwa kehidupan yang negatif berdampak negatif pada perubahan PSM. Mereka menyiratkan bahwa suatu organisasi harus mempertimbangkan memanusiakan birokrasi dan menekankan pengalaman peristiwa kehidupan yang positif daripada profesionalisme yang berlebihan. Selain itu, kami menunjukkan bahwa arah dan tingkat perubahan PSM bervariasi, menurut sub-dimensi PSM. Misalnya, komitmen terhadap kepentingan publik dan pengorbanan diri menurun, sedangkan kasih sayang meningkat seiring berjalannya waktu. Kedua, analisis komparatif antara perubahan PSM saat ini dan saat masuk mengungkapkan bahwa mereka memiliki struktur determinan yang berbeda. Perbedaan seperti itu tentu menuntut pendekatan yang lebih seimbang atau pemeriksaan silang antara keadaan statis dan dinamis PSM, karena (dalam kasus ekstrim) ada kemungkinan bahwa hasil dari analisis statis telah dibantah atau dikontraskan dengan hasil dari analisis yang lebih dinamis. Terakhir, keempat dimensi perubahan PSM memiliki struktur determinan yang berbeda dalam hal signifikansi dan kekuatan penjelas. Misalnya, kerja pelayanan memiliki kekuatan penjelas paling sedikit dalam perubahan welas asih, sedangkan itu memiliki kekuatan terbesar dalam perubahan pengorbanan diri. Selain itu, identifikasi profesional dan pengalaman sukarela tampak signifikan hanya dalam dimensi pengorbanan diri. Variasi dalam kekuatan penjelas dan signifikansi prediktor ini menyiratkan bahwa strategi yang lebih selektif atau kontingensi diperlukan untuk memotivasi orang, yang berarti bahwa rangsangan atau instrumen untuk perubahan motivasi harus bervariasi dengan motivasi yang ditargetkan. Melalui analisis regresi logistik, kami mengonfirmasi struktur penentu yang berbeda dari perubahan PSM. Setiap fase kenaikan dan penurunan memiliki faktor determinan yang berbeda. Usia, pendapatan, peristiwa kehidupan yang negatif, dan pekerjaan pelayanan hanya dikaitkan dengan penurunan perubahan PSM, sedangkan jenis kelamin dan kelas hanya dikaitkan dengan peningkatan.
Singkatnya, kami menemukan bahwa (1) determinan perubahan PSM berbeda dengan determinan PSM statis dan berbeda dalam arah dan derajat perubahan PSM menurut subdimensi PSM, (2) faktor sosialisasi memiliki pengaruh yang signifikan pada perubahan PSM dan (3) determinan berbeda pada setiap fase kenaikan dan penurunan. Semua temuan ini menyarankan, pertama, perlu bagi organisasi untuk mencerminkan manajemen PSM yang penuh perhatian, karena tidak hanya ada hubungan yang rumit antara variabel penjelas dan perubahan PSM tetapi juga hubungan interaktif antara determinan. Kedua, jika sosialisasi dalam organisasi harus menjadi sarana untuk menumbuhkan PSM, maka secara alami akan membutuhkan strategi manajerial – manajemen motivasi organisasi – untuk mengilhami karyawan dengan PSM yang diinginkan.
kelemahan sosialisasi organisasi adalah faktor organisasi memiliki peran yang kurang dominan dibanding dengan faktor informal karena pegawai lebih banyak bersosialisasi dengan faktor informal di banding dengan mekanisme formal dalam organisasi.
0 comments:
Posting Komentar