Rabu, 28 September 2022

Relasi Kebudayaan dan Kebijakan Publik

Relasi Kebudayaan dan Kebijakan Publik

Relasi kebudayaan mempertemukan 2 teori utama yaitu teori kebudayaan yang dikembangkangkan dalam ilmu antropologi dan sosiologi dengan teori kebijakan publik yang dikembangkan dalam ilmu administrasi  hukum dan politik. Dalam suatu kebijakan publik tidaklah semata-mata melihat pada aspek administrasi dan manajemennya saja tetapi melihat pada aspek hukum, politik dan respon masyarakat, dimana respon ini merupakan pandangan yang dapat ditelaah lebih jauh dalam kebudayaan masyarakat


Pemerintah dan Masyarakat di Era Postmodern

Era post modern ditandai dengan masifnya produk informasi yang jauh melebihi dari produksi kebutuhan lainya, di era industri produksi industri berupa barang dan jasa sudah melebihi kebutuhan masyarakat bahkan sampai pada spesialisasi sehingga proses produksi sudah menspesialkan produk-produknya pada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendetail dan di era postmodern produksi informasi jauh lebih besar dari produksi-produksi lainnya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Perluasan konteks hubungan sosial ini tentu mempengaruhi hubungan masyarakat dengan pemerintah begitu juga sebaliknya. apalagi sumber informasi yang dicerna tidak sama antara masyarakat dan pemerintah.

Semakin terkoneksinya hubungan masyarakat yang tidak mengenal batas bertransformasi ke dalam globalisasi dan digitalisasi. perkembangan teknologi mentrigger konektivitas tersebut dan menjadi suatu masyarakat yang global. Penyelenggara negara dalam membuat kebijakan publik akan terbantu dengan arus informasi dan respon yang dapat ditangkap dari arus digital tersebut untuk di aplikasikan dalam kebijakan


Isi Kebijakan (Policy Content)

Sebuah peraturan yang diterapkan, berisi legal-normatif dimana mengatur masyarakat dalam spesifikasi aturan tertentu. Proses kebijakan (Policy proses), yaitu bagaimana proses kebijakan itu dibuat sampai diimplementasikan dan dievaluasi. proses awal tersebut karena muncul dari masyarakat itu sendiri


Antara kebijakan dan sistem regulasi

Suatu kebijakan yang telah disahkan, diundangkan dan masuk dalam lembar negara maka kebijakan tersebut telah menjadi sebuah regulasi yang harus dipatuhi oleh semua warga negara. Sebuah kebijakan jika dilihat dari sisi antropologi dan sosiologi sangat erat kaitanya karena munculnya kebijakan adalah karena masyarakat dan implementasi ke dalam masyarakat juga akan dapat dikaji dari sisi budaya masyarakat. Clifford Geertz (1973) kebudayaan adalah pola dari dan pola bagi tindakan, maka sama hal nya dengan kebijakan sebagai suatu tindakan sosial tidak bisa lepas dari pola dari dan pola bagi kebudayaan.

Suatu regulasi yang dibuat dan bertentangan dengan budaya masyarakat maka akan sulit untuk dilaksanakan. Dalam kajian Christensen & Rabbibhadana (1994) tentang kegagalan pemerintah Thailand membuat peraturan yang dapat berlaku efektif dalam pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak terkendali, kegagalan tersebut terjadi karena unsur kebijakan bertentangan dengan nilai budaya masyarakat sehingga pelaksanaanya tidak efektif. Suatu kebijakan publik yang tidak berpijak pada ranah sosial budaya masyarakat maka akan sulit diterapkan.

Benda-Beckmann (1984) menerangkan kebijakan publik dan peraturan dibuat, ditransformasikan, dimodernisasi, diubah, dimanipulasi, diselewengkan dalam konteks sosial dan budaya hidup. suatu peraturan dan kebijakan tidak dilihat hanya sebagai konteks peraturan saja tapi diluar peraturan tersebut seperti interaksi sosial dan lingkup kebudayaan(Benda-Beckmann, 1984)


Regulatory Communities (Meidinger, 1987) atau policy communities atau policy network (Bennet & Howlet)

Komunitas regulasi adalah suatu komunitas yang berperan penting dalam menyuarakan perlunya peraturan, komunitas ini bisa berangkat dari birokrasi, tokoh-tokoh masyarakat, ormas, NGO dan berbagai sumber lainnya. menurut Meidinger, karakteristik dari komunitas ini adalah:

  1. Mempunyai hubungan dengan masyarakat yang lebih luas, tapi tetap memiliki keunikan tersendiri.

  2. Para anggotanya mempunyai hubungan terus menerus.

  3. Mengejar kepentingan sendiri dan selalu berjuang mendefinisikan visi yang sama tentang suatu kebaikan bersama.

  4. Para warga masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain, saling merujuk dalam bertindak serta saling menginginkan suatu penghormatan.

  5. Masyarakat selain menjadi arena untuk mengejar kepentingan, juga sebagai forum dialog dan diskusi mengenai permasalahan yang perlu diangkat dan diatur.

salah satu contoh yang menjadi bagian dari komunitas kebijakan publik menurut (Britain & Cohen, 1980a) adalah birokrasi


Kesimpulan:

  1. Proses kebijakan selalu berada dalam interaksi sosial dan konteks kebudayaan

  2. Kebijakan dibuat dan dilaksanakan oleh suatu komunitas yang tergabung dalam regulatory communities/policy communities


Pengaturan negara sebagai sistem budaya

Mengapa pengaturan negara dikaji dengan menggunakan perspektif kebudayaan? dan bagaimana melihat pengaturan negara dalam perspektif kebudayaan? mereka yang melihat menggunakan perspektif budaya selalu berpegang pada tesis bahwa pengaturan negara merupakan refleksi dari kebudayaan, bukan sekedar aturan teks, normatif tapi merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat. Dalam penelitian Ihromi (1984) menyatakan kebudayaan merupakan dasar, desain, cetak biru dalam norma dan peraturan hukum serta perlindungan terhadap  norma melalui proses hukum. Kebudayaan merupakan perangkat ideasional (Goodenough,,.) simbol dan makna (Geertz, 1973) dalam mempersepsikan suatu persoalan atau masalah dan mewujudkannya dalam regulasi negara, dan mempersepsikan kembali regulasi yang sudah ada dengan perkembangan sosial yang ada.

Meidinger (1987) dalam membentuk peraturan dan kebijakan terlebih dahulu mengkaji proses nilai dan norma serta pendefinisian kepentingan yang mendasari kepentingan sosial dan tujuan nya. Kebudayaan adalah proses yang dinamis, dan akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Benda-Beckmann (1986) melalui proses sosial suatu kebijakan dibuat, hukum diciptakan, dimanipulasi, diubah dan diterapkan, karena perkembangan budaya yang terus hidup maka akan selalu terjadi proses konstruksi dan rekonstruksi persepsi atau interpretasi para pendukung kebudayaan terhadap suatu objek yang akhirnya akan mempengaruhi kebijakan publik dan sistem regulasi yang mengatur objek tersebut.

Kebudayaan sangat terkait konteks situasi dan proses historis, yang merupakan hasil interaksi berbagai aspek, antara manusia dan manusia serta manusia dan lingkungan. Tidak ada keseragaman  uniformitas kebudayaan karena lokasi dan waktu menjadi faktor penting pembentuk kebudayaan tetapi di era kecanggihan komunikasi seperti ini tercipta super culture dimana masyarakat di berbagai belahan dunia terpengaruh oleh suatu budaya teknologi dan melihat input yang nantinya juga akan mempengaruhi budaya mereka dari informasi-informasi tersebut.

Alvesson (1993) menekankan organisasi selalu berhubungan erat dengan lingkungan kebudayaan yang ada di luarnya. hubungannya saling mempengaruhi. budaya organisasi dapat mempengaruhi lingkungannya dan lingkungan dapat mempengaruhi budaya  organisasi.  dan besar kecil pengaruhnya tergantung karakteristik dan perbedaan organisasi  dan lingkungan tersebut.


Open System Birokrasi (Birokrasi terbuka)

Birokrasi terbuka yaitu suatu pendekatan yang melihat situasi dan kondisi dalam menjalankan organisasi, kecenderungan mengesampingkan prinsip bahwa birokrasi selalu bekerja atas aturan prosedural dan struktur formal dengan hubungan yang bersifat impersonal maka dengan sistem open ini maka pemahaman mendalam dalam membaca situasi dan putusan lebih diutamakan, serta koordinasi menggunakan hubungan informal dan putusan dapat segera diambil. 

Moore (1983) menggambarkan birokrasi sebagai bidang sosial semi otonom yakni sosial yang mampu menghasilkan aturan-aturan, dan instrumen agar tunduk pada aturan tapi pada saat yang sama memiliki kerentanan terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar sehingga disebut semi otonom. Tapi dalam pengertian saya bahwa menggambarkan sosial semi otonom dalam birokrasi adalah birokrasi diberikan kewenangan untuk membuat diskresi aturan dan kebijakan tapi dibatasi oleh ranah-ranah peraturan yang lebih tinggi.

Pada umumnya pendekatan dalam antropologi-sosiologi adalah pendekatan emik yaitu pemahaman menurut pandangan subjektif dari objek yang diteliti (actors point of view) dan pendekatan holistik yaitu pemahaman menyeluruh terhadap objek secara utuh dan menyeluruh (Brian & Cohen, 1980)  yang merupakan tradisi membawa penelitian antropologi dalam kajian organisasi, birokrasi, dan kebijakan publik. 


Source : Relasi kebudayaan dalam kebijakan publik dan sistem regulasi negara

Hanief Saha Ghafur (Universitas Indonesia)

Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 25, No. 4, Oktober–Desember 2012, 263–270


0 comments:

Posting Komentar