Jumat, 21 Oktober 2022

Epistemology dan Berpikir filosofi

 Materi 1 Tanggal 21 Oktober 2022


Epistemology

(Prof Gaby)


Kebijakan Public

lulus dengan gelar doctor of filosofi (maksudnya memahami ilmu secara filosofis) apa yang ada di balik itu?


Problematis yang bersifat reflektif adalah objek atau penalarannya ada di luar kita, apa yang ada di dalam tersebut problem diluar.  Berpikir dengan penuh pertimbangan dan  penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang khas.

Problematis yang bersifat refleksi adalah nalar seseorang dalam diri dan pikiran, misal apa itu korupsi menurut individu (konstruksi nalar). pemahaman mengenai objek yang dikonstruksi individu ataupun kelompok masyarakat atau budaya tertentu. pengertian syariat dan umum, pengertian penjagaan nilai pra nilai. setiap kelompok menilai refleksi sebuah konsep dengan pemikirannya masing-masing.

Ketika Thomas Dye mengartikan kebijakan sebagai apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah, maka pernyataan ini perlu di dekonstruksi maksudnya apa? pemahaman tersebut perlu di bongkar sampai pada maksud pernyataan tersebut apa?


(nalar filosofis, meta theory)


Model Berpikir dari yang simpel sampai kompleks:

  1. Menghafal, mengambil informasi / pengetahuan yang telah direkam sebelumnya. Menghafal adalah kegiatan berpikir yang paling sederhana.

  2. Pemikiran intuitif, kemampuan untuk mengambil apa yang Anda rasakan atau rasakan sebagai kenyataan dan, tanpa pengetahuan atau bukti, secara tepat dijadikan keputusan akhir.

  3. Pemikiran inovatif, Menghasilkan ide-ide baru atau cara-cara baru untuk menciptakan kemungkinan dan peluang.

  4. Pemikiran konseptual, Kemampuan untuk menemukan koneksi atau pola antara ide-ide abstrak kemudian mengumpulkannya untuk membentuk gambaran yang lengkap.

  5. Pemikiran implementasi, Kemampuan untuk mengorganisasikan ide dan rencana dengan cara yang dilakukan secara efektif.

  6. Berpikir kritis, Proses mental untuk menganalisis situasi secara objektif dengan mengumpulkan informasi dari semua sumber yang mungkin, dan kemudian mengevaluasi aspek yang nyata dan tidak berwujud, serta implikasi dari setiap tindakan.

Novelty:

  1. Paradigma (kontribusi teoritis)

  2. Novelty konseptual (abstraksi realitas) terhadap realitas sama. contoh pengkategorian priyayi, abangan dan santri

  3. .


ontology–epistemology–methodology–aksiologi

Norman Mayer mengatakan kita bergerak nilai publik, apa itu?

aspek substantif sering tidak bertemu dengan aspek prosedural, aspek prosedural bersifat menjaga sesuai nilai publik

Aspek2 rasional atau aspek emosional/relasional?


Question, epistemologis?

  1. apa itu pengetahuan?konsep dan teori?

  2. bagaimana pengetahuan diperoleh?

  3. apakah orang berpikir atau bisa berpikir sama dengan pengetahuan yang kita peroleh?

  4. apa syarat dan kecukupan informasi?

  5. apa struktur dan batasannya?

  6. apa yang membuat kita menilai, justifikasi kita atau sosial?

  7. bagaimana kita memahami dan orang memahami?


Pengetahuan adalah kepercayaan menilai/mengadili dengan dasar bukti dan proses reliability. Berawal dari data yaitu hasil empiris murni yang kemudian data diolah menjadi informasi, informasi dikelola menjadi pengetahuan dan pengetahuan menjadi wisdom.

proses : menjembatani apa yang anda yakini dan meyakinkan orang lain (bagaimana meyakinkan semua orang?bukankah itu kenaifan? terutama di era saat ini? orang pertama yang harus anda yakinkan untuk percaya  adalah anda sendiri, terus dibuktikan benar atau salah dan buatlah menjadi confident dan menutup semua celah yang mungkin akan di kritik oleh orang lain


Reference Book : 

Robert Audi : Epistemology (a Contemporary Introduction To The Theory of Knowledge)

Gary King, Robert O Keohane, Sidney Verba : Designing Social Inquiry (Scientific Inference In Quality Research)


Apa itu Hipotesis? atau sering disebut believe/claim/tesis

Hipotesis adalah dugaan dari kepercayaan kita mengenai suatu hal?apa yang kita percayai?

dan apa yang kita percayai perlu dibuktikan dan dapat dipercaya oleh orang lain itulah inti penelitian

anda butuh konsep untuk berteori, hubungan sebab akibat

kesimpulan adalah implikasi dari metode, eksplistikan dan buka metode..metode menjadi alat komunikasi


Two ways:

  1. Deontological = kemurnian data/informasi = informational belief

true belief : berdasarkan pengalaman sensorik, sensor anda harus berjalan normal. (panca indra empirik)

  1. non-deontological justification = reliability/cognitive process: perception, memory, introspection, reason, and testimony


“ketika semua orang tidak memperdebatkan lagi maka dia akan menjadi hukum”


Beliefe turun temurun dari masa lalu menjadi sebuah nasehat, anjuran atau nilai yang harus di taati atau sering kita kenal juga sebagai superstition (tahayul/local wisdom) atau non rasional , seperti merasakan tetapi belum terbuktikan dengan kemampuan saat ini. Rasionalisasi yang berkembang diterima begitu saja sehingga menjadi local wisdom sehingga perlu dikonsepkan, misal superstition/wisdom (ketika gali sumur wanita tidak boleh dekat-dekat) padahal setelah diteliti ternyata kenapa wanita tidak boleh dekat karena apabila sedang gali sumur maka dalaman wanita dapat terlihat dari bawah dan niatnya adalah menjaga, ketika orang tidak boleh bertanya maka orang berpikir tanpa bertanya sehingga akhirnya menebak-nebak dan yang dikonfirm juga mengiyakan karena menyembunyikan maksud sehingga akhriya menjadi sebuah nasehat diwilayah tertentu seperti itu.


Memisahkan otoritas sekuler dan otoritas agama

Ketika galileo menyatakan argument dan bukti yang dimilikinya bahwa pusat tata surya adalah matahari sementara ajaran gereja waktu itu mengatakan bahwa pusat tata surya ada di bumi, karena bertentangan dengan ajaran gereja maka galileo dihukum dibakar karena menentang ajaran religi. sehingga pemahaman konsep agama dan pengetahuan perlu dipisahkan. 

Pendapat Thomas Kuhn adalah falsifikasi, yaitu membuktikan dimana letak kesalahan argumennya?silahkan di buktikan jika saya salah?


Justifikasi : proses akumulatif secara terus menerus

dalam praktek secara epistemologis proses untuk membuktikan justifikasi dapat melalui proses deontologi dan non deontologi justification. Deontologis adlaah realitas kepercayaan ada pada nalar pribadi sehingga tinggal menuliskan. Non deontologis adalah proses berpikir (persepsi= melihat dengan keseluruhan atau kombinasi seluruh panca indera atau input atas sebuah objek), (memori = mengingat), introspection, reason dan testimony


sofistikasi adalah berbicara tentang abstraksi / reflesi, fenomena di gambarkan secara softifikasi yang kita refleksikan harus punya substansi yang jelas. maksud sofistikasi ini bagaimana kata-kata menarik menjelaskan sebuah hal sehingga memberika gambaran yang lebih dalam dan menarik.

Misal: korupsi di instansi Bea Cukai tinggi  (abstraksi), substansinya adalah banyak data  substansi yang menunjukkan pejabat dari eselon 1 sampai pelaksana cs nya terlibat korupsi


bab 1 : substansi dan sofistikasi

budaya culture, memberi dan berterima kasih adalah lumrah, kemudian ada konsep korupsi yang mengubah budaya tersebut, apa yang salah, birokrasi memiliki budaya sendiri

tetapi dalam kehidupan sehari-hari 


Pengetahuan apriori : keyakinan pengetahuan yang bersumber dari sensorik kita, misal orang dipukul pasti sakit sesuai dengan apa yang pernah kita rasakan


Pengetahuan a posteriori : setelah berinteraksi dapat disimpulkan pengetahuan


komunitas epistemik, mengundang berbeda-beda dengan cara berpikir yang sama pada umumnya tiap komunitas

bab 2 : belanja semua teori dan didialogkan antara teori bukan sekedar teori disampaikan

tantangan justifikasi

Pengetahuan adalah justifikasi yang kita percaya  (falsifikasi dan justifikasi oleh orang lain)

  • Interaksi antara subjek dan objek (kita subjek peneliti, membahas mengenai objek apakah justifikasi kita sesuai?) objek juga dapat mempengaruhi. dalam ilmu sosial objek sendiri adalah subjek karena individu adalah sosial (efek Hawthorne- orang ketika di teliti maka dia akan berubah). perhatikan sensitif terhadap bahasa tubuh

  • proses kognitif kausal (menghubungkan subjek dengan objek)--epistemologis harus jelas dahulu baru ke methodology

  • Fallibility dan skepticism


sistem demokrasi menghambat pembangunan (1970) teori , kemudian di kualifikasi menghambat hanya untuk negara terbelakang dan sistem otoriter pada awal pembangunan baik untuk negara-negara berkembang. kemudian tahun 1990 berkembang demokrasi parlementer dan demokrasi presidensial. lalu muncul lagi teori veto player, berapa banyak pemain dalam sistem pengambil keputusan bukan sistem parlementer atau presidensial


sama berangkat dari teori demokrasi tapi di modifikasi teori tersebut, diperjelas dan diperdalam



Tambahan Materi

I. Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat

Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha manusia di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan tugasnya dengan bertitik tolak pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:

  1. Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir. Meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud dapat dikategorikan sebagai berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama-tama harus bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan, atau imajinasi belaka. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat diterima secara akal sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense (pikiran umum). Ciri pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.

Pemikiran kritis filosofis memiliki dua aspek, yaitu kritis (critics) dan krisis (crysis). Berpikir kritis (critics) artinya, berpikir bukan untuk sekedar menerima kenyataan atau menyesuaikan diri dengan kenyataan pemikiran atau pandangan orang (termasuk dalamnya dogma atau ajaran-ajaran, keyakinan, dan ideologi apapun) sebagaimana apa adanya. Justru, inti dari ciri pemikiran filsafat yang kritis (critics) ini adalah berpikir dalam rangka mengkritik, meragukan, dan mempertanyakan segala sesuatu, sampai mencari dan mendapatkan dasar-dasar pertanggungjawaban intelektual atau argumentasi-argumentasi yang mendasarnya yang tidak mungkin dapat diragukan atau dipertanyakan lagi oleh siapa pun dan kapan pun. Filsafat, dengan pemikiran kritis (rasio kritis)-nya ini, ingin melakukan pengkajian, penelitian secara mendalam guna dapat menemukan inti pemikiran atau kebenaran sesungguhnya yang dicari. Filsafat, dalam hal ini, tidak menolak kesalahan tetapi mempertanyakan mengapa orang bisa melakukan kesalahan dalam berpikir?. Immanuel Kant yang terkenal sebagai bapak filsuf kritis menyebut rasio kritis ini sebagai “kritik rasio murni” (Critical ratio vernon). Pemikiran filsafat yang berciri “rasio kritis” ini, tidak ingin terjebak di dalam sebuah pemikiran yang umum (common sence), juga tidak ingin terjebak di dalam kesesatan, kekeliruan, atau kesalahan berpikir (baik dalam proses berpikir maupun dalam menarik kesimpulan-kesimpulan pemikiran) yang tersembunyi di dalam sistem pemikiran atau sistim keyakinan. Ciri pemikiran filsafat tersebut, oleh oleh Plato, disebut sebagai berpikir dialogis atau oleh Rene Descartes disebut berpikir dengan metode “keraguan kritis” yang dengannya, orang tidak diperdaya oleh kekeliruan atau kesalahan umum.

  1. Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crysis. Menurut Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis (penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang cenderung mendistorsi akal sehat manusia.

  2. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggungjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha meletakkan dasar dan strategi bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.

  3. kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang melanggengkan atau membandingkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku dan statis. Justru, ia selalu berusaha membangun ketajaman budi untuk mampu mengeluarkan diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.

  4. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreativitas budi secara serampangan (sporadis). Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi) melalui sistem-sistem penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir yang tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.

  5. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan eksistensisal yang khas manusiawi.

  6. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-per bagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sektoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.

  7. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkauan indera manusia untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentuk –bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk semakin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan “menjelaskan”. Pemikiran abstrak berusaha mengangkat pikiran pada tataran kemampuan berimajinasi, membangun koherensi, dan korelasi secara utuh dan terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan sempurna.

  8. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi ke taraf pemahaman dan penalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan (kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara luas dalam berbagai khazanah pemikiran yang beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang ada. Berpikir secara filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannyadalam berbagai aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.

  9. Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh pertimbangan dan  penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang khas.

  10. Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan hakikat pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian  pemikiran itu sendiri. Maksudnya, pemikiran dan segala anak anaknya, baik dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan sebuah pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia, bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggung jawab kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggung jawab manusiawi. Inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses berpikir maupun penerapan hasil pikiran itu sendiri.

  11. Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa pikiran bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap  pemikiran filsafat, selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup manusia secara nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir dan cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun sebuah struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah pemikiran yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggung jawab budaya maupun sosial kemasyarakatannya.

  12. Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud menunjukkan bahwa pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran selalu mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi eksistensial. Pikiran itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena eksistensi, dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi kodrat eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial, mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam rangka pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.

  13. Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk menajamkan kepekaan diri, ketajaman batin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelemahan, dan kesadaran otodidak dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan mampu menasehati dan membimbing diri (menangani diri) dengan penuh kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melakukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi “kekuatan serba oke”, yang secara buta menukangi aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif membimbing orang untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan bermartabat.

E. Sumber:

Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.

Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7

Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.

----------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum diterbitkan).


0 comments:

Posting Komentar