https://authorservices.taylorandfrancis.com/publishing-your-research/choosing-a-journal/journal-suggester/
https://authorservices.taylorandfrancis.com/publishing-your-research/choosing-a-journal/journal-suggester/
https://authorservices.taylorandfrancis.com/publishing-your-research/choosing-a-journal/journal-suggester/
https://authorservices.taylorandfrancis.com/publishing-your-research/choosing-a-journal/journal-suggester/
Berikut panduan singkat instal dan menjalankan aplikasi:
https://chat.openai.com/c/c0562726-06a0-4e05-a43d-ed3a50942864
Link pendukung Publikasi:Utk cari buku : https://z-lib.org
Utk proofread: https://www.fiverr.com/categories/writing-translation/proofreading-editing
Utk paraphrase: https://quillbot.com
Utk cari jurnal yg punya DOI: https://sci-hub.tw
Utk cari research gap: https://openknowledgemaps.org
Utk summary: https://getdigest.com/en
Utk transkrip video online: https://anthiago.com/transkrip
Utk paraphrase bhs Indonesia: https://smodin.io
Utk masukkin references ke Mendeley: anystyle.io
Sering kali kita belajar dari lingkungan dan dari mereka yang telah sukses, lalu bagaimana proses belajar tersebut?
Dalam Proses pembelajaran sosial, seeorang belajar dari mengamati kemudian merekam pola hasil pengamatan baik pengamatan langsung maupun tidak langsung, seperti melalui video, buku atau kata-kata kemudian merekam informasi tersebut. Ketika menghadapi situasi yang sama maka individu akan meresponnya dengan memanfaatkan pola yang terekam kemudian di modelling. Pada tahap modelling sering kali kita kesulitan karena skill kita belum terbentuk sehingga hasil kadang berbeda dari apa yang kita observasi.
Dalam banyak kasus kita juga sering mengamati secara terbalik. Biasanya kita melihat seseorang yang telah berhasil baru kita belajar dari proses yang telah dilalui. Dalam hal ini kita harus benar-benar paham. Pertama, bagaimana awalnya atau kondisi lingkungan yang membuat seseorang tersebut belajar. Kedua, apa yang dipelajari oleh orang-orang tersebut seperti pola-pola apa yang terekam dalam pikirannya. Ketiga, bagaiaman proses permodelannya di bentuk hingga mencapai skill permodelan dan akhirnya mencapai hasil.
Demikian pola pembelajaran, semoga kita dapat memahami bagaimana cara belajar dari pengalaman orang lain....trus mencoba
Theory Crowding Motivation
Penelitian Titmuss
(1970) menunjukkan bagaimana kegiatan donor darah yang awalnya sukarela tetapi
begitu mendapatkan bayaran atas donor darah malah membuat sukarelawan
sebelumnya menjadi enggan untuk melakukan donor darah dan mengurangi jumlah pendonor
sebelumnya. Tetapi di satu sisi dengan adanya bayaran atas donor darah pendonor
baru yang mengejar motif ekstrinsik akan tertarik. Kondisi ini menjelaskan
bahwa sikap sukarelawan sebelum ada motif ekstrinsik berasal dari internal
pegawai dan motif ekstrinsik mengganggu motif internal pegawai sehingga tidak
bersedia mendonorkan darahnya. Dalam literatur psikologis menjelaskan bahwa
dalam kondisi tertentu, pemberian hadiah dapat merusak motivasi dan secara
tidak langsung akan berdampak negatif atau lebih dikenal dengan biaya
tersembunyi dari hadiah (Lepper dan Greene, 1978) atau effek korupsi (Deci,
1975)
Making the quality of government better: the possibility of public service motivation (PSM) change
Cheouljoo Leea and Seoyong Kimb*(2014)
Penelitian ini berfokus pada bagaimana PSM berubah, secara natural atau berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh individu PSM. PSM berubah dari waktu ke waktu tentu akibat interaksi antar personal dan natural. tetapi apakah PSM bisa berubah atau tidak? Pertama penelitian ini melihat apakah PSM dapat berubah atau tidak?apakah PSM adalah sesuatu yang dapat berubah sifat atau watak? Kedua, penelitian ini menjelaskan bagaimana 3 model faktor sosialisasi organisasi seperti: role model atau identification, pengalaman pekerjaan, dan konten pekerjaan dapat mempengaruhi perubahan PSM tersebut. Ketiga, melihat sejauh mana perbandingan faktor determinan yang mempengaruhi perubahan PSM tersebut.
Sumber: https://www.wgu.edu/blog/leadership-theories-styles2004.html#close
Ada banyak teori tentang leaderhsip diantarannya:
Resumer Artikel " Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures: Bridging the Public Service Motivation and Calling Literatures"
(Thompson & Christensen, 2018)
Bagaimana menemukan
rasa kebermaknaan dalam pekerjaan adalah sesuatu yang menjadi sumber
dari motifasi. Kebermaknaan suatu pekerjaan sangat di pengaruhi oleh persepsi
di sekitar seseorang tersebut tinggal seperti keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan sosial serta berbagai informasi yang ada di media. Bekerja sebagai
suatu panggilan, karena melihat kondisi yang ada dan niat yang kuat dari dalam
diri yang didorong oleh kognitif serta pengalaman masa lalu serta informasi
yang terakumulasi dengan pengalaman. Hal ini di jelaskan dari berbagai
pandangan dari klasik, kontemporer dan neoklasik.
Sektor publik
memiliki kekhasan tersendiri karena bekerja pada sektor publik lebih di dorong
oleh motif intrinsik untuk membantu orang lain (Rainey, 1982 dan Wittmer,
1991). Tetapi sosial masyarakat yang telah kotor terhadap pekerjaan publik yang
salah menyusun nya memberikan dampak yang luar biasa pada masyarakat
berupa pergeseran citra pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang menyulitkan
masyarakat dan menyebabkan biaya tinggi. bukan niat menolong
masyarakat yang terkesan dari pegawai publik tetapi malah niat menyusahkan
masyarakat. Tetapi tidak semua layanan publik mendapat stigma seperti
itu, beberapa layanan publik yang sifatnya produksi pelayanan langsung
seperti guru dan dokter sebagian masih mendapat pujian karena dampak langsung
di rasakan masyarakat.
Pandangan Klasik
Bensman dan
Rosenberg (1960[2014], 50) mengamati hal itu stasiun dalam hidup.” “Bekerja
sebagai sebuah panggilan,” sebuah konsep yang tumbuh dari gerakan organisasi
yang positif, telah menjadi fitur yang menonjol dalam literatur manajemen
bisnis dalam beberapa tahun terakhir atau lebih dikenal dengan Fashion atau
proses identifikasi diri dengan pekerjaan yang pada akhirnya menemukan
kecocokan dan pengoptimalan terbaik.
Beberapa birokrat, yang terbebani
oleh impersonalitas pekerjaan mereka, melepaskan gagasan bahwa pekerjaan itu
bermakna atau merupakan media yang cocok untuk realisasi diri. . . . Dengan
menyangkal kebermaknaan pekerjaan mereka, mereka menjadi kurang berdedikasi dan
kurang efisien. Mereka meminimalkan tugas-tugas mereka dan melaksanakannya
dengan cara yang rutin dan kompeten, tidak terlalu memikirkan pekerjaan yang
diperlukan. . . .
Untuk mencapai tindakan positif dan
disposisi bisnis yang cepat, birokrasi memerlukan esprit de corps, semangat
kerja yang tinggi, dan dedikasi yang penuh semangat. Kondisi birokrasi
publik yang jelek, lingkungan yang kurang baik membuat mereka yang memiliki
motivasi untuk melayani publik menjadi turun karena kenyataannya bahwa mereka
gagal memenuhi motif intrinsik untuk melayani masyarakat malah terjebak dengan
regulasi, lingkungan birokrasi yang kotor serta ketidaknyamanan dalam bekerja.
Banyak faktor yang menjadi penyebab
lingkungan organisasi tersebut menjadi tercemar, mulai dari pimpinan, struktur,
regulasi, kondisi sosial hingga berbagai macam fitnah dan persespi yang ada.
Lalu seperti apa pelayanan publik modern? karena nilai-nilai publik
saat ini sudah berubah, kecepatan, kepraktisan menjadi salah satu perubahan
dari nilai publik saat ini. Penggunaan teknologi dan kecepatan menjadi jawaban layanan
publik yang di terima oleh nilai-nilai publik.
Pandangan sekuler kontemporer
Kebermaknaan suatu pekerjaan
merupakan bentuk panggilan hati yang di perkuat oleh keyakinan pengetahuan dan
kondisi feedback lingkungan sekitar. Kebermaknaan tersebut menjadi suatu
panggilan yang berakar pada hati dan berdekatan dengan pemikiran keagamaan.
konsep ini di tarik secara luas oleh pengetahuan sekuler untuk menjembatani
kebermaknaan. Salah satu tokoh yang merasionalkan panggilan tersebut
keluar dari kegiatan keagamaan. dimana panggilan kebermaknaan pekerjaan bukan
hanya berfokus pada nilai agama tetapi nilai-nilai publik seperti tukang batu,
pembuat kue dan pandai besi merupakan panggilan jiwa manusia untuk memberikan
kebermanfaatan yang lebih luas bagi manusia lain.
Luther berargumen ada makna
spiritual transenden dari pekerjaan melayani makhluk hidup lain (Hardy, 1990). Calvin
menjelaskan lebih detail (Hardy, 1990, 66) panggilan jiwa merupakan
keberhasilan seseorang dalam mengidentifikasi bakat yang diberikan tuhan dan
dipergunakan untuk kepentingan makhluk lain atau alam. Landasan di atas
menempatkan sebagai prinsip utama etos kerja protestan ( "protestan
ethic and spirit of capitalism) panggilan ini membentuk narasi kerja
selama berabad-abad, namun konsep yang diambil sebagai cikal bakal sekularisme
ini telah bergeser maknanya dimana panggilan tidak lagi berdasarkan keyakinan
agama yang bersumber pada tuhan tetapi pada panggilan kapitalis, panggilan
sosial atau sejenisnya yang akhirnya men-tuhankan sistem tersebut. Ada juga
yang mempopulerkan "panggilan" sebagai pekerjaan impian atau juga
pekerjaan talenta (pengembangan ide Calvin dan Luther).
Konsep-konsep tersebut mengandung
sesuatu yang irasional atau mistis dan menciptakan keyakinan apabila terus di
doktrinkan. Weber (1930, 124) menyetujui hal itu sebagai mistismu atau gagasan
tentang gaib sesuatu yang tidak dapat di tangkap oleh Panca indra tetapi
memiliki pengaruh atau juga berupa gelombang yang di tangkap oleh alam bawah
sadar. Konsep ini menjadi suatu panggilan yang menghantui seseorang dalam
bekerja dan sulit dipahami atau di jelaskan. Hal ini juga meresap ke dalam
budaya populer, misal Alain de Botton (2009) menjelaskan bagaimana suatu
panggilan ditemukan dalam "kelompok kekhawatiran yang menyenangkan dan
menggairahkan Anda..". Sehingga muncul generasi yang menganggap pencarian
pekerjaan yang bermakna sebagai hal yang paling penting (poswolsky, 2014)
dan proses tersebut difokuskan pada pencarian hasrat dan kenikmatan.
Ilmu pengetahuan masa kini juga
umumnya menganut gagasan bahwa panggilan adalah masalah kepuasan pribadi
dan sering kali kurang memberikan perhatian pada pengorbanan dan
pelayanan bagi orang lain (misalnya, Bellah dkk, 1985). Misalnya saja, Dobrow
dan Tosti-Kharas (2011 1001) mendefinisikan panggilan sebagai “semangat
yang sangat besar dan bermakna yang dialami seseorang terhadap suatu
domain,” sehingga memberikan prioritas pada gairah.
Para pakar Manajemen
Riset Calling telah menggunakan
metode kualitatif dan kuantitatif untuk mengeksplorasi implikasi dari
pemanggilan. Beberapa konseptualisasi panggilan kontemporer memang menggunakan
nilai-nilai tanpa pamrih sebagai bagian dari upaya mengejar hasrat. Misalnya,
karya perintis Wrzesniewski mencirikan panggilan sebagai kontribusi terhadap
beberapa nilai sosial di luar diri (Wrzesniewski 2003; Wrzesniewski dkk. 1997).
Namun, konsep panggilan masa kini berbeda dengan konsep klasik karena konsep
tersebut cenderung mengutamakan pemenuhan pribadi, sedangkan versi Lutheran
jelas berakar pada kewajiban untuk mengorbankan diri demi orang lain.
Salah satu kontribusi terpenting penelitian
kontemporer adalah kerangka tripartit yang dikembangkan oleh Bellah dkk.
(1985), yang mana Wrzesniewski dkk. (1997) dioperasionalkan ke dalam ukuran
orientasi pekerjaan, karier, atau panggilan. Orang-orang dengan orientasi
pekerjaan memandang pekerjaan mereka hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan
finansial; mereka bekerja terutama untuk mendapatkan gaji, bukan untuk
imbalan intrinsik. Orang dengan orientasi karir termotivasi untuk maju
melalui hierarki pekerjaan dan mendapatkan penghargaan dan rasa hormat dari
orang lain. Orang dengan orientasi panggilan memandang pekerjaan sebagai
tujuan akhir—sebagai ekspresi identitas profesional mereka yang unik.
Penelitian Wrzesniewski et al. (1997)
yang menggunakan ukuran-ukuran ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan
orientasi panggilan mengalami kepuasan kerja dan hidup yang lebih tinggi dan
tingkat ketidakhadiran yang lebih sedikit. Kerangka kerja-karir-panggilan
memberikan struktur yang berguna untuk berpikir tentang bagaimana orang
berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini juga memberikan cara berpikir
yang lebih mendalam tentang PSM dibandingkan yang digunakan oleh para sarjana
saat ini. Kerangka kerja ini menjanjikan potensi untuk menambah nuansa
penelitian PSM.
Pandangan Neoklasik
Memasukkan kembali cita-cita tentang
panggilan. Penggambaran Wrzesniewski (2003) tentang panggilan sebagai sesuatu
yang memberikan nilai sosial merupakan pertanda dari perubahan ini. Definisi
panggilan dari Dik dan Duffy (2009, 427) secara eksplisit mencakup nilai-nilai
yang berorientasi pada orang lain: “panggilan yang transenden, Namun, era
penelitian panggilan neoklasik telah diluncurkan secara resmi melalui studi
Bunderson dan Thompson (2009) tentang penjaga kebun binatang, yang membawa dialog
panggilan kembali ke akar klasiknya. Mereka menemukan bahwa para penjaga
kebun binatang memiliki pandangan tentang panggilan yang sangat mirip dengan
pandangan yang dianut oleh Luther dan Calvin, meskipun tanpa nuansa keagamaan.
'
Kami merangkum perbedaan inti antara
tiga konseptualisasi pemanggilan dalam tabel 1. Secara khusus, kami
membandingkan tiga pandangan berbeda tentang panggilan dalam hal bagaimana
orang mengalaminya, proses penemuan yang melaluinya orang sampai pada suatu
panggilan, dan definisi formal yang digunakan para sarjana untuk membedakannya.
Secara khusus, penjaga kebun binatang menggambarkan penemuan suatu proses
untuk menemukan konvergens.
Panggilan neoklasik adalah “tempat
dalam pembagian kerja dalam masyarakat yang seseorang merasa ditakdirkan untuk diisi
berdasarkan karunia, bakat, dan/atau peluang hidup yang istimewa” (Bunderson
dan Thompson's (2009, 38). Neoklasik menjelaskan pekerjaan adalah fashion
diidentifikasi dengan bakat dan tujuan dari pekerjaan tersebut serta imbalan
sosial dari masyarakat. Aspek panggilan yang muncul dalam
penelitian ini mencakup (1) pentingnya “hardwiring”—para penjaga
kebun binatang yang memiliki panggilan merasa bahwa mereka
diciptakan untuk bekerja sebagai hewan; (2) persepsi tentang “takdir”—
para penjaga kebun binatang yang mempunyai panggilan hidup merasa bahwa takdir
telah membawa mereka ke tempat kerja yang tepat; (3) adanya kewajiban yang
dirasakan untuk melayani—para penjaga kebun binatang yang memiliki
panggilan mengungkapkan rasa kewajiban moral untuk melayani hewan yang
mereka tanggung; (4) hubungan dengan pengorbanan—penjaga kebun
binatang yang memiliki panggilan melaporkan kesediaan yang lebih besar
untuk melakukan pengorbanan pribadi demi hewan mereka dan kebun
binatang.
Dalam pandangan neo klasik pekerjaan
yang berat dan penuh tantangan akan di balance dengan semangat motif intrinsik,
bakat dan tujuan yang ada. sehingga akan mempertahankan durabilitas
tantangan pekerjaan. Penelitian panggilan kuantitatif menunjukkan bahwa
terdapat berbagai hasil positif terkait dengan kesejahteraan dan
motivasi karyawan (Dobrow dan TostiKharas 2011 ; Duffy dan Dik 2013 ;
Wrzesniewski et al. 1997). Dorongan panggilan hati telah terbukti meningkatkan
efikasi diri dan motivasi/keterlibatan intrinsik (Bunderson dan Thompson 2009;
Dobrow dan Tosti-Kharas, 2011). Efikasi diri atau persepsi
mengenai tujuan organisasi dan manfaat yang besar yang dilakukan organisasi.
Keterikatan organisasi juga meningkat ketika pegawai melihat organisasi dan pekerjaannya
berperan penting dalam mewujudkan tujuan mereka (Cardador, Dane, dan Pratt
2011). Panggilan tampaknya juga memiliki dampak positif yang kuat
terhadap komitmen organisasi, bahkan ketika karyawan merasa bahwa organisasinya
lalai. Panggilan atas pekerjaan menjadi pelindung bagi individu atas kurang
profesionalnya organisasi (Bunderson dan Thompson 2009 ; Schabram dan Maitlis
2017).
Penelitian kuantitatif baru-baru ini
juga menunjukkan “sisi gelap” dari panggilan. Misalnya saja, musisi yang
memiliki rasa panggilan yang kuat di awal kehidupannya cenderung
membesar-besarkan persepsi mereka tentang kemampuan mereka sendiri
(Dobrow dan Heller 2015) dan kurang menerima nasihat karier (Dobrow dan
Tosti-Kharas 2012). Penjaga kebun binatang dengan rasa panggilan yang
kuat memikul beban tugas moral dan pengorbanan serta menunjukkan
lebih banyak kritik terhadap manajemen dan rekan kerja mereka
(Bunderson dan Thompson 2009).
Sisi gelap juga akan berdampak pada
hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sementara nilai-nilai di luar
pekerjaan tidak semuanya sejalan dan bahkan kontra akan mengganggu, atau
keterbatasan fisik juga akan menyebabkan kelelahan. Dampak panggilan ini
antaran lain konflik pekerjaan-keluarga, pekerjaan-sosial. Penelitian panggilan
belum memeriksa dengan cermat proses penemuan panggilan. Dobrow dan
Tosti-Kharas (2012) memberikan wawasan berharga mengenai dampak orientasi panggilan
yang dimulai pada masa remaja namun tidak mengkaji proses penemuan yang
melaluinya subjek menyadari bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi musisi.
Bott dan Duffy (2015), dalam studi longitudinal terhadap mahasiswa sarjana,
menunjukkan bahwa generasi muda lebih mungkin mengalami panggilan di
kemudian hari ketika mereka secara eksplisit mencari makna sebagai mahasiswa
dan dengan sengaja terlibat dalam pengembangan diri. Temuan ini memberikan
beberapa petunjuk awal tentang apa yang mempengaruhi seseorang untuk
menemukan panggilan hidup.
Mungkin panggilan tidak ditemukan
dalam satu peristiwa penting atau pencerahan. Seperti yang dikemukakan
Duckworth (2016), kebanyakan orang cenderung “jatuh cinta” dengan
pekerjaan mereka melalui proses melatih ketabahan seiring berjalannya
waktu saat menghadapi rintangan. Gagasan bahwa pekerjaan menjadi
bermakna melalui usaha dan pengorbanan konsisten dengan pandangan
neoklasik tentang panggilan. (dapat di jelaskan oleh SDT)
Pakar PSM mempunyai posisi yang unik
untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang apakah panggilan yang
berbeda dalam pelayanan publik lebih atau kurang bergantung pada PSM (misalnya,
apakah pekerja sosial memiliki rasa panggilan yang lebih kuat dibandingkan,
katakanlah, pegawai administrasi meskipun tingkat PSM sama?) Kedua, fokus
penelitian terhadap “sisi gelap” dari panggilan telepon baru-baru ini dapat
merangsang penyelidikan baru untuk PSM. Dapatkah PSM tingkat tinggi, seperti tingkat
panggilan yang tinggi, menumbuhkan penolakan terhadap umpan balik (Dobrow dan
Tosti-Kharas 2012), ketegangan pada keluarga (Kreiner, Hollensbe, dan Sheep
2009), atau kritik terhadap manajemen dan sesama karyawan? (Bunderson dan
Thompson 2009).
Ritz, 2016 menjelaskan peta PSM. Pertama,
sekitar 12 persen dari lebih dari 300 artikel membahas tentang konseptualisasi,
pendefinisian, atau teori tentang PSM (termasuk integrasi dengan teori lain).
Kedua, Ritz, Brewer, dan Neumann (2016) mengamati bahwa “motivasi pelayanan
publik masih terikat erat dengan bidang administrasi publik” dan sebagian besar
kontributor PSM terlatih dalam administrasi publik. Tersirat dalam pengamatan
ini adalah perlunya mengekspos, membandingkan, membedakan, dan mengintegrasikan
PSM dengan konsep lain—termasuk konsep yang lebih sering digunakan di luar
bidang administrasi publik. Bozeman dan Su (2015, 703) memperkuat pengamatan
ini dalam kritik mereka terhadap PSM, dengan menyatakan bahwa konsep PSM
mendapat sandungan dari konsep lainnya seperti altruisme dan prososial atau
konsep membantu atau kebaikan adalah energi yang akan kembali pada diri sendiri
dengan berkali-kali lipat.
Beberapa bukti bahkan menunjukkan
adanya dasar untuk hal ini. Misalnya, Brewer, Selden, dan Facer (2000)
menemukan bahwa panggilan muncul sebagai tema dalam patriotisme, salah satu
dari empat konsepsi individu PSM dalam studi mereka. Frederickson (1997)
mengacu pada “panggilan pelayanan publik” sebagai inti dari “semangat administrasi
publik.” (68) • Profesi administrasi publik biasanya dipandang sebagai suatu
panggilan khusus, dan mereka yang menjawab panggilan tersebut dipandang berbeda
dari mereka yang tidak. (81).
Bozeman dan Su (2015, 704) juga
tampaknya mengeksplorasi potensi hubungan ini dalam mendesak kejelasan
konseptual dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Apa sifat dari
'panggilan' sekuler? Apakah seseorang perlu menjadi pegawai pemerintah agar
dapat dipanggil dan memiliki 'komitmen terhadap kebaikan bersama, bukan sekadar
kepentingan pribadi'?” Kami mengembangkan kerangka kerja untuk membahas hal ini
dan pertanyaan terkait di bagian berikut.
Meskipun terdapat tumpang tindih,
PSM dan pemanggilan secara konseptual berbeda. Kedua konsep ini berbeda
dalam pendekatannya terhadap pertanyaan tentang motivasi dan implikasi yang
dapat diambil dari keduanya. Selain itu, mengingat kekhawatiran tentang
kurangnya paparan PSM terhadap konstruksi lain, kami memandang pemanggilan
sebagai memberikan wawasan tambahan yang mungkin bermanfaat bagi pemahaman kita
tentang apa yang membuat pegawai negeri tergerak. Namun, pemanggilan tidak
dan tidak seharusnya menggantikan PSM. Kami berpendapat bahwa kedua konsep
tersebut saling melengkapi; mereka memberikan dua lensa berharga yang dapat
digunakan untuk mempertimbangkan makna pekerjaan di sektor publik.
Membaca fitur definisi ini, jelas
bahwa pemanggilan dan PSM tumpang tindih dalam penekanannya pada layanan
berorientasi lain (Brewer, Selden, dan Facer 2000; Dik dan Duffy 2009).
Namun sebaliknya, PSM awalnya menetapkan batasan seputar pilihan sektor atau
industri jasa sebagai hal yang tersirat dalam definisi tersebut (Perry dan
Wise 1990). Namun penelitian terkini telah memperluas pandangan tersebut, dengan
menyatakan bahwa PSM dapat diterapkan pada semua pekerjaan pelayanan publik—apa
pun sektornya (Christensen dan Wright 2011 ; Moulton dan Feeney 2011 )— termasuk
pekerjaan di sektor nirlaba (Clerkin dan Coggburn 2012; Taylor 2010) dan
pekerjaan yang berpusat pada komitmen umum terhadap komunitas (Nowell et
al.2016). Definisi PSM saat ini mencerminkan cakupan yang lebih luas; misalnya,
Vandenabeele (2007, 547) menggambarkan PSM sebagai “keyakinan, nilai-nilai, dan
sikap yang melampaui kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi, namun juga
menyangkut kepentingan entitas politik yang lebih besar dan memotivasi individu
untuk bertindak sesuai dengan hal tersebut kapan pun diperlukan.”
Di sisi lain, panggilan tidak pernah
diasosiasikan dengan sektor tertentu, melainkan merujuk pada sifat spesifik
dari sebuah karya dan proses penemuannya, yaitu, bakat pribadi, hasrat,
sebab-sebab, dan rasa takdir yang menuntun seseorang pada suatu bidang
tertentu. fokus pada jenis pekerjaan yang didefinisikan secara ketat (lihat
Bunderson dan Thompson 2009 ; Dobrow dan Tosti-Kharas 2011 ). Panggilan juga
menambahkan gagasan tentang “panggilan”—sebuah kebutuhan sosial tertentu yang
mengundang pekerja dengan cara yang unik (Dik dan Duffy 2009).
Para pakar PSM telah mencapai
konsensus bahwa konstruksinya bersifat multidimensi, meskipun satu
dimensi—ketertarikan pada pembuatan kebijakan—masih kontroversial (Ritz 2011). Dimensi
PSM yang lebih diterima secara luas yang menyempurnakan definisi panggilan
mencakup pengorbanan diri, kasih sayang, dan komitmen terhadap kepentingan
publik. PSM menimbulkan pertanyaan mengenai sektor mana atau, dengan definisi
yang lebih luas, pekerjaan pelayanan publik yang mana—apakah sektor publik,
nirlaba, atau swasta (lihat Christensen dan Wright 2011 ; Clerkin dan
Coggburn 2012 ; Moulton dan Feeney 2011. Para ahli berpendapat bahwa PSM
didorong oleh campuran motif afektif, normatif, dan rasional (Perry dan Wise
1990). Namun masing-masing dorongan ini bergantung pada proses sosialisasi
dimana pegawai menjadi sadar akan peluang terstruktur untuk pelayanan publik
Pengungkit Manajerial
Terakhir, dan mungkin yang paling
penting dalam mendorong kita menuju penerapan praktis, PSM dan panggilan
berbeda dalam hal alat yang mungkin digunakan manajer dalam mengawasi
orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan berorientasi lain. Karena PSM
digambarkan sebagai disposisi untuk memberikan pelayanan publik, hal
ini menunjukkan bahwa manajer dapat memotivasi karyawan dengan
mengartikulasikan visi manfaat pelayanan publik, menunjukkan kepemimpinan
transformasional, dan menyoroti valensi misi (misalnya, Wright, Moynihan,
dan Pandey 2012).
Sebuah contoh yang baik mengenai
peran kepemimpinan yang berfokus pada PSM adalah penelitian Grant (2008b)
yang menunjukkan dampak motivasi dalam menghubungkan pekerja dengan
penerima manfaat dari pekerjaan mereka. Grant mengilustrasikan, misalnya,
bagaimana percakapan singkat dengan seorang penerima beasiswa sangat
meningkatkan upaya yang dilakukan oleh para penelepon universitas dalam
pekerjaan mereka serta efektivitas mereka dalam meminta sumbangan.
Efeknya bertahan setidaknya selama satu bulan.
Literatur panggilan menyarankan
beberapa pengaruh manajerial yang berbeda untuk membantu memotivasi
pekerja yang berorientasi pada layanan. Meskipun manajer dapat
menggunakan komunikasi yang menarik untuk menanamkan motivasi pelayanan
publik yang lebih besar kepada karyawannya, seorang manajer tidak dapat
dengan sengaja memberikan panggilan kepada orang lain karena panggilan
tersebut berakar pada bakat yang melekat pada individu.
PSM hanya mengandalkan konteks pelayanan
publik, Calling memperkenalkan pengamatan bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan
seseorang dalam pelayanan publik sangatlah penting. Tinjauan kami terhadap PSM
dan konsep pemanggilan menunjukkan banyak perbedaan utama dalam sejumlah
pertimbangan (lihat tabel 1). PSM, dengan fokusnya pada sektor publik, memberikan
banyak penjelasan tentang atribut dan logika kelembagaan yang membentuk seseorang
menuju pekerjaan (misalnya, Van Loon, Vandenabeele, dan Leisink 2015).
Kami berpendapat—sebagian besar
secara konseptual/teoritis—bahwa panggilan dan PSM akan berkorelasi positif
namun berbeda secara empiris. Penelitian mengenai calling hampir tidak
mempertimbangkan bagaimana struktur kelembagaan dan budaya mempengaruhi
kemungkinan terjadinya calling development. PSM memberikan konstruksi dan
serangkaian tindakan yang memungkinkan para peneliti untuk memeriksa bagaimana
nilai-nilai organisasi yang berlaku dapat berdampak pada pembentukan
panggilan.
Untuk memberikan langkah pertama
menuju pengorganisasian dan eksplorasi empiris kemungkinan-kemungkinan menarik
ini, kami menguraikan beberapa kelompok pertanyaan penelitian yang kami pandang
sebagai inti agenda ilmiah untuk mensintesis PSM dan menyebut penelitian.
Menyelidiki perbedaan dalam
pendahulunya adalah salah satu cara yang berpotensi bermanfaat untuk
menjelaskan dengan lebih baik kekhasan empiris dari konsep-konsep tersebut. Namun,
tinjauan kami juga mengungkapkan bahwa terdapat banyak bidang yang tumpang
tindih dan, yang lebih penting, peluang untuk melakukan penyelidikan di mana
setiap konstruksi dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi kepada yang
lain. Misalnya, pemupukan silang antara panggilan dan PSM memberikan beragam
paparan yang dirujuk oleh Bozeman dan Su (2015) dan hanya dapat memperkuat
PSM sebagai konstruksi makna dan tujuan di bidang administrasi publik.
Menjelajahi Anteseden PSM dan
Calling
Terkait dengan panggilan hidup,
Duffy dan Autin (2013) menunjukkan bahwa generasi muda dengan pendapatan lebih
tinggi dan pendidikan lebih tinggi cenderung mendukung pentingnya menjalani
panggilan hidup. Bunderson dan Thompson (2009) telah menunjukkan bahwa panggilan
sebenarnya berhubungan negatif dengan gaji, sehingga semakin mempertanyakan
gagasan bahwa hanya mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi yang dapat
mengalami panggilan. Tetapi dapat di jelaskan keberadaan orang yang berstatus
sosial tinggi tidak pernah mengalam masa kesusahan dan membuat dia bisa
merasakan kepedihan yang belum pernah di rasakan.
Implikasinya bagi para pemimpin
adalah bahwa PSM adalah keadaan yang memerlukan pengasuhan manajerial,
sedangkan ketika karyawan mengalami panggilan, mereka mungkin lebih mampu
mempertahankan motivasi mereka sendiri
Menjelajahi Sisi Gelap PSM
Para sarjana juga telah menunjukkan
bahwa panggilan yang tidak terpenuhi merupakan kesulitan bagi karyawan. Ketika
seseorang merasakan suatu panggilan tetapi tidak dapat melaksanakannya, dia
cenderung melaporkan penurunan kesehatan fisik dan psikologis (Gazica dan
Spector 2015) dan penurunan kesejahteraan secara umum (Duffy, Douglass et al.
2016). Berg, Grant, dan Johnson (2010) telah menunjukkan bahwa orang-orang
dengan panggilan. Apalagi jika melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan
panggilan atau PSM nya semakin menyakitkan psikologis.
Panggilan tampaknya melindungi karyawan
dari kelelahan, misalnya (Duffy, Douglass dkk. 2016; Hagmaier, Volmer,
dan Spurk 2013). Meskipun memberikan tuntutan yang signifikan kepada
karyawan, panggilan juga tampaknya memberikan sumber ketahanan bagi karyawan.
Kami mengetahui bahwa belum ada penelitian yang mengeksplorasi dinamika pekerjaan
di sektor publik. Memang benar bahwa terdapat dua sisi panggilan yang lebih
menonjol di sektor publik dibandingkan di sektor swasta. Karena gaji di
sektor publik cenderung lebih rendah, pegawai yang dipanggil mungkin memikul lebih
banyak beban pengorbanan. Terlebih lagi, pertaruhan yang dipertaruhkan
di sektor publik sering kali sangat besar—terutama ketika seseorang berupaya
mengatasi masalah-masalah sosial penting yang tidak dapat diselesaikan
dengan mudah.
“gaji kecil dan beban sosial yang
lebih berat dan komples”= masalah sektor publik
Kami memperkirakan pegawai negeri yang
memiliki panggilan tidak akan terlalu terbebani antara tuntutan pekerjaan dan
kehidupan rumah tangga dibandingkan rekan-rekan mereka di sektor swasta. Namun,
pada saat yang sama, kami mengantisipasi bahwa pengalaman menelepon akan
menumbuhkan ketekunan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan-tantangan
ini. Secara anekdot, kita dapat melihat banyak pemimpin sektor publik yang
tetap bertahan dalam pekerjaannya meskipun ada hambatan eksternal, kurangnya
imbalan, dan lambatnya pencapaian hasil. Konstruk pemanggilan memberikan
kekuatan penjelasan yang unik untuk memahami fenomena ini.
Orang-orang dengan orientasi PSM
mungkin lebih kebal terhadap perubahan-perubahan dalam pekerjaan mereka karena
mereka didorong oleh perspektif yang lebih luas mengenai kesuksesan dalam
komunitas secara luas; mereka mempunyai lebih banyak dimensi untuk dipertimbangkan
ketika mereka menilai apakah pekerjaan mereka mempunyai dampak.
Kesimpulan
Kami berpendapat bahwa PSM dan
pemanggilan adalah konsep yang saling terkait namun ortogonal. Mereka sering
terjadi bersamaan. Tapi yang satu bisa diamati tanpa yang lain. Masyarakat
sering kali merasakan panggilan di luar pelayanan publik, dan banyak pegawai
negeri menunjukkan PSM tanpa merasakan adanya keniscayaan yang ditunjukkan
oleh panggilan tersebut. Faktanya, kategori terakhir inilah yang memberikan
stereotip tidak termotivasi kepada birokrat publik.
Daripada menyarankan “pacuan kuda”
antara PSM dan panggilan, kami berpendapat bahwa keduanya saling melengkapi
dalam pemahaman kita tentang mengapa seseorang mungkin tertarik, bertahan, dan
bahkan mungkin berpisah dari pekerjaan pelayanan publik. Banyak pertanyaan
lain, beberapa di antaranya telah kami uraikan di atas, menghadiri persimpangan
menarik antara PSM dan kontribusi panggilan terhadap psikologi kerja
Ringkasan Tulisan Akademik UGM FISIPOL
Tulisan akademik adalah tulisan mengenai sebuah argumen yang baik yang disusun secara sistematis dan jelas. Untuk mencapai hal tersebut hubungan logis, berurut dan konsistensi dalam tulisan harus terkait dengan benang merah.
Kegagalan dalam menjelaskan gagasan secara sistematis karena tujuan utama dari penulisan tidak muncul, karena banyaknya argument yang ditampilkan sehingga argumen utamanya tenggelam dengan argumen-argumen pendukung. Argument utama di jelaskana secara berputar-putar dan tidak utuh, terlalu banyak menjelaskan logika skundernya di banding logika primernya. Pembahasan terlalu berputar-putar. Penjelasan yang tidak konsisten antara data-data yang di tampikan kurang mendukung gagasan utama malah menjebak menuju pada gagasan skunder. Misal ketika ingin menulis terkait mengenai bagaimana proses pebentukan terjadinya perilaku korupsi malah menampikan banyak tulisan terkait dengan dampak korupsi. Dengan kata lain untuk membuat tulisan yang gagasan nya jelas maka tulisan fokus pada satu gagasan utama, dari awal telah membuat argumen-argumen kuat mengenai gagasan utama tersebut dan tulisa didukung dengan penjelasan yang logis dan memiliki benang merah dalam fokus gagasan utama.
Beberapa kriteria argumen dan gagasan tulisan yang baik yaitu adanya (1) tesis yaitu dugaan dari gagasan pemikiran yang dapat dijelaskan secara runtun. (2) pandangan peneliti lain yang mendukung argumen tesis penulis. (3) seperangkat premis yang disusun runtun untuk menggambarkan argumen dengan jelas. (4) bukti yang menunjukkan jawaban tesis terhadap premis tersebut. (5) kesimpulan yang meyakinkan bahwa argumen tersebut masuk akal dan dapat di terima pembaca.
Tingkat Kedalaman sebuah Tulisan
Sebuah tulisan dengan gagasan pada (1) tingkat paling rendah adalah bagaimana tulisan menunjukkan kesenjangan antara kondisi ideal (das sollen) dan kenyataan (das sein). Pada tulisan ini kita hanya menulis fenomena yang terjadi yang tidak berjalan sesuai dengan harapan atau semestinya. Bisa juga di duking dengan tesis-tesis berdasarkan pengetahuan logika yang dimiliki. (2) Pada tingkatan yang lebih tinggi gagasan di sampaikan dengan membandingkan beberapa penelitian dan mengetahui beberapa faktor penyebab dari penelitian tersebut. Hasil penelitian terdahulu, perdebatan teoritis dan kemampuan pengetahuan menjadi sumber pintu masuk dalam membangun argumen baru yang lebih komprehensif. (3) Pada tingkatan paling tinggi adalah mempertanyakan keabsahaan atau kesahihan dari sebuah argumen atau pendapat yang mapan. misal selama ini banyak faktor yang menjelaskan sebuah teori yang sudah banyak teruji dan mencapai kemapapan maka dengan perubahan kondisi sosial maka teori tersebut dapat bergeser, penulis mencoba mengkritisi teori tersebut dan berusahan membangun argumen baru beserta data pendukung yang lengkap sehingga memunculkan variabel penentu baru untuk menjawa teori atau argumen yang lebih mapan. Misalnya, hasil penelitian Clifford Geertz (1992) yang menyimpulkan bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu: santri, abangan, dan priayi. Kita bisa menulis artikel tentang hal yang sama dengan cara melawan pendapat Geertz tersebut dan menunjukkan bahwa kategorinya tumpang tindih. Priayi dalam kategori Geertz bukanlah kategori yang bisa menunjukkan tingkat religiusitas seseorang melainkan kategori sosial yang membedakannya dengan kalangan bawah. Dengan sudut yang lain, seorang penulis bisa menemukan argumen lain bahwa masyarakat Jawa bukan seperti yang digambarkan Geertz. Misalnya, temuan Nakamura menunjukkan bahwa kategori statis santri dan abangan tidak muncul di masyarakat Yogyakarta. Pada kenyataannya, ada proses dinamis Islamisasi dari masyarakat yang semula abangan menjadi santri sebagaimana ditunjukkan dengan adanya berbagai pengajian.
Contoh lain adalah penelitian-penelitian tentang politik dan birokrasi di Indonesia yang selama ini menghasilkan kesimpulan tentang kuatnya peran negara atau birokrasi. Temuan-temuan tersebut memunculkan berbagai istilah seperti bureaucratic polity atau patrimonial bureaucracy (Crouch, 1979), corporatist state (King, 1982), atau clientalism state. Akan tetapi, hal itu telah disanggah dengan tulisan yang mengatakan bahwa proses pembuatan kebijakan di Indonesia lebih mengarah pada pluralism dan menegaskan kuatnya peran institusi nonnegara (MacIntyre, 1988).
Jenis Struktur Penulisan
Esensi karya akademik adalah adanya argumen yang jelas. Penulis wajib menghadirkan argumen dalam tulisannya. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menghadirkan argumen? Argumen suatu karya akademik merupakan kesatuan dari ide-ide pokok yang tercantum dalam paragraf. Titik tekan menghadirkan argumen terletak pada susunan paragaf. Paragaf adalah elemen-elemen pembangun argumen dalam suatu karya akademik.
Crème dan Lea (2008) menjelaskan beberapa jenis paragraf, yaitu kronologi, deskripsi, sebab-akibat, perbandingan, dan evaluasi. Masing-masing jenis dapat berdiri sendiri atau berkolaborasi untuk membangun suatu argumen. Misalnya, argumen evaluasi dapat disusun dengan paragraf evaluasi semata atau menggabungkan antara paragraf kronologi, deskripsi, sebab-akibat, dan evaluasi.
Jenis paragraf:
(1) Kronologi, Karakteristik utama paragraf kronologi adalah gagasan yang berbasis sekuen waktu (time line). Penyajian runtut berdasarkan alur waktu menjadi kekuatan jenis paragraf ini.
(2) Deskripsi, Jenis paragraf deskripsi bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena secara detail. Dalam istilah Geertz, hal ini disebut deskripsi mendalam (thick description) Keunggulan paragraf deskriptif adalah mampu menjelaskan konsep yang abstrak secara lebih konkret sehingga mudah dipahami pembaca. Ada berbagai strategi yang lazim digunakan dalam jenis paragraf ini, misalnya: diagram, tabel, monografi, dan tipologi. Kualitas penulisan paragraf deskripsi tergantung pada kedalaman penjelasan. Banyak penulis terjebak dalam pola reportase sehingga sulit membedakan antara liputan berita atau karya akademik
(3) Sebab-Akibat, Logika pikir yang mendasari penulisan paragraf sebab-akibat adalah hubungan satu isu atau fenomena dengan isu atau fenomena lain. Kata kuncinya adalah tidak ada isu atau fenomena yang berdiri sendiri. Ada tiga pertanyaan mendasar yang lazim di dalam paragraf sebab-akibat. Pertama, apa yang terjadi? Pertanyaan ini menuntut pemahaman penulis untuk menetapkan isu atau fenomena yang menjadi substansi penulisan. Sangat mungkin isu yang dipaparkan lebih dari satu. Namun demikian, variasi isu tidak dimaksudkan untuk membandingkan dan hanya memperkaya fenomena sejenis. Kedua, bagaimana hal tersebut terjadi? Pemaparan mengenai proses bekerjanya suatu isu atau fenomena sehingga memengaruhi munculnya fenomena lain. Ketiga, apa konsekuensi yang ditimbulkan? Akhir dari paragraf sebab-akibat menjelaskan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan atas suatu fenomena.
(4) Perbandingan, Paragraf perbandingan bertujuan untuk membandingkan dua hal atau lebih. Perbandingan dilakukan berbasis indikatorindikator tertentu. Oleh sebab itu, paparan indikator pembanding penting ada dalam paragraf perbandingan. Indikator-indikator inilah yang akan menunjukkan persamaan dan perbedaan isu dan fenomena yang dibandingkan. Catatan kritis dalam jenis paragraf ini adalah ketidakjelasan indikator pembanding. Banyak penulis tidak menggunakan indikator pembanding yang konsisten ketika membandingkan dua hal atau lebih.
(5) Evaluasi, Paragraf evaluasi bertujuan untuk memberikan penilaian (judgement) terhadap kebijakan atau program yang dievaluasi. Sangat mungkin beberapa penulis memberikan penilaian yang berbeda terhadap satu isu yang sama. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan perspektif. Oleh sebab itu, paparan perspektif yang menjadi pijakan dalam evaluasi penting adanya dalam paragraf jenis ini. Hal ini penting agar pembaca mengetahui perspektif yang digunakan. Selain itu, juga penting untuk memaparkan indikator-indikator yang menjadi dasar evaluasi.
Bentuk Karya Akademik
1. Ringkasan (Summary) Membaca ringkasan menjadi pilihan bagi para pembelajar untuk memahami karya akademik secara cepat. Ringkasan merupakan versi singkat dari sebuah teks (buku, artikel jurnal, laporan penelitian). Tujuan menulis ringkasan adalah menyajikan kepada pembaca sebuah gagasan paling penting dari sebuah teks dan memampatkan informasi dan argumen yang digunakan dalam mendukung gagasan utama sebuah tulisan (Friedman & Steinberg, 1989:140). Struktur penulisan dalam ringkasan lebih bersifat langsung (straight forward). Ringkasan berisi tentang inti dari latar belakang, perspektif, argumen yang didukung bukti-bukti, metode (jika hasil penelitian), dan kesimpulan atau refleksi teoretis. Secara umum, panjang ringkasan antara 750-1.000 kata. Ringkasan ditulis dengan kalimat sendiri atau tidak menyalin kalimat dalam teks. Oleh sebab itu, kemampuan parafrase mutlak dimiliki untuk menulis ringkasan.
2. Tinjauan Kritis (Critical Review)
Tinjauan kritis adalah sebuah tulisan yang lebih rumit daripada ringkasan karena mensyaratkan, antara lain, kemampuan untuk menganalisis teks seperti yang dimaksudkan penulisnya, gagasan pengendali atau tesis, menganalisis teknik pengorganisasian, dan kemampuan meringkas (summary). Tujuan tinjauan kritis adalah memberikan penilaian kualitas sebuah tulisan. Ada dua pertanyaan mendasar untuk memberikan penilaian sebuah tulisan. Pertama, apakah informasi disajikan secara objektif? Kedua, apakah pendapat penulis fair dan logis (masuk akal)?
3. Esai
Esai adalah salah satu karya akademik yang paling sering dijumpai oleh mahasiswa. Dalam proses pembelajaran setiap semester, tidak sedikit dosen memberikan tugas membuat esai. Oleh sebab itu, kemampuan menulis esai mutlak dimiliki mahasiswa. Banyak definisi berkembang untuk menggambarkan esai. Namun demikian, terdapat satu kesepahaman bahwa esai terdiri dari tiga bagian, yaitu pengantar, batang tubuh atau isi, dan penutup atau kesimpulan. Bagian pengantar terdiri dari gambaran umum dan tesis yang akan dijawab melalui esai. Esai biasanya diawali dengan pernyataan secara eksplisit kalimat tesis atau gagasan pengendali.
4. Tugas Akhir
Setiap jenjang pendidikan mensyaratkan mahasiswanya untuk menulis sebuah karya ilmiah yang menjadi tugas akhir. Karya Ilmiah bagi mahasiswa pendidikan S1 adalah skripsi, bagi mahasiswa S2 adalah tesis, dan bagi mahasiswa S3 adalah disertasi. Perbedaan ketiga bentuk karya ilmiah tersebut terletak pada kedalaman pembahasannya. Oleh sebab itu, jumlah kata untuk tiap-tiap tugas akhir pun berbeda-beda. Setiap institusi pendidikan memiliki aturan tersendiri mengenai jumlah kata untuk penulisan tugas akhir. Namun demikian, berdasarkan perbandingan (benchmarking) aturan akademik di berbagai universitas terkemuka di dunia dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata jumlah kata tugas akhir adalah sebagai berikut: 1. Skripsi Sarjana : 15.000-25.000 kata 2. Tesis Pascasarjana : 30.000-40.000 kata 3. Disertasi Doktoral : 80.000-100.000 kata
Gambaran Umum Tulisan
Sebuah tulisan secara garis besar minimal harus memuat pendahuluan, isi, dan penutup.
- Bagian pendahuluan mengutarakan garis besar dan rencana yang akan ditulis oleh penulis.
- Isi merupakan bagian yang berisi pemaparan argumentasi dan analisis yang ingin disampaikan penulis.
- Penutup merupakan bagian tempat penulis menyampaikan kesimpulan dari hasil analisisnya.
Pendahuluan
Pendahuluan mempunyai dua fungsi yang mendasar dalam sebuah rangkaian tulisan. Fungsi yang pertama adalah memberikan ruang kepada penulis untuk mendeklarasikan posisinya atas isu atau topik bahasan atau cara pandang, metode, dan landasan berpikir atau kajian teoretiknya. Penentuan posisi yang jelas oleh penulis dapat memberikan sumbangan bagi topik yang sedang dibahas. Fungsi kedua adalah menunjukkan kepada pembaca mengenai permasalahan yang sebenarnya menjadi pijakan awal menulis, alasan menjadi masalah, dan perlunya pemecahan atas permasalahan itu.
Pendahuluan setidak-tidaknya berisi reviu referensi awal, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, dan hipotesis. Namun tidak semua komponen itu terdapat dalam sebuah tulisan dan hal ini sangat tergantung pada bentuk tulisan dan metode penelitian yang digunakan penulis. Bentuk tulisan jurnal dengan laporan hasil penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi berbeda format strukturnya. Perbedaan metode penelitian yang digunakan juga membawa konsekuensi pada format strukturnya. Misalnya, dalam penelitian kuantitatif terdapat hipotesis yang dinyatakan secara lugas, sedangkan dalam penelitian kualitatif cukup dengan bentuk pertanyaan penelitian atau rumusan masalah serta argumen. Berikut ini adalah komponen-komponen yang selayaknya terdapat dalam bagian pendahuluan.
Pendahuluan menjelaskan sebagai berikut:
1. Pemaparan Topik (Kenapa topik ini penting dan menarik?)
2. Tinjau awal, menjelaskan mengenai pembahasan-pembahasan terdahulu, bagian-bagia penting, perbedaan-perbedaan penelitian. Tinjauan awal memetakan konsep, topik pembahasan, sehingga pokok pembahasan menjadi jelas posisinya.
3. Argumentasi Tulisan
mengeluarkan ide yang lebih spesifik dari tinjauan awal berdsarkan fenomena dan fakta yang ada. atau bisa juga membantah temuan terdahulu dari kondisi yang dilihat. kemudian disusun argumen yang kuat kenapa perbedaan terjadi
Argumentasi dengan logika deduktif merupakan argumentasi yang dimulai dengan menampilkan hal-hal yang bersifat umum dan kemudian mengarah pada hal-hal yang lebih khusus. Ia dimulai dengan mengetengahkan argumentasi utama dan kemudian menurunkan uraian yang berupa fakta, referensi, dan analisis untuk memperjelasnya. Argumentasi dengan logika induktif dimulai dengan memaparkan bukti-bukti yang mendukung argumentasi secara lengkap, sebelum diakhiri dengan ide besar argumentasinya.
4. Fokus
Fokus kajian merupakan pemosisian penulis atas hal yang akan menjadi inti tulisannya dengan menunjukkan hal-hal yang akan dibahas dan paradigma atau sudut pandang untuk membahasnya. Fokus kajian lazimnya dirumuskan menjadi rumusan masalah atau pertanyaan penelitian atau hipotesis dalam penelitian kuantitatif.
- Rumusan masalah
Rumusan masalah merupakan pernyataan yang memberikan penekanan utama atas permasalahan yang dibahas dalam sebuah tulisan. Bagian ini diawali dengan menunjukkan pemaparan argumentasi secara rasional kemudian ditutup dengan sebuah kesimpulan yang dapat menunjuk pada satu fokus permasalahan yang jelas
- Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian merupakan pernyataan yang tegas oleh penulis untuk bertanya mengenai permasalahan yang akan dibahas dan dicari jawabannya.
- Hipotesis
Pernyataan hipotesis (sebuah atau beberapa tesis yang hendak ditunjukkan kebenarannya) biasanya digunakan dalam sebuah tulisan bermetode kuantitatif. Pernyataan hipotesis dalam laporan penelitian biasanya menunjukkan sebuah hubungan antara atau pengaruh atas minimal dua variabel.
H1 : Terdapat perubahan motivasi pegawai sebelum dan setelah memasuki organisasi publik (DJBC)
H2:
Pengorganisasian Tulisan
Tujuan organisasi tulisan adalah penulis perlu memberitahukan kepada pembaca tentang tulisannya agar dapat diketahui garis besar isi dari pendahuluan, isi atau pembahasan, sampai kesimpulan dan penutup. Pembaca dapat lebih mudah mengikuti alur dan logika penulis atau menyelaraskannya dengan pemikiran penulis. Pembaca juga dapat menemukan secara cepat hal-hal yang ingin dicarinya dari tulisan tersebut tanpa harus membacanya secara keseluruhan. Hal ini hanya dipakai oleh pembaca untuk memastikan bahwa di dalam tulisan tersebut terdapat isi atau pembahasan yang diinginkan sebelum membaca secara keseluruhan.
Kajian Teoretik
Reviu Referensi Terdahulu
Reviu referensi terdahulu berisi mengenai hasil-hasil terdahulu yang bisa berupa hasil analisis atau hasil penelitian. Berbeda sedikit dengan bagian reviu awal, referensi terdahulu mengulas lebih komplit dan memasukkan hasil analisis, metode yang digunakan, lokasi, dan waktunya. Referensi yang digunakan, baik dalam reviu awal maupun referensi terdahulu boleh sama, namun tidak boleh berulang sama persis. Referensi terdahulu bermanfaat pertama, untuk dapat membantu membangun argumentasi penulis mengenai sebuah topik, sebelum nantinya dibahas lebih mendalam dalam analisis. Argumentasi dibangun dengan menunjukkan fakta atas referensi dan/atau penelitian terdahulu yang selaras dan mendukung ide penulis. Argumentasi juga dapat dilakukan dengan menunjukkan kontradiksi pada topik yang bersangkutan dan penulis dapat memosisikan dirinya pada sebuah pilihan yang berdasar reviu awal ini. Kedua, membantu mengetengahkan orisinalitas analisis dan argumentasi penulis mengenai topik yang sedang dibahas. Penulis kadangkala terjebak dengan sebuah topik bahwa yang pertama membahas itu adalah yang original tanpa memberikan pembandingan atas penelitian dan referensi terdahulu. Penulis harus dapat memberi pembanding dan menunjukkan sisi orisinalitasnya atas penelitian terdahulu baru kemudian menyatakan orisinil.
Landasan Teori
Landasan teori merupakan pemaparan akan teori yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam sebuah penelitian yang menggunakan dasar berpikir deduktif. Teori dimulai dengan menunjukkan teori besarnya dan diturunkan pada middle theory sampai pada operasionalnya.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan bagian tempat penulis mengemukakan proses melakukan penelitian sebagai dasar terciptanya tulisan. Selayaknya metode penelitian berisi tentang halhal berikut ini
Pemaparan atas perbedaan terhadap metode yang dipergunakan seperti strategi penelitian, variable penelitian jika penelitian kuantitatif, data dan yang lainnya terhadap penelitian yang dilakukan terdahulu. Aspek kebaruan dalam sebuah penelitian tidak hanya terbatas pada isu atau subtansi, namun bisa juga pada objek penelitian, lokasi, data, dan metodenya.
b. Menunjukkan pendekatan metode penelitian (kuantitatif atau kualitatif) yang digunakan dan alasan yang mendasari pemilihan metode ini sehingga pemilihan metode penelitian bukan tanpa dasar atau sekadar sebagai suatu kebiasaan. Metode penelitian yang digunakan harus selaras dengan tujuan penelitian dan objek atau data penelitian yang dilakukan. Tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah sampai pembandingan kelebihan dan kekurangan atas metode tersebut.
c. Menunjukkan strategi dan tahapan-tahapan yang digunakan dalam menjalankan proses penelitian. Tahapan-tahapannya terdiri dari, misalnya, pengumpulan data (observasi, data sekunder, dan wawancara). Berkenaan dengan hal ini, yang ditampilkan bukan hanya definisi atau pengertian atas tahapan itu, namun juga hal yang dilakukan dengannya. Penulisan aktivitas wawancara, sebagai contoh, perlu memaparkan bentuk wawancara, siapa yang diwawancara, dan global pertanyaannya.
d. Apabila menggunakan data sekunder, penulis perlu memaparkan karakteristik data tersebut, misal sumber dan tanggal aksesnya.
e. Khusus untuk penelitian kuantitatif biasanya disertai dengan penjelasan atas variabel yang digunakan, model jika menggunakannya, dan penjelasan mengenai alat analisisnya.
AI yang pernah dishare di grub ini:
1. Buat Paparan https://tome.app/
2. Menjawab apapun https://chat.Openai.com
3. Mencari Artikel http://elicit.org
4. Merangkum isi pdf https://www.chatpdf.com
5. Translate Jurnal https://www.deepl.com/translator
6. Parafrase http://quillbot.com
7. Link ebook gratis https://z-lib.is/
Weathington dkk (2010, hal. 113)
Recruitment of participants, walaupun dengan berbagai strategi untuk mencari partisipan dari populasi tetap saja tidak bisa mewakili seluruh orang dalam populasi tersebut, selalu ada yang berbeda dari semua yang sama. Misal: Mengenerailis dengan level-level atau kelompok dengan tingkatan yang sama misal tingkatan umur, gender, pendidikan yang sama. "People who volunteer in response to a newspaper recruitment may not represent the typical member of the population you wish study".
Kepercayaan hasil penelitian ditentukan oleh kemampuan peneliti menyingkirkan efek variabel pengganggu (Nahartyo, 2012). Menurut Lynch (1982) terdapat tiga perspektif dalam validitas eksternal yaitu generalisabilitas statistik, replikabilitas konseptual dan validitas ekologis
Beberapa ancaman yang mempengaruhi validitas internal sebagai berikut:
Gagal Mengikuti Protokol, Jika partisipan tidak mengikuti protokol, maka berdampak pada variabel kontrol gagal menjaga bersentuhan dengan variabel ketiga yang dan mengganggu hubungan yang diteliti
Erosi, Pengurangan dapat menghasilkan sampel yang dipilih secara tidak acak. Jika subjek secara sistematis keluar dari penelitian setelah ditugaskan ke kelompok kontrol atau perlakuan
Efek Eksperimental, Jika subjek manusia dalam kelompok perlakuan dan/atau kelompok kontrol mengetahui bahwa mereka sedang dalam eksperimen, mereka mungkin menyesuaikan perilakunya dengan cara yang mencegah estimasi yang tidak bias dari efek perlakuan.
Ukuran Sampel Kecil, Seperti yang kita ketahui dari teori regresi linier, ukuran sampel yang kecil menyebabkan estimasi koefisien yang tidak tepat dan dengan demikian menyiratkan estimasi efek kausal yang tidak tepat. Selain itu, interval kepercayaan dan uji hipotesis dapat menghasilkan inferensi yang salah ketika ukuran sampelnya kecil.
Kegagalan untuk Mengacak, Jika subjek tidak secara acak ditugaskan ke kelompok perlakuan, maka hasilnya akan terkontaminasi dengan efek dari karakteristik atau preferensi individu subjek dan tidak mungkin untuk mendapatkan perkiraan yang tidak bias dari efek pengobatan. Satu dapat menguji untuk tugas non random menggunakan uji signifikansi ( -Test) pada koefisien dalam model regresi)