Perjalanan Snouck Hurgronje
“Seorang Akademisi belanda yang menjadi ulama, untuk memahami perilaku masyarakat dengan corak agama islam di Indonesia. Dengan menjadi bagian dari kelompok teratas maka akan mudah memahami dan mengendalikan kelompok tersebut”.
Anti kolonial aktivitas
Ketika pemerintah belanda mulai membangun dan berinvestasi di Indonesia untuk meningkatkan kepentingannya sendiri, di dalam masyarakat secara bersamaan ada banyak perkembangan sosial, salah satunya adalah aktivitas keagamaan-sosial. Aktivitas keagamaan ini semakin berkembang dengan semakin banyak kelompok sosial yang berangkat ke mekkah untuk haji dan menuntut ilmu dan ketika pulang membawa pemahaman baru yang disampaikan ke masyarakat sehingga mulai merubah kehidupan sosial.
Islam and The Muslim
“Islam adalah agama, dan muslim adalah orang-orang yang beragama islam”
Sebuah teori yang berkembang untuk memberikan pemahaman baru adalah seseorang yang berasal dari masyarakat dan membawa ajaran baru, atau ketika masyarakat tersebut sudah menerima pemahaman baru maka orang yang dengan pemahaman yang sama akan mudah masuk ke dalam masyarakat. Latar belakang pendalaman terhadap terhadap sistem sosial masyarakat islam yang berkembang adalah adanya kekhawatiran dan ancaman. hal ini terbukti dengan meletusnya perang-perang besar, disatu sisi pemerintah Belanda dengan rasionalnya melawan keyakinan dan keyakinan serta sosial masyarakat yang semakin lama semakin menjauh karena adanya pengaruh-pengaruh luar ataupun kepentingan masyarakat yang terancam karena kepentingan rasional investasi pemerintah kolonial berubah arah meresahkan keyakinan sosial yang berkembang.
Pemberontakan di Banten 1888 (Belanda vs ulama-pesantren dan tarekat) yang dipimpin oleh Hadji abdul karim, Hadji tubagus ismail, Hadji Mardjuki dan Hadji Wasid dengan membawa jihad dan memberikan perlawanan yang besar bagi pemerintah kolonial belanda. Perlawanan ini dipimpin oleh mereka yang bergelar hadji yang telah mendapat pemahaman dan pengalaman di Mekkah, serta kekuatan untuk menegakkan kembali syariat islam. Status sosial mereka sudah dianggap paling tinggi di dalam masyarakat bahkan di atas pemerintah bagi pengikut-pengikutnya pimpinan mereka adalah “sami'na wa atho'na”. kami dengan dan kami turuti. hal ini menghilangkan pikiran kritis karena keyakinan berada di atas logika. paham tersebut berupa Keinginan untuk menegakkan ajaran islam secara holistik termasuk dalam sistem pemerintahan dan sosial sehingga ajaran islam semua dapat berjalan secara sempurna.
Perang besar lainnya dengan semangat jihad dan penegakan syariah islam adalah perang Aceh (1873-1910). Kerajaan islam pertama Samudera pasai telah berdiri sejak 1267 dengan raja Marah Silu, atau yang bergelar Sultan Malik as-saleh tetapi sebelumnya kerajaan ini sudah ada karena ada bukti makam raja tahun 710 M, dan benar-benar menjadi kerajaan islam di abad ke 12, sultan pertama wafat pada tahun 1267 M atau 696 H. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Lamanya pengaruh islam di tanah aceh, membuat masyarakat aceh sangat kuat secara historis dengan islam, islam telah menjadi ajaran yang menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat aceh. dan pemahamannya menjadi sangat kuat di aceh, pemerintah kolonial yang berlainan agama serta menjalankan pemerintah tidak sesuai syariah akan menghadapi tantangan yang besar. Pemerintah kolonial mendapatkan perlawanan yang dipimpin oleh para ulama besar yang sudah menempatkan dirinya pada sosial tertinggi dalam masyarakat yang dipimpin oleh Teungku Chik ditiro, tengku tapa. Pengaruh yang terbesar adalah pemahaman islam yang holistik yang dibawa oleh mereka yang menuntut ilmu di Mekkah.
"mecca was believed as the centre of international conspiracy inspring the spirit of anti-colonial movements in the Muslim Word". Mekkah merupakan pusat perkembangan international dimana semua orang dari berbagai negara berkumpul dan pusat ilmunya pun semakin kaya dengan pemahaman dan pandangan. Gerakan pemahaman baru di bawa kembali ke tanah air dan pemerintah kolonial yang tidak sejalan merupakan ancaman besar untuk menerapkan paham yang dibawa. Wahabi salah satu gerakan yang berkeinginan untuk membawa kembali ke islam murni (Reform of islam), salah satu pengaruh dari Ibnu Taimiyah (1263-1328), gerakan wahabi di bawah oleh Abdul Wahab (1703-1787) yaitu gerakan islam murni yang mengajarkan pada kembali pada peranan al quran dan hadist dengan memperhatikan society tetapi menghilangkan paham-paham budaya yang bertentangan dan menyesatkan.
Dugaan bahwa penyebab perubahan sistem sosial adalah karena pengaruh-pengaruh yang datang dari mecca, maka untuk memahami nya harus mulai dari sana, dan mecca sangat cocok karena pertemuan berbagai macam orang dari seluruh dunia
Snouck Hurgronje come to Mecca
Snouck mempelajari dasar agama islam dan mulai belajar di Mecca, Snouck juga bertemu dengan komunitas-komunitas Jawi, Aceh dan beberapa komunitas masyarakat nisantara lainnya di Mecca, melalui perantara native informant Raden Aboe Bakar Djajadiningrat (from Banten), warga banten sudah banyak yang menuntut ilmu di Mecca, bahkan sampai ada yang mengajar di Meccah di haramain dan menulis buku di timur tengah dialah Syekh Nawawi Al Bantani yang dijuluki Sayyidul hijaz.
Snouck Hurgronje dalam prosesnya mempelajari islam berganti nama menjadi Abd-al-Ghaffar, pergerakan Snooch masuk melalui berbagai komunitas dan berguru kepada ulama-ulama yang dikagumi oleh orang-orang Jawi, Aceh dan daerah lain di nusantara. Islam secara ajaran sangat taat, semua adalah tentang ibadah dan pelayanan kepada Allah. Secara ajaran Islam adalah agama yang damai dan tidak ada ancaman bagi kolonial. (Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia: Selected Journal Articles of Harry J. Benda (New Haven: Yale University, 1973), pp. 86–7.
“Snouck Hurgronje’s views on the peaceful nature of Islam did not hinder him from being cautious of the political danger of Muslim fanaticism. In this regard, he pointed to pan-Islamism and local fanatics in the form of Sufi orders” ( Hurgronje, Mekka, p. 290.)
It was here, he argued, that the ground for fear lay as the Muslims translated Islam into political doctrine and movements. (Benda, Continuity and Change, p. 85. For Snouck Hurgonje’s arguments on this issue, see: C. Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam, 2nd edition (Leiden: Brill, 1915), pp. 361–91; G.H. Bosquet and J. Schacht (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: Brill, 1957); Dijk, “Colonial Fear”, pp. 55–64.
jadi pergerakan islam ini datang dari Pan-islamiyah dan bentuk dari perjalan Spiritual ?sufi yang menemukan titik perlawanan untuk melawan kezaliman atau pemerintah yang tidak menegakkan islam secara utuh. Dari pengamatan Snouck Hurgronje pelekatan gelar hadji ataupun pelabelan dengan gelar semacamnya jangan dipopulerkan pemerintah dan harus di anggap seperti biasa saja, demikian juga upaya pembatasan hadji yang dilakukan pemerintah adalah upaya penyatuan dan saling mendukung dengan berbagai kebebasan dan tidak perlu ada pelabelan dari pemerintah maupun pelarangan yang dapat memicu konflik sosial.
Snouck Hurgronje setelah mempelajari Islam melihat apa yang selama ini ditakutkan secara pandangan dari pemerintah kolonial adalah hal yang salah, rasa ketakutan dan salah dalam pandangan itulah akhirnya mengeluarkan kebijakan yang mengancam muslim dan menjadi pemicu perlawanan. Snouck menekankan islam sebagai agama yang damai tapi jangan diusik, apa yang dilihat pemerintah belanda sebagai fanatik/teroris ternyata mereka salah
"Instead of associating Islam with fanaticism, the enemy of “infidel” rule, and labeling Mecca as the center of the anti-Dutch conspiracy, Snouck Hurgronje stressed the peaceful nature of Islam"
Snouck mempelajari islam tidak berfokus hanya pada misinya dimana terkait gerakan pan islamis and sufi order tetapi lebih jauh dari itu sehingga dia tahu mana kelompok yang mengancam dan mana yang tidak, pandangannya sangat penting karena kedua kelompok tersebut sangat berkaitan di bawah naungan islam. Islam adalah amar ma'ruf dan nahi mungkar, ada kelompok yang menjaga dan memberikan amal baik dan mencegah kemungkaran tapi cara-caranya ada yang dialog, ada yang perbuatan dan ada yang dengan perlawanan keras.
Snouck hugene atau abdul gaffar sekembalinya ke indonesia sudah cukup paham dan banyak memiliki link atau jaringan eks Mekkah, link terdekatnya adalah dengan Raden Abobaker (dari keluarga dengan basic islam terpandang banten) dan Hasan Moestapa (dari penghulu Garut, jawa barat), basic jaringan dari keluarga ulama yang sudah mendapat kedudukan sosial sangat penting bagi Snouck hurgronje dalam meneliti lebih jauh perkembangan sosial muslim di nusantara. Keluarga ulama ini sudah dikenal karena juga memiliki pengikut dan pondok pesantren sebagai ikatan perkumpulan dan mendapat pengakuan oleh komunitas masyarakat tertentu.
Snouck alias abdul gafar kembali pada tanggal 18 juli 1889 setelah 4 tahun di mecca, dengan jaringan yang dimiliki selama belajar di mecca dia dapat masuk dan berkeliling ke kelompok sosial islam indie baik di jawa barat dan daerah-daerah lain seperti Ponorogo, surakarta, Yogyakarta, Madiun, magelang dan daerah-daerah lainnya. Snouck hurgronje mempelajari daerah tersebut beserta ulama-ulama terkenal dan bagaimana sistem pengajaran ulama-ulama tersebut ke santri dan kitab-kitab yang digunakan. Kedekatan snouck yang menjadi pintu masuk ke aceh adalah kedekatannya dengan Habib Abd al Rahman Al Zahir (48 Anthony Reid, “Habib Abdur-Rahman az-Zahir (1833--1896)”, Indonesia, vol. 13 (1972), pp. 36–59.) setelah keliling jawa, masuk ke aceh dengan kenalannya selama di Mecca yang berasal dari aceh tersebut dengan gampang masuk ke dalam central ulama aceh.
Snouck Hurgronje menulis buku tentang Aceh sangat lengkap dengan judul The “Atjehnese (1906) dimana dia menggambarkan: “The Acehnese, like Mekka, was a result of Snouck Hurgonje’s project of knowing Islam in the framework of the colonial agenda. In The Acehnese Snouck Hurgronje provided us with an extensive discussion on various subjects concerning the Acehnese”. Bahkan setelah selesai penelitian nya di Aceh , Snouck tetap memperhatikan perkembangan masyarakat aceh melalui link nya Mustofa yang ditunjuk sebagai kepala penghulu kutaraja Aceh, 1893. Snouck juga mempelajari antara islam yang dipelajari di Mecca dan bagaimana islam tersebut ditransfer ke dalam adat dalam sosial masyarakat, dimana dasar-dasar adat tidak dilupakan dan disejalankan dengan islam.
Buku The Acehnese (1906) translated by O’Sullivan from its Dutch original version, De Atjehers (1893-1894) diterbitkan dalam beberapa volume, antara lain:
Volume 1 mengenai sosio-political dan cultural life masyarakat Aceh seperti struktur masyarakat, acara-acara adat, sistem interaksi individu, tingkatan2, pemerintahan dan administrasi peradilan adat.
Volume ke 2 berfokus pada intelektual tradisi dan kehidupan beragama, dasar kepercayaan agama versi aceh, apa yang harus dan tidak boleh atau boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
bagaimana posisi adat dan syariah begitu juga sebaliknya, dan Aceh syariat sudah mengculture sangat dalam karena islam sudah dikenal sejak abad ke-11 dan tentu berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
“Snouck Hurgronje was firmly of the opinion that adat and Islam were two distinct and separate domains, in terms of cultural, social and political spheres. The adatIslam relationship expressed tension and conflict, as was evidenced in the then prevailing social and political relations between the uleebalang and the ulama, the holders of adat and shari‘ah respectively. This distinction, which then came to be the legacy of orientalist studies on Islam in Southeast Asia, (William R. Roff, “Islam Obscured? Some Reflections on Studies of Islam & Society in Southeast Asia”, Archipel, vol. 29, no. 1 (1985), p. 10.”
Perbedaan antara adat (uleebalang) dan ulama yang disarankan oleh Hurgronje kepada pemerintah belanda untuk mendekati salah satu pihak. Pemerintah memilih ulubalang / adat dengan adanya cikal persaingan, perbedaan dan perpecahan merupakan jalur terbaik untuk masuk dan memenangkan peperangan. Ketika melihat musuh, maka carilah kelemahannya, sebuah titik yang rawan di serang dan arahkan kesana. Ketegangan antara adat dan ulama adalah titik lemah untuk menghancurkan Aceh, ketegangna yang dipicu karena adanya perbedaan sangat mudah di serang.
saat ini mungkin antara islam adat (kelompok islam yang masih memegang tradisi budaya lokal) dan islam reformist sangat berkembang di tengah masyarakat kita, dan pemerintah akan memilih salah satunya tetapi yang menarik pihak islam adat yang dipilih pemerintah juga ternyata tidak sepaham dan terjadi perpecahan di islam adat tersebut sehingga strategi ini belum tentu berhasil di zaman sekarang, islam adat (kelompok habaib tetap menjalankan tradisi dan adat) sekaligus gagal didekati pemerintah tetapi sebagian berhasil diambil pemerintah tetapi ini belum cukup kuat untuk mengurangi perlawanan oleh kelompok islam yang merasa terzalimi. rasa kebersamaan dan senasib ini merupakan salah satu cikal bakal persatuan. Berbeda akan lebih rawan konflik dan persamaan akan gampang bersatu.
Berdasarkan penjelasan snouck, kekuatan aceh harus dipecah dahulu dengan melihat kelemahannya yaitu perbedaan antara kaum adat dan ulama, sama halnya seperti yang terjadi di padang, tetapi apabila langsung di serang antara adat dan agama akan bersatu karena mempertahankan islamnya. Pemerintah kolonial perlu mendekati pimpinan adat dan menimbulkan ketidakpercayaan ulama sehingga sulit menyatukan mereka lagi dan yang diserang fokus pada ulamanya. kelompok adat di daerah Jawa disebut penghulu di aceh ulubalang, kelompok adat juga bisa berasal dari mekkah pendidikannya jadi secara agama sebenarnya kelompok adat ini juga kelompok yang memiliki pengetahuan agama yang baik tapi dengan paham toleransi yang lebih tinggi.
Melalui tangan belanda inilah kelompok islam adat semakin berkembang di nusantara, yang pada akhirnya kelompok penghulu ini menjadi legitimasi kekuasaan masyarakat satu-satunya diakui belanda dan mendapat kedudukan sebagai pimpinan administratif dan masuk ke dalam circle priyayi yang mendapat dukungan dari belanda, di satu sisi juga bersama said oesman dari arab community, penghulu menjadi kekuatan administratif baru di daerah kolonial, yang menyuarakan islam ibadah dan menghilangkan pertentangan dengan kolonial dan menyuarakan islam sesuai dengan kepentingan kolonial.
Kolonial Partner
Pengadilan adat dan agama di bentuk di daerah kolonial, dimana pengadilan ini berdiri sejajar dengan pengadilan umum belanda tetapi fokus pada masalah sosial agama masyarakat. dan lebih banyak berhubungan ke perkawinan, perceraian, kebiasaan, warisan, agama dan donasi. sistem tersebut dibentuk pemerintah kolonial untuk mengatur masyarakat adat. Belanda melegitimasi pimpinan adat, ulama yang pro dengan memberikan kekuasaan administratif, dan menjadikan penghulu serta memiliki lembaga peradilan, kemudian lambat laun penghulu di pisahkan dari arabic influence dan islam sebagai saran dari Karel Frederick Holle (1826-1896) yang sudah meneliti hubungan islam sebelum Snouck Hurgronje. Holle melakukan modernisasi dalam sistem penghulu termasuk dalam bahasa dan tulisan yang menggunakan tulisan latin, termasuk tulisan arab yang dilatinkan (assalamualaikum wr wb adalah warisan dari Holle)
Hubungan kolonial melalui penghulu-penghulu banyak memberikan informasi atau menjadi pintu masuk ke dalam sistem sosial islam dari era sebelum hurgronje dan tidak menghubungkan status haji sebagai ulama dan memberikan status terhadap seorang yang sudah haji (gelar haji adalah warisan belanda)
“He started and succeeded in drawing the Priangan elite of penghulu into the circle of kaum menak and, in turn, the colonial domain.66 Here, Moesa is a good example to illustrate. He came from the Menak family. His father, Raden Rangga Suryadikusumah was a patih (vice regent) of Limbangan. Due to the expansion of santri culture during this period, he had pesantren learning as his first education. Like other santri, Moesa went to Mecca for the ḥajj when he was still a young boy. With these menak and santri backgrounds, Moesa became a potential native leader the Dutch searched for to fill the religious office of penghulu they had just created. Thus, in 1864 Moesa was appointed as the Chief-Penghulu of Limbangan. Hence, he not only enjoyed his career that provided an annual salary of fl900 plus an additional fl750, but he also started enjoying the menak lifestyle. He lived as a wealthy man in a beautiful house, and had an extensive network with both menak and Dutch communities”
Ketika banyak komunitas lulusan pesantren apalagi yang berasal dari sosial yang sudah terpandang, pemerintah belanda memberdayakan mereka dengan menjadi penghulu sebagai jembatan untuk mendalami islam dan mengkonstruksi kondisi sosial di tengah masyarakat, sehingga nantinya menjadi kelompok islam pro dan kelompok islam kontra, kelompok yang kontra menolak sistem belanda tersebut dan memberikan perlawanan, kelompok islam pro akan mendapat kedudukan dan memperoleh legitimasi di pemerintah maupun di dalam masyarakat sedangkan yang kontra kurang mendapat dukungan dan akan melemah jika tidak ada perubahan atau akhirnya mengikuti kelompok yang pro seperti sejarah dahulu antara penghulu dan ulama, penghulu adalah ulama yang mendapat dukungan dan diakui pemerintah serta secara gamblang pro pemerintah.
Pada masa belanda, untuk menghindari sentimen anti islam, kegiatan islam terselubung dalam kegiatan adat, misal suluk adalah sebuah tarekah atau jalan menuju Allah yang menghasilkan suatu cara-cara baik fisik, lagu, bacaan dzikir, qasidah, dalam menghayati keagungan Allah. Para sarjana sering menyembunyikan kegiatan keislaman dengan cara ini dengan mengatasnamakan kegiatan adat atau local wisdom ini seperti "Javanese literature songs" sehingga pemerintah kolonial masih bisa mentolerir hal tersebut. beberapa Jejak lokal karya ilmiah dari sumatera yang terekam dalam publikasi ilmiah belanda antara lain published his Syair Abdul Muluk in the Dutch journal Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1847: 285-526), while Eliza Netscher, the Dutch resident in Tanjung Pinang (1861-1870), published his well-known Gurindam Dua Belas in Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap (1854: 108-270).
Pada awal abad ke-20, dengan semakin berkembangnya kebutuhan pemerintah Hindia Belanda akan birokrasi pribumi, orang-orang awan di luar trah darah biru mulai mendapat kesempatan untuk mencapai jabatan administratif tertentu dalam birokrasi pemerintahan, melalui jalur pendidikan dan kemampuan berbahasa Belanda. Jabatan juru tulis, jaksa, petugas pajak, guru, dan mantri umumnya dapat ditempati setelah mereka lulus pendidikan. Namun tetap terdapat pembatasan tak resmi untuk jabatan birokrasi tinggi seperti bupati, dimana tidak saja mempertimbangkan kecakapan dan ijazah resmi melainkan juga harus dari kalangan berdarah biru. Golongan priyayi dengan demikian berkembang menjadi dua lapisan, yaitu golongan priyayi tinggi (keturunan ningrat) dan priyayi rendah (priyayi sekolahan).
Penghulu, politik Kolonial
Dalam sejarah kerajaan islam, raja atau pemimpin negara dibantu oleh tiga pimpinan utama nya sebagai birokrat di bawah raja yaitu Patih (perdana menteri), adipati (pemimpin militer), Penghulu (pemimpin agama). misal pada masa pemerintahan raden patah, ia menunjuk pangeran bonang menjadi penghulu (pemimpin agama). sekarang penghulu hanya kita kenal sebagai pejabat KUA untuk urusan pernikahan. padahal dahulu di masa kerajaan (vorstenlanden) dan kolonial (gouvernemen standen) penghulu memiliki kedudukan tinggi dan terhormat. istilah penghulu atau kepala agama, atau kepala keyakinan atau disebut juga kepala adat karena tradisi dan adat keyakinan serta agama merupakan bagian penting dari sosial masyarakat. Hubungan islam yang sudah menyatu dengan adat dan warga, maka penghulu adalah kepala adat sekaligus kepala agama.
Kata penghulu turun derajat karena banyak faktor salah satunya adalah politik pemerintah kolonial dalam mengakuisisi penghulu sebagai jabatan birokrasi nya. Bagaimana pemerintah kolonial memainkan peran penghulu yang tadinya mulia kemudian sebagai pemimpin agama yang memiliki legalitas, tetapi derajatnya semakin turun karena kesadaran masyarakat bagaimana peran penghulu yang semakin lama semakin merosot dan malah menjadi budaknya pemerintah kolonial. setelah masuk ke pemerintahan maka peran penghulu semakin goyah, dan ulama serta kyai yang independen akan selalu mendapat tempat di masyarakat. Perkembangan kyai dan ulama independent berada diluar jangkauan pemerintah kolonial
Pada tahun 1835, pemerintah Belanda mengeluarkan Raad Agama yang dibuat oleh Adviseur voor Inland, di antaranya oleh Said Usman bin Aqil. Raad Agama menyebabkan Penghulu dihadapkan kepada persoalan-persoalan berat dan baru, yang menghendaki pengetahuan luar serta pendidikan sempurna dalam ilmu dan hukum Islam. Pada tahun 1870 an status dan kedudukan penghulu semakin tidak jelas. Banyak keputusan penghulu yang dianulir oleh landraad, dan landraad pun kemudian harus memutuskan terlebih dahulu apakah suatu kasus akan disidangkan oleh pengadilan Islam atau pengadilan negeri. rusaknya istilah penghulu sejak belanda mendirikan pengadilan agama atau priesterraad di jawa dan madura tahun 1882 dengan dikeluarkannya staatsblad hindia belanda no. 152. Snouck mengkritik hal ini karena istilah tersebut tidak ada dalam masyarakat islam, lalu menempatkan penghulu sebagai pimpinannya dan dalam kegiatan operasional tidak ada dana operasional sehingga dana ini hanya diambil dari sedekah, biaya-biaya pernikahan, ataupun dari kasus-kasus yang mereka tangani, tanpa sumber dana yang baik administrasi akan menjadi semakin kacau balau. dan perkara-perkara akan semakin tidak adil sehingga masyarakat menjadi tidak percaya dan menganggap penghulu sebagai tukang untuk pernikahan dan diberi amplop. istilah penghulu akan semakin terjerumus
Masuknya penghulu dalam administrasi kolonial, maka fungsi penghulu telah berubah dari institusi administrasi pribumi tradisional menjadi setengah birokrasi kolonial. Kondisi ini karena terjadi perubahan dari tanggung jawab personal menjadi tanggung jawab kolektif. dari tradisional ke birokrasi administrasi modern, dan dari institusi pribumi menjadi setengahnya birokrasi kolonial. Salah satu dari konsekuensi perubahan ini adalah adanya sistem rekrutmen dan prosedur promosi jabatan.
Pada awal abad keduapuluh hampir semua penguiu yang bekerja pada pemerintah kolonial dipilih dari penghulu masjid atau kaum, termasuk kepala raad agama. Pada dekade kedua abad keduapuluh proses privatisasi penghulu yang dilakukan oleh pemerintah Belanda sudah lengkap. Meskipun berada di bawah pemerintah Belanda secara penuh, penghulu tetap menunjukan sikap idealis dalam membela kemaslahatan masyarakat. Usaha yang paling keras adalah menentang hukum adat dan gerakan misionaris Kristen, yang juga banyak berhubungan dengan secara langsung dengan penghulu. Dalam konsep hukum adat yang dipelopori oleh van Vollen Hoven dan menjadi satu aliran penting di Universitas Leiden, diinterpretasikan bahwa hukum adat terdiri dari dua bagian, kebiasaan pribumi dan bagian dari hukum Islam.
Interpretasi ini mempengaruhi para pembuat keputusan di Hindia Belanda yang kemudian mengeluarkan peraturan staatsblad no 116 pada 19 Januari 1937 tentang penerapan hukum adat. Peraturan ini mengandung implikasi politis salah satunya adalah memindahkan otoritas mengadili perkara warisan dari raad agama kepada landraad. Akibatnya, penghulu hanya mempunyai kewenangan untuk mengurus soal-soal pernikahan, perceraian, dan rujuk.
Masalah hukum adat ini menjadi polemik yang hangat di kalangan kaum pergerakan. Sarekat Islam mengeluarkan mosi pada tahun 1934, terdapat mosi dari Kongres Al-Islam tahun 1939, dan kongres Majelis Islam al-A’la Indonesia (MIAI) tahun 1940 menyuarakan hal yang sama. Bahkan, penghulu, untuk pertama kali dalam sejarah hubungan penghulu dengan pemerintah kolonial, melakukan protes kepada pemerintah kolonial melalui Perhimpunan Penghuni dan Pegawainya (PPDP). Penolakan kaum modernis terhadap kebijakan hukum adat ini berdasarkan asumsi bahwa kebijakan hukum adat dapat melanggengkan status quo yang bertentangan dengan kemajuan. Sedangkan penghulu mengajukan empat alasan untuk menghilangkan peraturan no 116 tahun 1937 tersebut
Pertama, bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak konsisten yang berubah sesuai dengan perubahan masyarakat; sedangkan hukum Islam itu tetap dan tidak berubah. Oleh karena itu, hukum islam tidak bisa diposisikan bersama dengan hukum adat.
Kedua,penerapan peraturan tersebut bukannya membantu raad agama tetapi malah membukanya dengan cara mengurangi uang pemasukan.
Ketiga, penghulu sudah dianggap oleh masyarakat selama ini sebagai kepala agama, penghilangannya berarti menjadi masalah agama.
Keempat, pembagian warisan menurut faraid sudah menjadi tradisi masyarakat muslim sejak lama untuk menjalankan syari’at. Jika digantikan dengan hukum adat, maka hal itu akan merubah agama. walaupun hukum tersebut tidak dicabut oleh pemerintah kolonial, tapi di sebagian wilayah, perkara pembagian warisan tetap diputuskan di raad ngama (pengadilan agama), bukan landraad.
Penghulu berusaha meminimalisasi Kristenisasi dengan memanfaatkan perannya sebagai kepala raad agama khususnya tugasnya dalam menikahkan dan memberi nasihat pernikahan. Penghulu dan staf administrasi agama sampai ke desa, berusaha mengislamkan pasangan pengantin yang non Muslim-berkompetisi dengan pihak gereja yang juga melakukan hal yang sama’
Cara lain yang dilakukan penghulu adalah mendirikan sekolah yang bisa menyaingi sekolah Kristen, menerbitkan tulisan-tulisan yang cukup keras di surat kabar Damai (surat kabar yang diterbitkan oleh PPdP). Bahkan pada tahun 1934 di sragen, penghulu landraad mendirikan Komite Pembela Islam untuk menjawab “serangan” yang mendiskreditkan Islam dari pihak Kristen.
Penghulu pada Masa Jepang
Pada awal pendudukannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibukota dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dengan nama Shumuka. Pada awalnya, badan ini diketuai oleh seorang Jepang bernama Horie (1942), kemudian digantikan oleh Husein Djajadiningrat, dan kemudian K.H. Hasyim Asy’ari (1944). Seluruh kegiatan penghulu berada di bawah Shumubu. Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain sebagainya.
Terdapat dua perbedaan kebijakan Belanda dengan Jepang terhadap Islam. Pertama, pada masa penjajahan Belanda, yang menjadi sandaran politik kolonial adalah kaum priyayi, sedangkan pada masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler. Kedua, pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memberi angin kepada golongan Islam, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya. Pemerintah Jepang meningkatkan posisi Islam baik dalam bidang sosial-religius maupun dalam bidang politik.
Pada 3 Januari 1946, pemerintah merdeka Indonesia membentuk Departemen Agama Republik Indonesia. Sejak saat itu, penghulu menjadi bagian dalam struktur Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, yakni sub direktorat kepenghuluan. Tugasnya adalah menyelenggarakan bimbingan kepada masyarakat di bidang nikahan, talak, cerai, dan rujuk (NTCR).
Untuk menyelenggarakan tugas itu, sub direktorat kepenghuluan mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
Menghimpun, menganalisis peraturan perundang-undangan di bidang NTCR.
Merumuskan pemberian bimbingan di bidang NTCR.
Merencanakan dan mendistribusikan sarana NTCR.
Melaksanakan pengendalian NTCR.
Pada unit kecamatan, penghulu bertugas dalam Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam bertugas di wilayah yang luas, penghulu dibantu oleh petugas desa yang mencatat dan melaporkan pelaksanaan di bidang NTCR.
Pada titik ini terlihat jelas perbedaan peran penghulu pada masa sebelumnya, dan masa sekarang. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penghulu Indonesia mempunyai peran penting dalam sejarah bangsa ini. ketika era penghulu turun di ganti dengan kalangan priyayi, tetapi posisi ulama atau kyai yang netral masih dihormati karena ilmu agamanya yang tinggi dan baik penghulu maupun kyai juga paham hal tersebut
Said oesman and the arabs
Born in Pekojan, an Arab ghetto the Dutch created in Batavia, Said Oesman (Sayyid ‘Uthmān ibn ‘Abd Allāh ibn ‘Aqīl ibn Yaḥyā al-‘Alawī) grew up in a religiously educated family. Al-Miṣrī, his grandfather, was a respected ‘ālim in Batavia and took care of the young Oesman when His father returned to Mecca. When al-Miṣrī died in 1847, Said Oesman, then eighteen years old, went to Arabia to continue his studies. ‘Abd alGānī Bīmā and Aḥmad Zainī Daḥlān were among his teachers in Mecca. He also traveled to other countries in the Middle East, North Africa
said oesman terkenal setelah tulisannya mengenai Naqsabandiyah sufi perintah (Elegant Advice for Adherents of the Ṭarīqa, Batavia 1883) dan holle seorang akademisi belanda tertarik dengan tulisan tersebut dan mempekerjakan Said osman sebagai bagian dari pemerintah kolonial. setelah kedatangan Snouck Hurgronje, dan dikenalkan oleh van der chijs in the hijaz said osman menjadi akademisi yang bekerja untuk pemerintahan kolonial, dengan latar belakang alim , penghulu dan kyai serta masyarakat hadrami yang terus berkembang di nusantara, said oesman menjadi potensial dalam penelitian islam di nusantara sampai akhirnya said osman ditunjuk sebagai the honorary advisor on Arab Affairs.
Sebagai intelektual hadrami yang bekerja untuk pemerintah belanda, maka said oesman memegang dua peranan, yaitu apa yang diteliti tentang muslim sangat kuat karena dia merupakan bagian dari community tersebut, dan legalitas serta perlakuan belanda yang menunjang materi dan kedudukan di negeri kolonial membuat said oesman dimanfaatkan belanda untuk kepentingan belanda. Said oesman juga menjadi penasehat dalam urusan relasi agama sosial masyarakat. Dia juga menjadi sumber informasi tentang hadrami community, dan membahas mengenai gerakan yang membahayakan dan yang tidak.
Ketika perang banten dan perang jihad, said oesman malah mengkritik hal tersebut salah dan bid'ah, perpecahan di tubuh ulama , ulama yang pro dan yang kontra dalam pemerintah kolonial belanda, bahkan menyatakan bahwa ulama yang menentang adalah ulama yang bodoh perang banten adalah kebodohan pimpinan dari ulamanya dengan berbagai argumen yang diberikan , bahwa ajaran jihad yang seperti disuarakan dalam perang banten adalah ajaran bid'ah. Said oesman masih memiliki peran sebagai ulama hadrami membuat dia masih dihargai, bahkan pemerintah belanda memberikan legal pimpinan agama kepadanya dengan mengangkatnya menjadi mufti batavia tahun 1897.
Salah satu kebodohan sebagai bagian dari pemerintah adalah memimpin doa pada saat pelantikan ratu victoria Wilhelmina sebagai ratu tanggal 31 agustus 1889 sebagai perwakilan muslim kolonial di indies dan memprovokasi dan membacakan doa untuk ratu belanda tersebut di masjid pekojan pada jumat 2 september 1898, membuat copy doa tersebut lalu didistribusikan untuk sholat jumat di jawa dan madura. hal ini tentu mengundang reaksi keras dari umat muslim, tapi pemerintah belanda suka dan memberikan penghargaan sebagai member of the Order of the Netherlands lion. protes keras datang dari fragment muslim termasuk dari kalangan hadrami sendiri
akan selalu ada reformist dan traditional
di era belanda reformist identik dengan mereka yang terpelajar menempuh pendidikan di sekolah belanda atau di luar negeri, tapi tetap ada kalangan tradisional yang tidak melakukan itu
dalam sektor agama reformist mereka yang menuntut ilmu agama di luar negeri dan pulang membawa pembaharuan sedangkan traditional tetap pada ajaran nenek moyangnya
Daftar Pustaka
Alfian, T. Ibrahim, Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Andaya, Barbara Watson and Virginia Matheson, “Islamic Thought and
Malay Tradition: the Writings of Raja Ali Haji of Riau (ca. 1809-ca.
1870)”, in Perceptions of the Past in Southeast Asia, ed. by David Marr
and Anthony Reid, Singapore: Heinemann Educational Books, 1979.
Azra, Azyumardi, “A Hadrami Religious Scholar in Indonesia: Sayyid
‘Uthmān”, in Hadrami Traders, Scholars and Statements in the Ocean,
1750s-1960s, ed. by Ulrike Freitag and William G. Clarence-Smith,
Leiden: Brill, 1997.
Bakar, Abu (ed.), Surat-Surat Penting: Tuanku Hasyim Bangta Muda, Teungku
Chi di Tiro, dan Teuku Umar pada Masa Perang Kolonial Belanda di Aceh,
Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1978.
Benda, Harry J., Continuity and Change in Southeast Asia: Selected Journal Articles
of Harry J. Benda, New Haven: Yale University, 1973.
----, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese
Occupation 1942-1945, The Hague: van Hoeve, 1983.
Boland, B.J. and I. Farjon, Islam in Indonesia: a Bibliographical Survey 1600-
1942 with post-1945 Addenda, Doordrecht: Foris Publication, 1983.
Bosquet, G.H. and J. Schacht (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje,
Leiden: Brill, 1957.
Burhanudin, Jajat (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: GramediaPPIM UIN Jakarta, 2002.
Dijk, Kees van, “Colonial Fear: the Netherlands Indies and Malay
Peninsula 1890-1918: Pan-Islamism and the Germano-Indian Plot”,
in Transcending borders: Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia,
ed. by H. de Jonge and N. Kaptein, Leiden: KITLV Press, 2002.
----, “From Head to Toe: Dress, Script, Culture and Identity”, presented
at the International Workshop on Southeast Asian Studies: Script
as Identity Marker in Southeast Asia, Jakarta, 2004.
Drewes, G.W.J., “Snouck Hurgronje and the Study of Islam”, Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 113, 1957, pp. 1–15 [doi:
10.1163/22134379-90002300].
Florida, Nancy K., Writing the Past, Inscribing the Future: the History of Prophecy
The Dutch Colonial Policy on Islam
in Colonial Java, Durham: Duke University Press, 1995.
Frijling, W., De Voornaamte Gebeurtenissen in het Begin van de 2de AtjehExpeditie, Door Atjehers Beschrieven, vol. 2, 1912.
Gobée, E. and C. Adriaanse (eds.), Ambtelijke Adviezen van C. Snouck
Hurgronje 1889-1936, The Hague: Nijhoff, 1957.
Hisyam, Muhammad, Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under
the Dutch Colonial Administration, Jakarta: INIS, 2001.
Hurgronje, C. Snouck, The Achehnese, trans. by A.W.S. O’Sullivan, Leiden:
Brill, 1906.
----, Nederland en de Islam, 2nd edition, Leiden: Brill, 1915.
----, Verspreide Geschriften, Den Haag: Nijhoff, 1924.
----, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, Leiden: E.J. Brill, 1931.
Jahroni, Jajang, “The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Moestafa
(1852-1930)”, Master’s Thesis, Leiden: Leiden University, 1999.
Jakub, Ismail, Teungku Tjhik Dhi-Tiro (Muhammad Saman): Pahlawan Besar
dalam Perang Aceh (1881-1891), Jakarta: Bulan Bintang, 1960.
Jaspan, M.A., “In Quest of New Law: The Perplexity of Legal Syncretism
in Indonesia”, Comparative Studies in Society and History, vol. 7, no. 3,
1965, pp. 252–66 [doi: 10.1017/S0010417500003674].
Jong, Huub de, “Dutch Colonial Policy Pertaining to Hadrami Imigrants”,
in Hadrami Traders, Scholars and Statements in the Ocean, 1750s-1960s, ed.
by Ulrike Freitag and William G. Clarence-Smith, Leiden: Brill, 1997.
Kaptein, N.J.G., “The Sayyid and the Queen: Sayyid ‘Uthmān on Queen
Wilhelmina’s Inauguration on the Throne of the Netherlands in
1898”, Journal of Islamic Studies, vol. 9, no. 2, 1998, pp. 158–77 [doi:
10.1093/jis/9.2.158].
Kartini, Tini, Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustafa, Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1985.
Kartodirdjo, Sartono, The Peasant Revolt of Banten in 1888: Its Conditions,
Courses, and Sequel, The Hague: Martinus Nijhoff, 1966.
----, Elite dalam Perspektif Sejarah, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1983.
Knysh, Alexander, “The Cult of Saint and Religious Reformism in
Hadramaut”, in Hadrami Traders, Scholars and Statements in the Ocean,
56 Al-Jāmi‘ah, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H
Jajat Burhanudin
1750s-1960s, Leiden: Brill, 1997.
Koningsveld, P. Sj. van, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang
Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, 1st edition, Jakarta:
Girimukti Pasaka, 1989.
Laffan, Michael F., “Raden Aboe Bakar: An Introductory Note
Concerning Snouck Hurgronje’s Informant in Jeddah (1884-1912)”,
Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, vol. 155, no. 4, 1999, pp.
517–42 [doi: 10.1163/22134379-90003860].
----, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds,
London: Taylor & Francis, 2003.
Lubis, Nina H., Kehidupan Kaum Ménak Priangan, 1800-1942, Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.
----, “Religious Thought and Practices of the Kaum Menak:
Strengthening Traditional Power”, Studia Islamika, vol. 10, no. 2,
2003 [doi: 10.15408/sdi.v10i2.629].
Mandal, Sumit Kumar, “Finding Their Place: A History of the Arabs in
Java under Dutch Rule, 1800-1924”, Ph.D. Dissertation, Columbia
University, 1994.
Matheson, Virginia, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century Islamic
Centre of Riau”, Archipel, vol. 37, no. 1, 1989, pp. 153–72 [doi:
10.3406/arch.1989.2567].
Mobini-Kesheh, N., The Hadrami Awakening: Community and Identity in the
Netherlands East Indies, 1900-1942, Ithaca: Southeast Asia Program
Publications, Cornell University, 1999.
Moriyama, Mikihiro, “A New Spirit: Sundanese Publishing and the
Changing Configuration of Writing in Nineteenth Century West
Java”, Ph.D. Thesis, Leiden University, 2003.
Palawa, Alimuddin Hassan, “The Penyengat School: A Review of the
Intellectual Tradition in the Malay-Riau Kingdom”, Studia Islamika,
vol. 10, no. 3, 2003.
Pigeaud, G. Th., Literature of Java, The Hague: Martinus Nijhoff, 1967.
Pijper, G.F., Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia, 1900-1950,
Jakarta: UI-Press, 1984.
Putten, Jan van der and Al-Azhar (eds.), Di Dalam Berkekalan Persahabatan:
Letters from Raja Ali Haji, Leiden: Department of Languages and
Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, 1995.
57 Al-Jāmi‘ah, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H
The Dutch Colonial Policy on Islam
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1966.
Reid, Anthony, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands, and
Britain, 1858-1898, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969.
----, “Habib Abdur-Rahman az-Zahir (1833--1896)”, Indonesia, vol. 13,
1972, pp. 37–60.
Roff, William R., “Islam Obscured? Some Reflections on Studies of Islam
& Society in Southeast Asia”, Archipel, vol. 29, no. 1, 1985, pp. 7–34
[doi: 10.3406/arch.1985.2215].
Ronkel, Ph. S. van, “Aanteekeningen over Islam en Folklore in West- en
Midden-Java: uit het Reisjournal van Dr. C. Snouck Hurgronje”,
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 101, 1942 [doi:
10.1163/22134379-90001256].
Rosidi, A., “Menjejaki Karya-Karya Haji Hasan Mustapa”, in Warisan
Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-Karya Klasik, ed. by Ahmad
Rifa’i Hasan, Bandung: Mizan, 1987.
Said, Edward, Orientalism: Western Conceptions of the Orient, revised edition,
London: Penguin, 1995.
Schmidt, J., Through the Legation Window, 1876-1926: Four Essays on Dutch,
Dutch-Indian and Ottoman History, Istanbul: Nederlands HistorischArchaeologisch Instituut te Istanbul, 1992.
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1983.
Solomon, Wendy, “Text and Personality: Ajip Rosidi in Search of Haji
Hasan Mustapa”, Indonesia Circle, vol. 14, no. 41, 1986, pp. 11–27
[doi: 10.1080/03062848608729648].
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
----, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950,
Amsterdam: Atlanta GA, 1993.
Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda: het Kantoor voot Inlandsche
Zaken, 1899-1942, Jakarta: LP3ES, 1985.
Tsuchiya, Kenji, “Javanology and the Age of Ranggawarsita: An
Introduction to the Nineteenth Century Javanese Culture”, in Reading
Southeast Asia, ed. by Audrey Kahin, Ithaca: Southeast Asia Program
Cornell University, 1990.
Uhlenbeck, E.M., A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and
58 Al-Jāmi‘ah, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H
Jajat Burhanudin
Madura, ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1964.
Veer, Paul van ’t, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta:
Grafitipers, 1985.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. by J. Milton Cowan,
Beirut: Librairie du Liban, 1974.
Wertheim, W.F., “Counter-Insurgency Research at the Turn of the
Century: Snouck Hurgronje and the Acheh War”, Sociologische Gids,
vol. 19, 1972, pp. 320–8.