Sabtu, 18 Februari 2023

MENGUKUR OPTIMALISASI BIROKRASI MENGGUNAKAN TEORI HIPERBOLIS CAIDEN

 MENGUKUR OPTIMALISASI BIROKRASI MENGGUNAKAN TEORI HIPERBOLIS CAIDEN


Birokrasi weberian yang menyatu dengan kultur kolonial dan militer sebagai bagian panjang dari sejarah bangsa indonesia, setelah era kemerdekaan, budaya kolonial masih melekat dalam pemerintahaan, lalu budaya tersebut diteruskan oleh rezim militer sehingga birokrasi weberian semakin menguat dalam culture birokrasi pemerintah Indonesia hal tersebut juga didukung oleh konteks nilai-nilai dalam masyarakat dan budaya timur, dimana posisi yang lebih senior wajib dihormati menjadikan nilai hierarkis menjadi ideologi yang kuat dan tak terbantahkan. Tipe birokrasi weberian dianggap sebagai cara kerja efisien dengan menghilangkan unsur manusia dan lebih mengutamakan sistem mesin yang melekat atas  dasar efisiensi, efektif, sistematis dan menghasilkan output sesuai prediksi. Proses ini akan merubah hal yang kompleks menjadi sederhana tetapi semakin bias dengan semakin spesifiknya kebutuhan individu

Sebuah teori hiperbolis yang dikembangkan Caiden, menekankan bahwa situasi yang berubah harus mampu ditangkap dan di transformasikan kedalam tanggapan sesuai situasi, penerapan kekakuan formalitas peraturan akan semakin  memperbanyak bias target yang tidak tepat sasaran. Semakin spesialisasi individu dalam era post modern semakin birokrasi formalitas menjadi tidak mampu dalam memenuhi tuntutan yang semakin berkarakter. Birokrasi weberian yang kaku malah merugikan, efisiensi dan efektifitas dan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan saat ini, akhirnya birokrasi weberian yang menghilangkan unsur norma dan budaya serta nilai-nilai luhur dalam masyarakat seperti gotong royong, saling percaya, saling membantu, tanggung jawab menjadi no kompromi, ikut aturan dan mengabaikan nilai publik itu sendiri dalam masyarakat. 

Model birokrasi weberian semakin digempur oleh inovasi-inovasi baru yang terjadi seperti NPM, NPS dan good governance  yang mengarah pada debirokrasi, korporatisasi, dan optimalisasi sumber daya (Caiden, 1991; Osborne & Gaebler, 1992, Denhardt, 2007, UNDP, 1997) struktur hierarkis weberian dibuat menjadi lebih lentur dan pendek dengan delayering menjadi bentuk matriks, jejaring, dan adhocracy. Adanya kepentingan politik agar dapat dengan mudah mengontrol dan mengendalikan birokrasi bisa menjadi penyebab kegagalan birokrasi Weberian, karena dengan sistem tersebut maka kontrol dan pengawasan dalam melaksanakan akal politik yang kotor menjadi lebih mudah. Kesiapan birokrasi menerima inovasi baru masih belum direstui karena karena keterbatasan kemampuan birokrasi itu sendiri atau karena resistensi dari aktor politik yang perlu untuk mengontrol agar kebijakan dapat berjalan sesuai prinsip lama yang lebih efisien dalam memenuhi kepentingan nya. 

Kekakuan ini membuat birokrasi hanya akan bekerja jika ada aturan dan prosedur tanpa itu birokrasi tidak diijinkan untuk bekerja, ketidakmampuan birokrasi mengambil tanggung jawab juga disinyalir sebagai alasan kenapa birokrasi dianggap belum mampu menerima pandangan baru terhadap reformasi birokrasi. Padahal keputusan dengan kompetensi dan pengetahuan lapangan yang lengkap akan menghasilkan keputusan yang dapat menutup kekurangan keputusan formil. Ketakutan akan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak pengawas atau diganggu oleh kepentingan tertentu dengan cara formal menjadi sebuah ancaman dan tantangan bahwa kompetensi dan kesiapan ASN. Birokrasi harus dapat mengambil  keputusan tersebut secara ilmiah, akurat berdasarkan pengetahuan agar dapat dipertanggungjawabkan apabila ada gangguan-gangguan tersebut. 

Kemampuan manajer publik dalam bidang tertentu harus kaya pengalaman dan pengetahuan akan membuat birokrasi semakin kuat. Keengganan untuk mengambil resiko masih banyak dilakukan oleh para manajer publik organisasi. Hal ini dikarenakan selain tidak siap secara teoritis mengenai alasan tindakan juga resiko yang diambil tidak sepenuhnya dapat memberikan manfaat positif bagi karir atau penghasilan ASN itu sendiri. Hal ini menjadi penyebab kenapa individu tidak berani mengambil keputusan dalam menutup celah peraturan yang ada dengan dasar dan alasan yang tepat tetapi membiarkan publik dalam kebingungan tanpa suatu keputusan. Ini juga yang menjadi penyebab terjadi tindakan fraud, karena ASN yang mengambil resiko lebih banyak mendapat suap dari masyarakat yang semakin dirugikan dan tertekan dengan keadaan.

ASN hanya sekedar pelaksana aturan, proses kerja sangat mekanik, menghapus hati nurani, tidak tertantang dengan akal sehat, tidak berani mencari solusi terhadap problem yang dihadapi warga. ASN mengalami proses debudayanisasi dan dehumanisasi, keluar dari nilai budaya dalam masyarakat dan keluar dari nilai kemanusiaan individu. Ketergantungan pada prosedur akhirnya memproduksi prosedur-prosedur yang lain guna  menutupi kekurangan prosedur yang ada sehingga produksi peraturan akan semakin tinggi tanpa peraturan tidak ada tindakan yang dapat dilakukan oleh birokrasi. Peraturan akhirnya menjadi semakin rumit dan komplit dan semakin memperparah keadaan. Peraturan sebelumnya akan saling bertentangan dan saling menjatuhkan akibatnya semakin membingungkan implementasinya. Perjalanan dinamika sosial pun tidak mampu ditangkap oleh peraturan, semakin perubahan sosial maka semakin keterbatasan peraturan dan semakin banyak produksi peraturan agar pelaksanaan regulasi dapat berjalan

Sementara itu publik lebih open dan perkembangan sosial langsung dapat diterima sebagai sebuah mekanisme pasar, tetap dalam birokrasi internal keseragaman, kekuasaan dan kontrol internal masih melekat sehingga tindakan melihat perubahan tidak serta merta diperoleh. Pada akhirnya, masyarakat menganggap pemerintah lambat melayani tidak inovatif, setelah kekesalan dan kekecewaan meledak, baru upaya penyusunan kebijakan dan regulasi dibuat dan diformulasikan pada kondisi fixnya, tetapi umur efektif pelaksanaan tidaklah lama karena perubahan sudah sampai puncaknya dan akhirnya menurun kembali sementara itu kebijakan baru berlaku dan telah ketinggalan kembali dengan problem sosial didalam masyarakat. Hal tersebut semakin cepat sehingga gap antara peraturan dan kondisi semakin melebar.


Demokratisasi dan teknologi membawa wajah baru, setiap orang dapat menyuarakan aspirasinya dan aspirasi yang sejalan akan banyak mendapat dukungan virtual dan hal ini dapat mempercepat proses formulasi kebijakan dan akan masuk dalam agenda setting para pembuat kebijakan, tetapi aku selalu ada jedah dimana dinamika masyarakat dibaca lalu di formulasi, dibahas dan diimplementasikan, selama masa tersebut selalu ada perubahan yang terjadi, sehingga peraturan harus mampu membaca perubahan dan dibuat fleksibel, selain itu aparat yang menjalankan peraturan harus benar-benar memahami bagaimana implementasi tersebut diterapkan sampai pada level terbawah

Birokrasi tertutup sudah ketinggalan dengan semakin terbukanya sistem dan informasi publik, pelayanan publik, globalisasi dimana kesetiaan dan keterbukaan menjadi dasar untuk mengambil tindakan. Sistem tertutup dengan dalil kerahasisaan dan menjaga serta menutup diri dari kelemahan sudah tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan kondisi saat ini, adanya kritik serta tuntutan harus menjadi tantangan birokrasi untuk memperbaiki kelemahan, biar publik menguji serta memperbaiki kelemahan yang ada bukan menutupi kelemahan dengan menunjukkan keberhasilan yang dicapai. adanya persaingan dan kompetisi juga jangan sampai terjebak untuk mencari keberhasilan formil tetapi melupakan keberhasilan hakiki yang harus dicapai.

Konsep birokrasi weber adalah jenis konsep organisasi yang netral dan kuat tetapi pengelolaan yang buruk membentuk persepsinya yang buruk pada konse ini. Dalam organisasi besar seperti pemerintahan, konsep ini dinilai cocok untuk mengontrol organisasi dengan pembagian kerja, formalisasi, pengarahan dan meritokrasi. Seharusnya birokrasi weberian adalah konsep yang netral tanpa tekanan dan menjalankan rule yang sesuai. Proses rumit disederhanakan dan menciptakan sistem yang terkoordinir dengan baik, kegagalan sistem ini ada pada pengelolaan yang buruk dan tantangan era postmodern dimana kebutuhan individu semakin terspesialisasi. Sehingga cara penanganan yang seragam tidak dapat memuaskan kebutuhan semua pihak. 

Masuknya unsur-unsur lain dalam birokrasi seperti relasi individu, kekuasaan, politik, norma akan mengganggu stabilitas organisasi birokrasi. Organisasi ini lebih cocok dijalankan oleh mesin ketimbang manusia yang kaya akan nilai dan norma, serta emosional. Organisasi hirarki birokrasi memberikan kejelasan, sistematis, dan mempercepat proses tetapi unsur manusia, dinamika, interaksi diabaikan sehingga dianggap semua individu adalah sama padahal dalam interaksi manusia selalu ada dinamika yang sangat kompleks. Ketika dinamika manusia ini ada maka birokrasi akan terancam rasionalitasnya. Dinamika tersebut tidak hanya sekedar efisiensi tapi juga proses yang bermakna. Fokus pada pembagian kerja meningkatkan keahlian dan profesionalisme. birokrasi seharusnya dapat menyelesaikan masalah tanpa tumpang tindih karena masing-masing sudah jelas, tetapi perkembangan yang saling mengintercept membuat batasan-batasan wilayah  juga semakin kabur, adanya komunikasi tertulis supaya prosedur dapat berjalan dan menghindari kompromi politik yang dapat mempengaruhi efektifitas

Birokrasi harus adil melayani tanpa melihat subjektivitasnya tetapi akan bertentangan dengan nilai dalam masyarakat. sepertinya nilai budaya lokal tetap harus di pertimbangkan sehingga apa yang diterapkan birokrasi tidak mendapat pertentangan yang besar dalam masyarakat. jurang yang lebar antara nilai birokrasi dan nilai dalam masyarakat akan membuat jurang yang lebar yang mengakibatkan terjadinya potensi fraud, KKN, dan pelayanan yang buruk. Birokrasi seharusnya tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, semua orang diperlakukan sama. tetapi kesetaraan yang adil harus mampu melihat dan memperlakukan subjek sesuai dengan karakteristik, hal tersebut gagal dilaksanakan dalam birokrasi weberian. birokrasi harus terbebas dari kompromi politik, kompromi kemanusian, kompromi kelompok dan harus melalui standar yang sama yaitu peraturan. hubungan individu dalam organisasi juga diatur dalam sistem kedinasan, formal dan impersonal.


Pro dan Kontra Model Birokrasi

Model organisasi birokrasi dapat dikatakan ideal apabila dalam situasi kondisi tertentu dimana nilai-nilai dalam masyarakat perlu diatur sedemikian rupa beserta pengabaian pada kepentingan individu. Bentuk ini akan meningkatkan efisiensi organisasi, tetapi perbedaan struktur masyarakat sangat menentukan tepat atau tidaknya strukutrr organisasi ini, ditengah semakin cepatnya perkembangan dan profesionalisme di masyarakat yang dapat mengabsorbsi serta menerjemahkan pelayanan yang cepat maka bentuk seperti ini dianggap kurang tepat. Perkembangan lain adalah bentuk parabola yang menghubungkan produktivitas birokrasi pada titik tertentu akan sampai pada puncaknya kemudian akan mengalami penurunan ketika melewati titik tersebut.

Peraturan yang mempermudah pelayanan, pedoman yang jelas dan mudah diterjemahkan (tidak ambigu). akan mempermudah yang dilayani dan yang melayani. Kejelasan aturan, sistem, transparansi membantu semua pihak dalam membuat keputusan. Tetapi perlu diingat kejelasan ini tidak hanya dilihat dari sisi aturan satu sektor saja, karena masing-masing sektor saling berhubungan. Kejelasan yang tidak terkoneksi dengan baik akan berakibat pada terjebak dalam satu bidang dan tidak dapat menyelesaikan bidang yang lain sehingga dampak tersebut juga akan berantai. Hal ini memunculkan ketidakpastian, biaya tinggi dan ketidakjelasan. walau dari satu bidang sudah sangat jelas prosedur, biaya, tetapi karena tidak terkoneksi tersebut yang membuat hambatan berantai terjadi

Prosedur memberikan perlindungan hukum bagi aparat publik, mereka tidak harus bersusah payah untuk mencari jalan lain yang dapat memuaskan kepentingan masyarakat. Prosedur memberikan kejelasan dan langkah yang tepat serta akan terbebas dari tuntutan apabila langkah tersebut merugikan masyarakat. Upaya lain tanpa payung hukum adalah sebuah resiko dan akan menjadi pemeriksaan oleh aparat pengawas dan penegak hukum. Tekanan dapat terjadi karena tuntutan untuk mengambil keputusan tanpa adanya payung hukum atau pedoman yang jelas dapat menimbulkan permasalahan kejiwaan apalagi apabila kompensasi tidak dimiliki maka kemampuan pengambilan keputusan ini akan menghasilkan stress dan cemas, tambahan pekerjaan untuk menganalisis lebih dalam, adanya risiko kesalahan keputusan dan berakibat pada pemeriksaan ataupun demotivasi pegawai. kondisi dan budaya yang salah akan mendapat hukuman berat sedangkan tidak mengambil keputusan akan selamat.

Disatu sisi keputusan yang rigid juga menutup ruang inovasi dan diskresi, maka dari itu keputusan inovasi dalam pengambilan keputusan harus didukung, kompetensi harus mampu menjawab pemeriksaan untuk menguji bahwa keputusan adalah yang tepat, budaya salah kemudian ditingkatkan sebagai bagian dari pengalaman perlu dipertahankan, apabila risiko terlalu besar maka seseorang akan semakin berat untuk mengambil keputusan. Adanya kondisi masa lalu dimana resiko pengambilan keputusan diskresi dan profesional karena adanya timbal balik dari pihak yang dilayani harus dihilangkan dan diganti dengan reward dari organisasi sendiri. 

Idealnya kebijakan harus mampu mewujudkan tujuan dan prosedur tidak boleh membatasi pencapaian tujuan, prosedur hanya membantu untuk pencapaian tujuan. Ide kreativitas dan inovatif yang dituntut prosedur sebagai pijakan awal dapat menjadi daya dorong untuk menghasilkan kreativitas dan layanan yang inovatif yang adaptif bagi organisasi publik, birokrasi dapat mengembangkan layanan yang customized, dengan memperhatikan perkembangan real time di bidang teknologi, sosial, ekonomi, lingkungan fisik negara dan kebutuhan spesial masing-masing individu di era post modern. Semakin tinggi interaksi dan percampuran budaya membuat ragam kebutuhan pelayanan semakin meningkat sehingga kebutuhan spesifik, customized sangat dibutuhkan masyarakat di era postmodern, birokrasi harus menangkap peluang tersebut, 

Prosedur dapat dijadikan pegangan awal tetapi tidak harus mengurangi langkah inovasi dan pengembangan situasional. Ketakutan akan peluang disalahgunakan harus diimbangi dengan pengawasan dan reward organisasi yang sepantasnya atas resiko yang diambil. Risiko kesalahan harus dinilai secara objektif dan jangan  mengedepankan sisi salahnya tapi benar-benar secara objektif melihat keputusan yang harus diambil oleh administrator publik. Kompetensi harus ditingkatkan untuk menjadi pegangan pertanggungjawaban, kesalahan dalam keputusan bukan berarti tamat, perlu evaluasi agar mematangkan kemampuan individu tersebut. Disini tentu pengalaman dan bakat akan sangat membentuk pimpinan yang handal.

Dalam birokrasi weberian, hierarki mempermudah kontrol dan koordinasi yang baik agar pelaksanaan dapat berjalan efektif dan tidak membingungkan jalur perintahnya. Tetapi disisi lain, ketergantungan pada perintah membuat bawahan tidak berani mengambil tindakan tanpa perintah atasan. Keputusan-keputusan penting tidak dapat diambil dengan cepat. Salah satu kritis dari birokrasi ini adalah begitu powerfullnya atasan, dimana atasan memiliki peran sebagai penilai, pengawas dan dapat merekomendasikan pegawai untuk promosi atau di hukum. Kecenderungan ini diperparah dengan adanya hubungan emosional yang dapat merusak sistem birokrasi weberian itu sendiri. Penilaian kinerja lebih mengedepankan unsur like dan dislike, sehingga penilaian yang objektif menjadi sangat subjektif. Luputnya relasi individu dalam organisasi birokrasi weberian ini menyebabkan kegagalan organisasi ini dijalankan dalam sebuah organisasi yang melibatkan individu dan sosial.

Dalam optimalisasi sumber daya yang ada sistem hierarkis ini tidak efisien karena turunnya perintah yang melalui beberapa tahapan, hal ini akan mengurangi efisiensi. Adanya jenjang tersebut juga mempengaruhi bias perintah dari level atas sampai kebawah, adanya reinterpretasi sesuai dengan kemampuan individu yang meneruskan merupakan bagian dari cognitive style dan unsur kepentingan tiap jalur akan melekat setelah melewati jalurnya. Alur ini akan mengganggu kejelasan perintah sampai kebawah. Sementara itu ASN SLB sebagai ujung tombak dari kebijakan publik juga mendapat pengaruh yang besar dari tuntutan masyarakat. Tuntutan dan perintah organisasi melalui peraturan adalah seperti dua kutub yang berbeda dimana tuntutan masyarakat dan perintah atasan serta organisasi juga besar mengakibatkan posisi aparat birokrasi dalam posisi yang dilematis, tindakan yang kompatibel yang dapat membaca kepentingan masyarakat dan kepentingan organisasi harus dimiliki oleh ASN SLB. Tindakan profesional harus didukung dan kesalahan juga merupakan pembelajaran dari upaya mengupgrade kemampuan profesional. Tetapi sistem penilaian kinerja belum mengakomodir hal tersebut, sistem penilaian dibuat dan ditentukan dan hanya sebuah formalitas.

Hierarkis menuntut jenjang bawah harus mendapat petunjuk dari jenjang di atas terlebih dahulu tanpa petunjuk maka resiko besar akan menjadi tanggung jawab individu. Birokrasi hirarkis weberian juga selalu meletakkan pejabat yang minim pengalaman dan pengetahuan pada level di bawah sehingga selalu memerlukan arahan dari pejabat di atasnya. Petunjuk tersebut dibahas secara berjenjang ke atas sampai pada level tertentu akibatnya petunjuk sering terlambat dan persoalan sudah berkembang menjadi lebih kompleks, solusi yang didapat pun sudah telat karena telah muncul permasalahan baru lagi. Pelimpahan wewenang juga masih belum menyelesaikan hal ini karena budaya tersebut masih kuat, kompetensi level bawah kurang dan resiko pengawasan juga  sangat ketat. Langkah lain adalah dengan organisasi matriks atau aritokasi dengan membentuk tim khusus yang terdiri dari para ahli dibidangnya dapat menjadi solusi untuk cepat mengambil tindakan. Hubungan profesional lintas bidang, organisasi melalui jalur horizontal dan hierarkis sangat diperlukan untuk penyelesaian yang cepat. Fungsi yang terkotak dan terspesialisasi perlu membangun suatu komunikasi efektif untuk menyelesaikan problematika .

Pada dasarnya birokrasi yang sudah terspesialisasi memungkinkan efisiensi karena dengan rutinitas maka pekerjaan dapat dilakukan secara cepat. Spesialisasi juga dapat memecahkan masalah-masalah yang kompleks menjadi sederhana dan kumpulan pengalaman dapat membantu memecahkan setiap persoalan yang ada. Birokrasi berkembang semakin kompleks dan menciptakan spesialisasi spesialisasi yang semakin terkotak-kotak ditambah lagi peraturan memberikan kewenangan pada tingkat spesialisasi yang sudah terkotak-kotak ini sehingga spesialisasi. Dampak lain dari spesialisasi tersebut adalah berkembangnya individualistis di mana seseorang hanya berfokus pada tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dan mementingkan kepentingan tanggung jawabnya tersebut serta mengabaikan visi dan misi organisasi. Ketika suatu permasalahan yang dapat diselesaikan oleh satu bidang tetapi tidak bisa disesuaikan oleh bidang lain maka spesialisasi menjadi kontradiktif antara satu dengan yang lain. Apabila pelayanan tersebut juga merupakan pelayanan berjalan atau melibatkan beberapa bidang lain akan menghambat bidang-bidang yang lain untuk menyelesaikannya sehingga rangkaian dari pekerjaan tersebut semakin panjang.

Spesialisasi juga mengundang kompleksitas dalam melihat suatu permasalahan dengan sangat mendetail sehingga memakan waktu yang lebih panjang padahal dengan konektivitas antar bidang membuat permasalahan dapat dibuat lebih sederhana. Tetapi apabila melihat dari kacamata spesialisasi maka permasalahan akan di bedah sangat detail dan menyebabkan ketidaksesuaian dalam pelayanan. Penggunaan teknologi dan big data dapat membantu mengasistensi, para spesialisasi hanya fokus pada kejanggalan saja. Beberapa model organisasi yang berbasis pada informasi teknologi menganjurkan setiap orang untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu agar tidak harus menguasai spesialisasi pada suatu bidang tertentu dengan adanya bantuan teknologi maka setiap orang dapat mendapat saran dari spesialis sehingga tidak diperlukan spesialisasi pada tiap orang tetapi konektivitas antar spesialisasi yang lebih dibutuhkan.

Dalam birokrasi, regulasi berperan penting dalam melakukan tindakan. Birokrasi membuat manusia kehilangan sisi kemanusiaannya walaupun struktur organisasi birokrasi sangat efisien dan efektif tetapi sangat rentan dengan menghilangkan sisi kemanusiaan dan emosional dalam pelaksanaannya. Aparat birokrasi akan memegang pedoman peraturan dan standar operasional prosedur dalam menjalankan tugasnya tanpa melihat nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat yang telah berkembang menjadi lebih terbuka tetapi karena peraturan menghalangi tindakan tersebut dan peraturan dianggap lebih penting daripada nilai-nilai yang seharusnya menjadi tujuan dari organisasi maka birokrasi cenderung menjadi sebuah mesin yang telah diprogram oleh peraturan. Birokrasi weberian menganggap dan memperlakukan semua subjek adalah sama dan sistem dalam organisasi harus terbebas dari unsur politik, pengaruh, atau partisipan yang dapat merusak efisiensi organisasi. Hal ini berdampak pada warga harus menyesuaikan birokrasi bukan malah peraturan yang telah dibuat harus mampu diterjemahkan oleh pelayanan aparat birokrasi agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Struktur organisasi birokrasi Weber adalah struktur organisasi yang baik apabila dalam situasi yang tepat. Hal ini dijawab dalam penelitian yang dilakukan oleh Gerald e caiden mengenai hubungan antara birokratisasi dengan efisiensi yang digambarkan dengan teori kurva j kaiden, 1994 atau teori parabolik birokratisasi (caiden, 2009) yang menjelaskan pada awalnya birokrasi akan berkembang baik lalu pada titik optimal akan mengalami penurunan. Beberapa unsur dari birokrasi seperti hirarki, spesialisasi, formalisasi dan impersonalitas unsur-unsur ini tidak secara bersamaan berada pada satu titik yang sama misalkan spesialisasi dan hierarki, bisa jadi dalam konteks efisiensi hierarki sudah mencapai titik optimal tetapi spesialisasi belum mencapai titik optimal sehingga titik optimal dari unsur-unsur birokrasi tersebut tidak dicapai secara bersamaan dan selalu ada ruang ketidakefisienan di dalam birokrasi.

Pengujian titik optimal dalam teori parabolistik birokrasi perlu diuji apakah unsur-unsur dalam birokrasi sudah mencapai titik optimal dan dalam penurunan. Unsur lain seperti impersonality mungkin masih sangat rendah karena aparat birokrasi masih sering mempertimbangkan subjektivitas seperti pertemanan, persamaan etnis, agama dan afiliasi politik dalam memberikan pelayanannya hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat diskriminasi pelayanan yang menunjukkan impersonalitas masih rendah. Untuk mengetahui optimalisasi pada tiap unsur maka perlu dilakukan diagnostik secara mendalam mengemulasi untuk dikurangi sementara yang belum mencapai titinai birokrasi weberian apakah setiap unsurnya sudah mencapai titik optimal dan apabila sudah mencapai titik optimal maka perlu dikurangi dan yang belum mencapai titik optimal harus distimulasi. Untuk mengenali apakah suatu birokrasi unsur-unsurnya telah mencapai titik optimal atau belum dapat dilihat apakah hal tersebut sudah memiliki gejala yang berlebihan atau tidak. Misal pada unsur spesialisasi ketika unsur spesialisasi sudah mencapai titik optimal maka setiap individu akan mengerjakan pada spesialisasi tugasnya masing-masing dan mengabaikan pada tugas organisasi atau spesialisasi yang lain. Unsur yang lain adalah tingkat tantangan apabila spesialisasi telah menunjukkan gejala individu mengalami kebosanan maka demoralisasi dan kehilangan tantangan hal ini menunjukkan gejala negatif bahwa spesialisasi telah kehilangan semangatnya atau telah mencapai titik optimal dan menurun.

Cara untuk mengubah titik optimal adalah dengan merubah struktur model spesialisasi diubah sehingga menjadi spesialisasi baru yang lebih kaya dengan berbagai standar spesialisasi yang baru. Perubahan dari spesialisasi yang sudah ada atau rolling pegawai dari satu bidang ke bidang yang lain adalah ketika sudah mencapai titik optimalnya dan ketika kondisi sudah menurun maka perlu disegarkan dengan perubahan struktur dan penempatan yang baru. Gejala lain yang ditunjukkan misalnya prosedur atau formalitas. Apabila prosedur semakin mempersulit dalam memberikan pelayanan yang memuaskan kepada warga dan tidak lagi memberikan ruang bagi birokrasi untuk mengembangkan inovasi dan diskresinya, semakin ketatnya peraturan yang membatasi otonomi dalam memberikan pelayanan maka prosedur atau formalitas telah mencapai titik optimalnya dan telah menunjukkan gejala negatif. Dengan melihat kelemahan pada unsur-unsur tersebut maka dapat dicari mana titik optimal dan mana titik yang belum optimal sehingga dapat dilakukan tindakan yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan birokrasi atau mendidirokratisasikan organisasi publik.


0 comments:

Posting Komentar