Jumat, 02 Desember 2022

Goal dan Ukuran Kinerja Bab IV BOOK STREET-LEVEL BUREAUCRACY Dilemmas of The Individual in Public Service (Michael Lipsky, 1980)


Bab IV
Goal dan Ukuran Kinerja

BOOK STREET-LEVEL BUREAUCRACY
Dilemmas of The Individual in Public Service
(Michael Lipsky, 1980)

    Organisasi menekankan pada supervisor untuk terus menjaga agar tujuan tercapai termasuk melalui mekanisme kinerja untuk mengukur feedback dari pegawai. semakin jelas tujuan maka akan semakin mudah pengukuran kinerja. Ambiguitas dan ketidakjelasan tujuan tidak akan dengan tepat mampu mengukur kinerja street-level bureaucracies, dan hal ini merupakan faktor yang fundamental dalam menilai pegawai dan dalam sektor publik hal ini selalu menjadi isu apalagi masyarakat dan perkembangan semakin berkembang yang tidak dapat hanya dilihat dari sisi material seperti sektor private tetapi dari berbagai aspek.
    Tujuan sering menjadi ambigu karena merupakan akumulasi dari pembuatan peraturan awal hingga pelaksanaan karena semakin jenjang jarak maka bias akan semakin besar (margin of error semakin tinggi). Kegagalan legislator dalam menangkap semua permasalahan merupakan cikal bakal dari bias permasalahan, begitu juga dengan waktu dan perkembangan masyarakat yang selalu berubah. proses pelaksanaannya juga melibatkan banyak pihak sampai kepada masyarakat, biasa juga dipengaruhi oleh pandangan setiap aktor yang berbeda-beda.
    Selain itu tujuan-tujuan dibuat juga sering bersifat inkremental dengan kontradiktif aturan atau perbedaan cara pandang misal ketika sebuah peraturan sudah dijalankan dalam suatu program kemudian terjadi perubahan kembali lalu terjadi perubahan kembali dan seterusnya terkadang perubahan yang baru tidak menutup hal yang lama sehingga beberapa program yang lama masih dijalankan kemudian ditambah dengan program yang baru dan ditambah lagi dengan program yang baru begitu juga seterusnya sehingga beban pekerjaan akan semakin tinggi dengan kumpulan program-program yang sudah berjalan. Adanya konflik of interest dari masing-masing komunitas pembuat kebijakan seolah-olah kebijakan itu adalah menampung semua aspirasi dari pembuat kebijakan. Sehingga dalam pelaksanaannya seringkali terjadi kontradiktif dan tidak fokus sehingga terlalu menyebar yang menyebabkan beban pekerjaan untuk menjalankan program semakin tinggi.
    ASN SLB membutuhkan tujuan yang jelas bukan suatu program yang ambigu atau kekurangan kemampuan untuk melihat kondisi realitas di lapangan.Ada tiga karakter konflik yang sering ditemui antara lain:
  1. Tujuan kepentingan individu masyarakat bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar
  2. Tujuan kepentingan individu masyarakat bertentangan atau berkonflik dengan organisasi publik
  3. Tujuan kepentingan SLB yang memiliki harapan individu bertentangan dengan kebutuhan banyak pihak lain seperti para perumus atau pembuat atau pihak-pihak lain yang berkepentingan dan peraturan tersebut.
CLIENT-CENTERED GOALS VERSUS SOCIAL ENGINEERING GOALS
    Permasalahan ini adalah muncul ketika legislator tidak dapat menangkap nilai dan norma yang dalam masyarakat yang diterjemahkan ke dalam administratif atau peraturan. Ketika peraturan tersebut diterapkan kepada masyarakat, malah menganggap peraturan tersebut tidak cocok di dalam masyarakat sehingga perlu dilakukan evaluasi. Misal konflik antara peraturan pendidikan di mana individu di kompetisikan untuk mencapai target yang telah ditetapkan sekolah, pada akhirnya menimbulkan persaingan dan budaya individualistik dan menyebabkan norma sosial seperti kebersamaan menjadi rusak. Adanya pertentangan dampak dari suatu kebijakan dengan nilai-nilai di dalam masyarakat.
    Suatu sumber masalah tidak dapat dilihat secara silo karena keterkaitan dari masing-masing masalah yang timbul adalah saling berkaitan. Seperti kemiskinan, terdapat pola yang saling berkaitan mulai dari tidak ada pekerjaan atau tidak mengetahui cara mencari uang yang keduanya berasal dari dinas pendidikan dan dinas pekerjaan, walaupun dinas pekerjaan sudah berupaya keras tetapi karena faktor otak yang dari dahulu kurang gizi dan sakit-sakitan tentu berhubungan dengan kesehatan, walaupun dinas kesehatan sudah berupaya maksimal tetapi karena pemahaman kurang maka program juga gagal. begitu juga seterusnya dan menjadi sebuah siklus masalah yang berputar. Masalah muncul dari sumber mata air dan terus mengalir dan membentuk suatu siklus yang tidak dapat bisa diselesaikan pada tiap-tiap aliran yang terpisah-pisah tersebut karena semua merupakan satu kesatuan aliran. untuk menyelesaikan semua siklus maka program bersamaan dan terstruktur merupakan cara yang dapat ditempuh.

Prosedur Dianggap Tidak Adil
    ASN SLB yang berhadapan langsung dengan masyarakat tidak hanya harus mahir pada bidangnya tetapi juga harus profesional artinya harus dapat benar-benar memahami pelayanan yang diberikan termasuk lingkungan di luar yang berkaitan dengan masyarakat yang dilayani. Misal pelayanan kegiatan ekspor impor berarti sebagian besar dari pengguna jasanya adalah perusahaan ekspor impor atau bidang-bidang yang bergerak di perdagangan ekspor impor atau masyarakat yang punya keinginan untuk melakukan ekspor impor.
    Ada sebuah fakta yang menarik bahwa dalam menghadapi penilaian profesional seringkali orang akan melihat pada second opinion, contoh jika seseorang menderita sakit dan ke dokter pertama akan menyarankan untuk dilakukan operasi, orang tersebut menolak lalu mencari dokter yang lain, dan dokter kedua menyarankan untuk mengkonsumsi obat-obat tertentu, orang tersebut masih menolak dan mencari alternatif ketiga yaitu dokter ketiga yang menyarankan untuk melakukan olahraga setiap pagi, lalu orang tersebut juga masih menolak karena sangat berat dilakukan dengan kondisinya saat ini akhirnya dia mencari alternatif lain dan dokter kelima menyarankan untuk dia meminum air putih setiap pagi dan ternyata saran dokter ke-5 yang dituruti oleh pasien tersebut, artinya masyarakat selalu ingin mencari alternatif dari sebuah pelayanan yang paling cocok dengan dirinya begitu juga dalam layanan publik tidak hanya prosedural yang harus dijalankan tetapi disediakan beberapa alternatif yang dapat mereka pilih sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.
    Baik seorang dokter maupun seorang guru sebagai ASN SLB, mereka langsung berhadapan dengan masyarakat dan tentu sebagai individu mereka memiliki goal dan tujuan tersendiri tetapi mereka bekerja dalam suatu organisasi baik itu rumah sakit maupun sekolah yang tentunya memiliki prosedur dan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati. Akan selalu ada keterbatasan jumlah ASN SLB atau profesional yang melayani masyarakat sehingga pada akhirnya konflik internal sendiri karena keterbatasan tersebut menyebabkan tingkat profesional menurun karena harus melayani banyak sehingga tidak fokus dan menyebabkan demand and supply dari suatu pekerjaan tidak seimbang.

CLIENT-CENTERED GOALS VERSUS ORGANIZATIONAL GOALS
    Apa yang dilihat di depan mata tentu akan berbeda dengan apa yang orang lain lihat. Apalagi jika orang lain tersebut adalah sekumpulan orang yang merancang peraturan, masing-masing individu tersebut saja sudah membiaskan apa yang diterima lalu kumpulan pemikiran tersebut diekstraksi dalam sebuah tulisan yang memiliki banyak keterbatasan bahasa. Walaupun terkesan bahwa kumpulan orang memiliki cara pandang yang lebih maksimal dari banyak sudut dibanding satu orang yang hanya melihat dari satu sudut, maka keambiguitasan dan ketidakjelasan tujuan akan semakin terlihat juga pada sebuah peraturan.
    Pada akhirnya sering terjadi konflik antara individu dan organisasi. Konflik antara birokrasi informasional dan prosedural. Seorang guru sebagai profesional dia melihat potensi dan kemampuan anak berbeda-beda tetapi organisasi atau sekolah menginginkan standar sekolah menjadi sekolah yang unggul dengan nilai anak-anaknya yang sangat baik.
    Salah satu problematis yang sangat fundamental yang dihadapi oleh ASN SLB adalah bagaimana memberikan pelayanan yang bersifat masif kepada masyarakat, ditambah lagi bagaimana variasi masyarakat sendiri dalam menerima pelayanan tersebut. Pelayanan ASN SLB menjadi sebuah seni di mana pelayanan yang masih dan sesuai standar akan diberikan kepada individu yang beragam dan berbeda-beda, ditambah lagi apabila barang dan jasa publik tersebut terbatas maka mekanisme dan politik maupun hubungan emosional akan saling berpengaruh untuk menentukan siapa yang memperoleh pelayanan.
    Kontinuitas pelayanan dan keefektifan pelayanan ASN SLB terus menjadi sorotan. Keinginan organisasi untuk terus menambah pelayanan membuat pekerjaan ASN SLB semakin bertambah. Semakin banyak pelayanan dan kemudahan pelayanan semakin tinggi permintaan tersebut, semakin tinggi pelayanan maka anggaran yang dibutuhkan untuk mendukung pelayanan juga semakin tinggi. Kesulitan lain adalah menjaga kualitas dari sesuatu yang masif karena semakin besar pelayanan maka margin of errornya aku juga akan semakin tinggi. Pada akhirnya ASN SLB harus dapat dengan segala keterbatasannya menciptakan dan menghasilkan pelayanan yang bijak serta memuaskan masyarakat tapi di satu sisi dengan efisiensi yang maksimal.

GOAL CONFLICTS AND ROLE EXPECTATIONS
    Pada akhirnya, konflik tujuan dan ambiguitas tujuan muncul dari kontradiksi harapan dan aturan yang dijalankan ASN SLB. Pada umumnya teori harapan berasal dari tiga sumber yaitu: rekan kerja dan pihak lain uang bekerja menempati posisi yang melengkapi pekerjaan; kelompok tertentu yang mendefinisikan harapan yang sama; harapan publik dimana konsensus tentang role expectations dapat diperoleh. Ada tiga hal utama yang membuat ekspektasi dari pelayanan akan berbentuk dengan kebijakan yang ambigu dan konflik:
    Adanya perbedaan cara pandang seseorang mengenai suatu pelayanan misal, kelompok masyarakat menginginkan polisi untuk bertindak tegas dan dilengkapi dengan seperangkat legalitas untuk menindak tegas setiap kejahatan. Kelompok yang lain menginginkan polisi hanya sebagai mencegah terjadinya kejahatan dan memelihara keamanan. Contoh lain adalah sebagian besar orang tua menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan dasar dalam bersosialisasi di sekolah dan sebagian kelompok lagi mengharapkan anaknya memperoleh pendidikan keterampilan dan keahlian di sekolah. Perbedaan pandangan ini menyebabkan tujuan dari suatu program menjadi kabur atau tidak jelas bisa jadi program ini bertujuan untuk meningkatkan pendidikan tetapi pendidikan seperti apa sesuai perspektif masing-masing kelompok, hal inilah yang membuat tujuan program menjadi ambigu. Pada tahap ini juga ASN SLB akan mendapat tantangan konflik dari persepsi kelompok masing-masing ditambah lagi persepsi individu dan organisasi dari ASN. Semakin beragam dan bervariasinya membuat layanan akan difokuskan untuk melayani setiap individu dengan berbagai karakter tetapi hal itu sangat sulit dilakukan sehingga harus kembali lagi ke tradisional yaitu positivistik atau keseragaman. Karena keambiguan tersebut yang diterjemahkan oleh perspektif kelompok seperti apakah lebih baik diberikan hukuman dan peraturan yang ketat atau fleksibilitas dan waktu yang bisa disesuaikan terhadap para pekerja? Perbedaan perspektif sosial juga telah dibumbui dengan pengalaman masa lalu menimbulkan perspektif yang lebih tajam misal komunitas kulit hitam dan kulit putih di Amerika atau pandangan setiap pengurusan pelayanan harus menggunakan uang agar cepat.
    Dimensi dari ambiguitas adalah datang dari rekan kerja. Kondisi kerja yang sama membuat mereka sama-sama mengerti bagaimana tekanan pekerjaan yang mereka rasakan. Kesamaan nasib akan memperkuat atau melemahkan moral masing-masing. Bagaimana deskripsi yang diambil oleh ASN SLB akan sangat berdampak pada komunitas masyarakat yang memiliki persepsi sendiri-sendiri. ASN dituntut harus netral, jujur
    Individu klien yang dilayani pada prinsipnya memiliki karakter khusus dan spesifik yang berbeda dari kelompoknya ataupun mungkin mirip tapi tidak sama. ASN SLB tidak harus menempatkan kepentingan atau karakter permintaan dari individu yang dilayaninya karena ASN SLB lebih berpegangan pada prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Tetapi interaksi tatap muka dan empati ASN SLB mendorong untuk memberikan pelayanan spesifik dan dapat menjadi tekanan ketika organisasi sangat ketat dan tidak memiliki budaya profesional. Beberapa asosiasi profesional dalam memberikan pelayanan masyarakat membuat aturan internal asosiasi agar profesinya dapat netral dan menjaga intervensi dari pihak-pihak lain. Konflik tidak hanya soal ketidakjelasan dan keambiguan aturan tetapi juga kurangnya kejelasan ekspektasi peran yang berdampak pada personel dan akan mengurangi kinerja individu dan pasti berdampak juga ke organisasi.

Performance Measure
    Di dalam sektor publik pengukuran kinerja sangat sulit untuk dilakukan. Kinerja seringkali ditentukan oleh politisasi. Tujuan dari organisasi publik harus mampu bekerja secara efisien dengan sumber yang terbatas dan menghasilkan produk yang memuaskan semua pihak. Tingkat kepuasan ini sulit untuk diukur secara kuantitas berbeda dengan sektor bisnis di mana fokusnya hanya pada memaksimalkan keuntungan yang dapat lebih mudah terukur. Output maupun diskresi yang dibuat oleh ASN SLB sangat situasional, sehingga pengukurannya pun tidak bisa dilihat dari satu dimensi. Lembar pengukuran kinerja sudah ditentukan di awal dan menjalankannya penuh dengan ambigu antara tulisan maupun praktek.
    Kebingungan dari pengukuran kinerja misal ketika kinerja sudah masuk dalam suatu program antara pendidikan atau keamanan. Padahal belum ada konsensus di tengah masyarakat mana yang harus didahulukan. Hal lain yang sangat hangat adalah ketika terjadi pandemi antara ekonomi dan kesehatan kedua-duanya sama-sama penting tetapi harus ada satu yang dikorbankan dan disinilah ambiguitas terjadi. Banyak penyebab ketidak efektifannya pengukuran kinerja di dalam sektor publik selain karena terlalu banyaknya variabel dan varietas output yang sangat besar dari respon yang diterima oleh setiap masyarakat. Misal suatu pengukuran yang dilakukan terhadap manfaat training pekerjaan sebelum bekerja dan hasilnya adalah 40% dari jumlah yang mengikuti training berhasil mendapatkan pekerjaan. Apabila objek penelitian diambil dari orang yang sama sekali tidak memiliki kesiapan bekerja maka nilai 40% itu adalah sangat baik tetapi apabila objek penelitian diambil dari memang orang-orang yang sudah siap bekerja maka nilai 40% itu menjadi kurang baik. Pada akhirnya program bisa dikatakan efektif dan tepat apabila subjek dari program tersebut memang orang-orang yang terukur dan pada akhirnya dapat diukur kinerja ASN.
    Sektor layanan publik akan terus menghadapi profesional judgement, rule ambiguity, dan keputusan yang kompleks. Tolak ukur dan ukuran kinerja biasanya ditetapkan di awal sebagai target dan alat kontrol untuk bekerja tetapi terkadang situasi yang akan terjadi tidak dimasukkan dalam prakondisi ukuran kinerja. Bahkan sering kali ukuran waktu kinerja ini diambil dari pencapaian tahun sebelumnya. Dalam bekerja ASN SLB memerlukan otonomi profesional keputusan sehingga pengawasan yang ketat dan supervisor akan membuat sikap profesional tidak dapat terpenuhi. Sikap profesional termasuk otonomi dan kebebasan dalam menjalankan pekerjaannya karena pedoman atau peraturan sudah ada dan kebebasan untuk menjalankan pemahaman terhadap keputusan yang akan dibuat yang menjadi tanggung jawabnya tetapi peran supervisor karena melakukan pengawasan melekat dan tugas untuk menjaga tujuan organisasi tercapai memiliki kewenangan untuk menilai bawahannya. sehingga bawahan akan terus merasa diawasi dan kebebasan otonom di tambah pengetahuan yang kurang pasti akan selalu melibatkan supervisor.
    Walaupun kebebasan dan otonomi diberikan, organisasi tetap memberikan standar jumlah atau kuantitas yang harus diperoleh oleh ASN SLB agar pekerjaan tersebut diukur secara kuantitas misal di kepolisian jumlah orang yang ditahan dalam satu bulan. Walaupun dari sisi profesional polisi dapat memberikan diskresi apakah ditahan atau tidak walaupun pada kenyataannya sebenarnya semua orang tidak perlu ditahan tetapi karena adanya penilaian kuantitas yang akhirnya mendorong polisi untuk menahan semua orang.

“policemen typically are asked to make a certain number of arrests per month. Social workers are asked to maintain a certain monthly intake and case-closing rate. But these measures are only problematically related to public safety, or to clients' ability to cope with problems that are in part the objectives of these interactions. And they have nothing to do with the appro-priateness of workers' actions, or the fairness with which they were made, the net results of which determine the rates on which workers are judged.”

    Apakah peningkatan sosialisasi, peningkatan output, peningkatan penahanan oleh polisi, peningkatan patroli yang kesemuanya merupakan indikator dari kinerja merupakan tolak ukur keberhasilan kinerja? Dan apakah output tersebut merupakan indikator keberhasilan kinerja?Hal silo seperti ini tidak dapat dilihat hanya dari satu dimensi misalkan keberhasilan penurunan kejahatan bukan hanya kerja polisi tetapi rantai kejahatan misal berasal dari individu, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, beberapa sektor seperti pendidikan, sosial, kesehatan, agama dan sebagainya.
    Apakah ketika terjadi penurunan kesejahteraan dan menyebabkan output yang dihasilkan oleh pekerja kesejahteraan menjadi menurun menandakan bahwa ASN kinerja kesejahteraan kurang baik? Padahal hal tersebut terjadi pada konteks yang lebih luas bahwa saat itu ekonomi sedang membaik dan perekonomian tumbuh dengan baik sehingga sedikit orang yang membutuhkan layanan kesejahteraan.

“Despite the difficulties of performance measurement, street-level bureaucracies do seize on some aspects of performance to measure. They tend to seek reports on what can be measured as a means of exercising control. In tum, the behaviour of workers comes to reflect the incentives and sanctions implicit in those measurements”. The relationship between performance measures and behaviour was perhaps first highlighted by sociologist Peter Blau when he observed that when the employment agency he WaS studying began to be evaluated in terms of its placement rate, employment counsellors shifted the focus of their work to the more easily employed at the expense of those more challenging to place.27 This illustrates the general rule that behaviour in organizations tends to drift toward compatibility with how the organization is evaluated”.

    ASN SLB sering juga diukur dari pengalaman dan pendidikan yang mereka miliki. Tahap selanjutnya terdapat assessment atau penilaian terhadap kompetensi seorang pegawai. Kemampuan ini akan dihubungkan dengan pengukuran kinerja pegawai.Walaupun tidak dengan jelas apakah training atau pengalaman dapat diasosiasikan dengan pekerjaan yang lebih baik. Begitu juga dengan senioritas, tidak menjamin bahwa lebih senior maka lebih dapat memahami semua dan kinerjanya lebih baik dari juniornya. Misal Dosen junior yang belum memiliki pengalaman terutama pengalaman jelek masih sangat tertarik melakukan pekerjaanya, energetik, ambisius dan memiliki cara-cara baru, teknik baru dan antusias dalam pekerjaan.
    Ukuran output pekerjaan seperti jumlah kasus, rata-rata penangkapan, jumlah kunjungan ke rumah, jumlah customer yang datang, maka hal-hal tersebut selalu dijadikan tolak ukur kinerja. Organisasi berfokus pada dua hal utama sebagai pertimbangannya yaitu:
  1. Pembayaran diberikan atas kompensasi waktu yang diberikan oleh pegawai bekerja, maka seringkali bekerja tidak bekerja yang penting absen adalah ciri bahwa organisasi hanya memberikan pembayaran atas waktu pegawai.
  2. Pengalaman dan masa kerja, karena menjadi tolak ukur kinerja seseorang.
    Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak kegiatan yang lebih bermanfaat di luar dari indikator kinerja yang harus dikerjakan. Pada akhirnya kerja yang bermanfaat tersebut tidak dapat terukur oleh kinerja ataupun pengalaman junior dapat diganti dengan semangat, energisitas, kemampuan serta perubahan-perubahan radikal yang dapat memberikan efek baru bagi organisasi misal dengan metode-metode atau teknik yang selama ini mengalami kebuntuan pada program sebelumnya.

Pilih Kuantitas atau Kualitas
    ASN SLB selalu berupaya untuk mencari cara yang lebih produktif untuk mengatasi tingginya beban kerja, cara-cara ini tidak dihitung dalam kinerja hanya sebagai upaya rasional mereka untuk menurunkan beban kerjanya. tetapi terkadang juga menyebabkan kualitas yang menurun karena kinerja dinilai secara kuantitas. Albert Hirschman mengatakan ada dua cara umum bagi organisasi untuk memperbaiki diri sendiri yaitu melalui anggota/ pegawai dan masyarakat/stakeholdernya. masukan dari kedua aspek ini akan sangat penting dalam memperbaiki organisasi jika ada yang salah.
    Customer pada pelayanan publik juga tidak selalu mendapatkan penilaian yang periodik artinya terkadang mereka memenuhi kebutuhannya tidak selalu berurutan tapi sesuai keperluan. Pengukuran pelayanan biasanya ditentukan dengan standar. keterbatasan resource menyebabkan organisasi berlomba-lomba untuk peningkatan. Resource yang bagus dapat mampu menyesuaikan dengan kualitas pelayanan, misal uang semakin tinggi pelayanan maka uang yang dikeluarkan akan semakin tinggi semakin rendah pelayanan maka uang yang dikeluarkan semakin rendah tetapi hal ini akan sangat menarik ketika nilai uang tersebut harus dikonversikan ke nilai waktu, kompleksitas mendapatkan layanan, pekerjaan ekstra yang harus dilakukan yang tentunya sangat menyita tenaga dan waktu.

0 comments:

Posting Komentar