Building Theory and Empirical Evidence about Public Service Motivation
James L. Perry & Annie Hondeghem (2008)
Pemerintah harus mampu bersaing dengan swasta dengan caranya sendiri, perkembangan global public management revolution (Kettl, 2005) menyetir pemerintah agar dapat mencari cara untuk meningkatkan level produktivitas, service pelayanan dan akuntabilitas. mengikuti cara dan perkembangan sektor private belum tentu dapat diterapkan secara utuh seperti kekonsistenan kegagalan skema insentif keuangan (Perry, Mesch, and Paarlberg 2006) yang diterapkan pada sektor publik sebagaimana yang diadopsi dari sektor private sejak awal tahun 1970 an
One is the ‘‘global public management revolution
The consistent failure of financial incentive schemes
Increasing attention to the merits of bureaucracy as an institution and normative order (Olsen 2006)
Selama ini masalah penelitian terkait motivasi telah berkonsentrasi pada sektor industri dan bisnis (Perry and Porter 1982; Kelman 2005) dan kesadaran terhadap motivasi pada sektor publik dan individu pada organisasi publik maupun pada pelayanan publik ke dalam perkembangan teori dan research empiris masih sedikit dan perlu terus dikembangkan.
Keaslian dan pengertian dari PSM
Arti dari PSM memiliki variasi yang beragam diantara banyak disiplin dan bidang keilmuan. Tetapi definisi secara umum berfokus pada motif dan tindakan dalam arena publik yang mengundang perlakuan baik ke individu lain dan dipertajam dengan kebaikan sosial atau bersama. Penelitian ini mengkonstruk PSM merujuk pada motif individu secara luas. tetapi tidak secara eksklusif, altruistik dan dasar dari institusi publik.secara tegas paper ini mendiskusikan 3 pendekatan untuk melakukan riset PSM.
Institutionally Ground Behaviors
Secara institusi motif ini menjad dasar dalam organisasi publik karena organisasi publik mendapatkan amanah dari masyarakat untuk memberikan pelayanan. Dalam bidang seperti administrasi publik, manajemen publik dan ilmu politik, PSM digunakan sebagai mekanisme unik dalam institusi publik yang menggerakkan individu untuk berperilaku. Perry dan Wise (1990) mendefinisikan PSM sebagai individual predispositions dalam merespon dorongan dari institusi publik sebagai penyedia layanan bagi publik dan mengidentifikasikan tipologi dari motif yang terdiri atas rational, norm based dan affective motives. Perry (1996) mengembankan skala pengukuran atau alat ukur untuk mengukur PSM yang terdiri atas 4 dimensi yaitu attraction to public policy making, commitment to public interest and civic duty/tugas negara, compassion dan self sacrifice. Empat dimensi ini dapat mengukur motivasi pelayanan publik kecuali APM atau ketertarikan pada kebijakan karena motif rasional ini bertentangan dan banyak dikritik karena kontradiktif dengan dimensi yang lain.
Rainey and Steinbauer (1999) memberikan pengertian yang lebih global dimana PSM diasosiasikan secara umum dengan altruisme yang dikhususkan dalam dorongan dan ketertarikan dalam komunitas, masyratakt, negara dan bangsa serta umat manusia. konsep ini juga mirip dengan Brewer and Selden (1998), yang mendefinisikan PSM sebagai kekuatan dorongan yang membuat individu berbuat yang berarti dan bermanfaat bagi banyak orang atau bagi publik. Komunitas dan social service. Sementara itu Vandenabeele (2007) mendefinisikan PSM sebagai kepercayaam, nilai, keyakinan dan perilaku diatas kepentingan pribadi dan kelompok untuk kepentingan yang lebih luas misal publik, negara atau manusia atau kepentingan yang lebih luas yang paling tepat. Vandenabeele memberikan nilai dalam dorongan PSM yang menjadi komponen dalam identitas organisasi.
Altruism
Walaupun banyak sarjana administrasi publik dan publik management mengaitkan PSM sebagai altruisme tetapi sosiologi dan sosial psikologis yang mempelajari altruisme tidak mengatakan demikian. sarjana sosial tidak mengasosiasikan PSM sebagai altruisme tetapi ekonomis sarjana PSM dianggap biaya/cost dimana keinginan individu untuk mengorbankan diri untuk kebaikan orang lain tanpa balas jasa atau balasan langsung pada dirinya. Piliavin and Charng (1990) mengamati altruisme sebagai term of cost, tetapi mereka sepakat bahwa motive seharusnya menjadi pusat definisi. Cost karena dorongan ini akan mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain, hal ini terjadi karena adanya sentimen emosi, rasa, budi, welas yang mendorong individu dalam melakukan pengorbanan untuk orang lain. Patrick Francois titled his 2000 study ‘‘’Public Service Motivation’ as an Argument for Government Provision.’Francois (2000) menyebutkan PSM sebagai kesediaan pegawai dalam memberikan extra usaha yang terkonsentrasi pada dampak usaha tersebut bagi nilai publik maupun pelayanan pada masyarakat.
The economist Julian Le Grand (2003) setelah mereview beberapa literatur termasuk penelitian tentang PSM menyimpulkan sulit membedakan antara motivasi altruistik motivasi pelayanan publik, sehingga dalam bidang ekonomi, PSM secara fair tetap berkaitan dengan altruisme. Sisi ekonomi dilihat dari sudut pandang bahwa baik altruisme maupun PSM merupakan cost tanpa ada perhitungan yang pasti walau sebenarnya semakin baik respon masyarakat karena PSM dan altruisme akan memberikan return untangiabel (atau pengembalian keuntungan tak terlihat) yaitu trust dan kepercayaan masyarakat.
Prosocial Behavior
Tidak seperti beberapa ekonom, para sarjana perilaku organisasi tidak menggunakan PSM, faktanya para sarjana menggunakan altruisme merujuk pada motivasi dalam organisasi terutama pekerjaan dan konteks, para sarjana organisasi beranggapan altruistik sebagai bagian dari perilaku prososial yang merupakan kategori dari perilaku. Brief and Motowidlo (1986) mendefinisikan perilaku prososial dalam organisasi sebagai perilaku yang ditunjukkan oleh anggota organisasi secara langsung terhadap individu lain, kelompok atau organisasi dimana mereka tetap berinteraksi dan membawa aturan organisasi tetapi berperforma melebihi aturan dan kewajibannya dalam memudahkan, mensejahterakan individu lain, group maupun organisasi tersebut secara langsung.
Outcome dari PSM menghasilkan 4 kategori besar yaitu: perilaku di lapangan dalam pelayanan publik, keanggotaan organisasi, kinerja dan kelanjutan kinerja. PSM juga berdampak pada hasil yang berbeda, misal PSM meningkatkan outcome dalam memberikan pelayanan terbaik atau organizational citizen behavior, PSM menghasilkan outcome berupa dorongan keinginan individu untuk masuk ke sektor publik dan daya tahan atau retensi seseorang untuk keluar dari organisasi publik, perilaku Perilaku etis, yang merupakan jenis kinerja peran, juga berhubungan positif dengan motivasi pelayanan publik. Pertunjukan episodik adalah arena yang paling sedikit kita ketahui. Penelitian telah menunjukkan hubungan positif antara kinerja individu dan organisasi, tetapi ukuran kinerja seringkali merupakan laporan diri. Bukti telah terakumulasi bahwa sistem organisasi seperti struktur insentif dan motivasi pelayanan publik saling terkait. Organisasi yang mengandalkan motivasi layanan publik cenderung tidak bergantung pada insentif utilitarian untuk mengelola kinerja individu secara efektif. Hal ini didukung oleh penelitian tentang motivasi crowding, yang menunjukkan bahwa penggunaan insentif ekstrinsik dapat menurunkan motivasi karyawan dengan tingkat motivasi intrinsik yang tinggi. Ini adalah temuan penting bagi organisasi sektor publik karena gaji terkait kinerja telah dianggap sebagai strategi penting modernisasi dalam konteks manajemen publik baru.
Terlepas dari pertumbuhan penelitian dalam beberapa tahun terakhir, masih banyak ambiguitas, kesenjangan, dan ketidakpastian dalam pemahaman kita tentang motivasi pelayanan publik. Dua jalur agenda penelitian tentang motivasi pelayanan publik dapat diidentifikasi (Perry dan Hondeghem 2008). Jalur pertama melibatkan bagaimana studi tentang orientasi mengenai orang lain dalam disiplin di luar manajemen dan administrasi publik dapat membantu menutup kesenjangan dalam pengetahuan kita tentang motivasi pelayanan publik dan sebaliknya. Penelitian tentang motivasi pelayanan publik mengangkat isu-isu umum yang relevan untuk semua disiplin ilmu yang berhubungan dengan motivasi pegawai dalam organisasi. Pertanyaan penting yang terkait dengan jalur penelitian ini adalah: bagaimana motif pelayanan publik berinteraksi dengan motif lain; bagaimana kita bisa menjelaskan perbedaan individu; seberapa stabil atau dapat diubah motivasi pelayanan publik; dan bagaimana motivasi pelayanan publik dikaitkan dengan konstruksi terkait? Jalur kedua melibatkan prioritas penelitian motivasi pelayanan publik dalam manajemen dan administrasi publik. Di antara prioritas tersebut adalah memperkuat konstruk motivasi pelayanan publik dan pengukurannya, mengartikulasikan asumsi kelembagaan kunci tentang motivasi pelayanan publik, mengeksplorasi hubungan antara motivasi pelayanan publik dan kinerja, mempelajari motivasi pelayanan publik dalam pengaturan yang berbeda, dan meningkatkan praktik manajemen publik. Tema penting dalam beberapa artikel berkaitan dengan konsep motivasi pelayanan publik dan hubungannya dengan konstruksi lain seperti komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan perilaku kewargaan interpersonal. Tema lain berkaitan dengan praktik organisasi, misalnya desain pekerjaan, kepemimpinan, dan insentif keuangan, yang dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi pelayanan publik. Beberapa artikel mengeksplorasi kecocokan orang-lingkungan, yang merupakan keselarasan antara motif individu dan insentif organisasi. Beberapa kontribusi simposium juga menghadiri hubungan antara motivasi pelayanan publik dan hasil organisasi, seperti kinerja dan kualitas kerja.
THE CONTRIBUTIONS
Keberagaman PSM melibatkan berbagai studies terdiri atas 5 negara yang berbeda Australia, Belgia, Denmark, the Netherlands, and the United States. The first article by Bram Steijn, ‘‘Person-Environment Fit and Public Service Motivation,’mengangkat isu bagaimana kecenderungan seseorang mempengaruhi perilaku . Steijn mengacu pada teori kecocokan orang-lingkungan untuk menilai hubungan antara kecocokan dan beberapa hasil, termasuk pilihan kejuruan, kepuasan kerja, dan niat untuk keluar. Analisisnya terhadap sampel Belanda menunjukkan bahwa pekerja dengan kesesuaian yang tinggi antara tingkat motivasi pelayanan publik dan lingkungan lebih puas dan cenderung tidak meninggalkan pekerjaan dan organisasi tempat mereka bekerja daripada pekerja tanpa kesesuaian tersebut. Temuan lain yang mendukung prediksi dari teori kecocokan orang-lingkungan adalah bahwa pekerja sektor swasta dengan tingkat motivasi pelayanan publik yang tinggi cenderung mencari pekerjaan di sektor publik.
Lotte Bøgh Andersen dan Thomas Pallesen menyelidiki pengaruh insentif keuangan pada motivasi intrinsik di '''Not Just for the Money'? Bagaimana Insentif Keuangan Mempengaruhi Jumlah Publikasi di Lembaga Penelitian Denmark.'' Andersen dan Pallesen beralih ke penelitian dari ekonomi (Frey 1997) yang terkait dengan studi tentang altruisme dan motivasi intrinsik. Mereka menyelidiki bagaimana pengenalan insentif keuangan untuk menerbitkan mempengaruhi jumlah publikasi di 162 lembaga penelitian Denmark. Jika insentif finansial mempengaruhi tingkat motivasi intrinsik, apakah ada intervensi lain yang memiliki efek serupa? Dalam ''Karyawan Tanpa Penyebab: Efek Motivasi Dampak Prososial dalam Pelayanan Publik,'' Adam M. Grant menunjukkan bahwa desain pekerjaan juga mempengaruhi motivasi prososial. Dia berfokus pada bagaimana membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain dapat mempengaruhi motivasi. Dalam quasi experiment longitudinal, sekelompok penelepon penggalangan dana yang melayani universitas negeri bertemu dengan seorang mahasiswa beasiswa yang mendapat manfaat dari dana yang dikumpulkan oleh organisasi. Sebulan penuh kemudian, penelepon ini meningkatkan secara signifikan jumlah janji dan jumlah uang donasi yang mereka peroleh, sedangkan penelepon dalam kelompok kontrol tidak mengubah tindakan ini.
Dalam ''Pengaruh Organisasi, Motivasi Layanan Publik, dan Hasil Kerja: Studi Australia,'' Jeannette Taylor menindaklanjuti beberapa tema yang dibahas dalam tiga artikel pertama simposium. Dia melihat pengaruh faktor organisasi—penghargaan intrinsik, penghargaan ekstrinsik, hubungan kerja dengan manajemen, dan hubungan kerja dengan rekan kerja—pada hubungan antara motivasi pelayanan publik dan kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Menggunakan Survei Sikap Sosial Australia 2005, sampel nasional dari 2.200 karyawan di sektor publik dan swasta Australia, Taylor menemukan hubungan langsung antara motivasi pelayanan publik dan hasil kerja. Imbalan organisasi dan variabel kecocokan motivasi layanan publik juga memiliki efek signifikan pada hasil kerja, tetapi efek moderasi dari faktor organisasi pada hubungan antara motivasi layanan publik dan hasil kerja tidak dapat dikonfirmasi. Sanjay Pandey, Bradley Wright, dan Donald Moynihan berusaha mengisi celah dalam apa yang kita ketahui tentang hubungan antara dua konstruksi dalam ''Motivasi Layanan Publik dan Perilaku Kewarganegaraan Interpersonal dalam Organisasi Publik: Menguji Model Pendahuluan.'' Mereka mengamati bahwa motivasi layanan publik telah dikaitkan dengan sikap dan perilaku yang diinginkan baik di dalam organisasi maupun di masyarakat yang lebih luas. Mereka mengamati bahwa apa yang kita ketahui tentang apakah motivasi pelayanan publik penting untuk perilaku warga internal organisasi cukup terbatas. Mereka menguji hubungan langsung dan tidak langsung antara tingkat individu motivasi pelayanan publik dan perilaku kewarganegaraan interpersonal menggunakan model persamaan struktural. Mereka menemukan bahwa motivasi pelayanan publik memiliki efek langsung dan positif pada perilaku kewargaan interpersonal dalam organisasi publik, bahkan ketika memperhitungkan peran penting dukungan rekan kerja.
Sung Min Park dan Hal Rainey mengambil isu penting untuk meningkatkan manajemen publik, yaitu pengaruh kepemimpinan dan motivasi terhadap kepuasan kerja, kinerja yang dirasakan, kualitas kerja, dan niat berpindah. Dalam ''Kepemimpinan dan Motivasi Layanan Publik di Badan Federal AS,'' Park dan Rainey menganalisis tanggapan dari 7.000 pegawai federal terhadap Survei Prinsip Merit tahun 2000. Mereka menemukan bahwa kombinasi kepemimpinan berorientasi transformasi yang tinggi dan motivasi berorientasi layanan publik yang tinggi memiliki hubungan positif yang paling kuat dengan hasil organisasi. Analisis mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan yang berorientasi transformasi beroperasi dengan meningkatkan pemberdayaan, memperjelas tujuan, dan merangsang motivasi berorientasi pelayanan publik. Dalam artikel terakhir simposium, ''Pengembangan Skala Pengukuran Motivasi Pelayanan Publik: Pengukuhan dan Memperluas Skala Pengukuran Perry,'' Wouter Vandenabeele memberikan perhatian khusus untuk memperkuat pengukuran konstruk. Artikelnya mengevaluasi instrumen pengukuran yang dikembangkan di lingkungan non-AS, Belgia, berdasarkan tanggapan survei dari 3.500 pegawai negeri Flemish. Beberapa item Vandenabeele berbeda dari yang awalnya dikembangkan oleh Perry (1996), tetapi struktur faktorial instrumen pengukuran asli tetap utuh. Dia menemukan bukti, bagaimanapun, bahwa dimensi tambahan, “pemerintahan demokratis”.
Walster dan Piliavin (1972) menyarankan definisi termasuk bersikap menjadi sukarelawan tanpa mengharapkan ganti atau lembur dan sebagainya, jadi murni dorongan untuk kebaikan organisasi, individu lain maupun kelompoknya. PSM dapat juga dikatakan ekspresi yang lebih khusus dalam motif prososial, PSM diasosiasikan dalam organisasi publik yang memberikan pelayanan publik (Perry and Wise 1990), kenapa diasosiasikan dalam institusi publik karena organisasi publik memiliki otoritas dan wewenang sedangkan dorongan prososial lain otoriter tidak ada hanya pengakuan dan kedudukan sosial dalam masyarakat. Perry dan wise menekankan pada keunikan dorongan individu dalam organisasi publik dalam pelayanan publik sedangkan Vandenabeele (200&0 menyimpulkan PSM terkait nilai, keyakinan, kepercayaan yang mengutamakan kepentingan yang lebih luas.
Cara lain untuk memahami hubungan antara altruisme, perilaku prososial, dan motivasi pelayanan publik adalah saling melengkapi. Meskipun pertukaran lintas disiplin dan konstruksi telah dibatasi, Selain itu, mungkin terlalu dini untuk menganggap bahwa motivasi pelayanan publik harus bersarang dalam susunan konstruksi terkait. Dapat dibayangkan, misalnya, bahwa kepentingan pribadi yang rasional memainkan peran yang jauh lebih besar dalam memahami motivasi pelayanan publik atau bahwa sifat motivasi bervariasi berdasarkan konteks. Alasan lain untuk berhati-hati tentang hubungan di antara konsep-konsep terkait lainnya adalah masalah atribusi. Perilaku yang dikaitkan oleh para sarjana sebagai prososial atau layanan publik mungkin, pada kenyataannya, gagal menangkap maksud sebenarnya dari aktor tersebut. Jika ini kasusnya, maka motivasi layanan publik bersarang dalam hierarki konstruksi mungkin terlalu dini. Dengan demikian, kami percaya berpikir dalam hal konstruk saling melengkapi bisa bermanfaat (Perry dan Hondeghem 2008). Kedua jalur ini—hierarki bersarang dan saling melengkapi—tidak eksklusif satu sama lain. Faktanya, kami akan sangat mendorong para sarjana yang mengidentifikasi dengan satu jalan untuk lebih memperhatikan yang lain. Ini akan meningkatkan fertilisasi silang di antara aliran penelitian yang berbeda.
0 comments:
Posting Komentar