Exploring the Job DemandsResources Model of Work Engagement in Government: Bringing in a Psychological Perspective
Rick T. Borst1, Peter M. Kruyen1, and Christiaan J. Lako1 (2017)
Work engagement atau istilah lain adalah kecintaan pada pekerjaan dan keterlibatan pada pekerjaan dalam administrasi publik merupakan resource yang berharga dalam menghadapi tuntutan pekerjaan. Tetapi faktor red tape maupun demands lain dari pekerjaan akan memediasi work engagement individu terhadap outcome yang dihasilkan. Manfaat work engagement sebagai sikap yang positif, semangat, dedikasi (Schaufeli, Salanova, González-Romá & Bakker, 2002, p. 74) menjadi topik yang menarik dalam literatur manajemen sumber daya manusia (Albrecht, Bakker, Gruman, Macey, & Saks, 2015; Saks & Gruman, 2014). Dengan work engagement akan memunculkan semangat dan membuat secara fisik tubuh menjadi lebih sehat, kepuasan dalam kebutuhan psikologi, lebih komitmen terhadap pekerjaan (Barrett-Cheetham, Williams, & Bednall, 2016; Ryff, 1989). Work engagement menjadi hal yang penting dalam upaya meningkatkan kinerja SDM. sehingga faktor-faktor determinan dalam nya menjadi penting untuk diteliti terutama dalam ilmu administrasi publik (Kernaghan, 2011; Tummers, Steijn, Nevicka, & Heerema, 2016; Vigoda-Gadot et al., 2012).
Konsep work engagement ini juga dapat dikembangkan dari model JD-R (Bakker & Demerouti, 2007). Tujuan dari penelitian ini untuk mengembakan konsep JD-R dan mendapatkan work engagement dalam administrasi publik. Membawa psikologi positif ke dalam administrasi publik (Tummers et al., 2016) semakin besar surplus resource yang dimiliki maka semakin tertarik seseorang dengan pekerjaannya (Saks & Gruman, 2014). tetapi bukan hitungan matematis yang digambarkan karena setiap resources memiliki ciri sendiri dalam meningkatkan work engagement. (Bakker & Leiter, 2010; Saks & Gruman, 2014). Kedua mengenalkan kondisi red tape and public service motivation (PSM) pada model JD-R. Ketiga, bagaimana work engagement mediating variabel antara JD-R model dan Outcome (Schaufeli, 2015)
“Although the direct effects of PSM and red tape on commitment (e.g., Vandenabeele, 2009 and Stazyk, Pandey, & Wright, 2009, respectively) and turnover intention (e.g., Campbell & Im, 2016, and Quratulain & Khan, 2015, respectively) have been studied”. Tetapi sebagai variabel moderating belum pernah dimasukkan.
Research Question: Which factors influence public servants’ work engagement, and what are its effects on organizational commitment and turnover intention?
Theory
JD-R Model of Work Engagement Defined
Positif psikologi adalah soal nilai mengenai apa yang dilakukan seorang pegawai sejalan dengan nilai yang ada padanya. Hal ini menentukan apakah pekerjaanya salah atau benar, bermanfaat atau tidak (Bakker & Daniels, 2011). Apabila pekerjaan tersebut diyakini benar akan memberikan efek positif pada psikologis dan memberikan energi positif (Tummers et al., 2016). Inilah yang dimaksud dengan work engagement atau semangat kerja karena nilai pekerjaan yang sangat diyakini memberikan kebenaran hakiki sehingga membuat karakter individu menjadi bersemangat, berdedikasi, dan asik (Schaufeli et al., 2002). Gejala work engagement antara lain perasaan yang significant pada pekerjaan, antusias, bangga, inspirasional, bahagia, asyik, dalam setiap pekerjaannya. dan pasti berangkat dengan suasana hati yang bersemangat akan muncul di saat berada di lingkungan kerja (Schaufeli et al., 2002).
Konsep JD-R model ini akan berpengaruh pada work engagement atau dapat mempertajam sikap work engagement ini (Bakker & Demerouti, 2008; Hakanen, Bakker, & Demerouti, 2005). Sarjana menunjukkan bahwa pengaruh sumber daya pekerjaan pada keterlibatan kerja menjadi lebih menonjol dan mendapatkan potensi motivasi saat karyawan dihadapkan dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi karena sumber daya pekerjaan dapat membantu pencapaian tujuan. hal ini juga merupakan bagian dari tiga dasar kebutuhan yaitu kebutuhan kompetensi, keterkaitan dan kemandirian (Ryan dan Deci, 2000). Karena sebagian besar pendekatan psikologis berasumsi bahwa perilaku manusia dihasilkan dari interaksi antara faktor pribadi dan lingkungan, dianggap perlu bahwa sumber daya pribadi diintegrasikan ke dalam model JD-R (Schaufeli & Taris, 2014). Tantangan kerja yang diimbangi dengan resource yang baik akan menghasilkan work engagement.
Red Tape
Apabila pekerjaan tersebut menantang dan dapat diselesaikan dengan job resource akan memberikan work engagement pegawai, tetapi apabila pekerjaan yang ada bukan merupakan tantangan tapi prosedural administratif yang tidak menantang tapi perpanjangan prosedur atau dikenal dengan red tape (Bozeman & Feeney, 2011; Brewer & Walker, 2010; DeHart-Davis & Pandey, 2005; Walker & Brewer, 2008).yang tentunya hal tersebut bukan tantangan yang menarik tapi tergantung sikap pegawai ada yang menanggapi sebagai hambatan, mengasingkan dari inti pekerjaan dan tidak kreatif, serta minim produktivitas (DeHart-Davis & Pandey, 2005).
Red tape oleh karena itu dapat dibingkai sebagai penghambat dan meningkatkan stres kerja yang dinilai sebagai tuntutan pekerjaan atau keadaan kerja yang melibatkan kendala berlebihan atau tidak diinginkan yang menghambat keterlibatan kerja individu (Crawford, LePine, & Rich, 2010; Quratulain & Khan, 2015). Hal ini juga ditunjukkan oleh Vermeeren dan van Geest (2012) bahwa birokrasi berbelit yang dirasakan berdampak negatif terhadap kebanggaan pegawai negeri sebagai bagian penting dari keterlibatan kerja. Karena itu kami mengajukan hipotesis berikut:
Hypothesis 1: Perceived red tape has a significant negative impact on the work engagement of public servants.
Efek dari clas job resource pada work engagement. Walau JD-R model menganggap semua resource adalah sama penting tetapi para sarjana membuat kelas-kelas dalam job resource karena setiap resources akan berbeda pengaruhnya satu sama lain dan lebih mempermudah memahami mengenai kekuatan resource untuk menetralisir demand. Contoh Resource yang memiliki karakter berbeda-beda seperti: job motivasi, pride, kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Moynihan & Pandey, 2007; Steijn, 2004; Vermeeren & van Geest, 2012) Karakter job demand ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok karakteristik organisasi dan karakter personal (Xanthopoulou et al., 2007), dalam literatur lain sumber daya juga dikelompokkan antara sumber daya yang berhubungan dengan pekerjaan (Kerja tim, rekan kerja, content pekerjaan, otonomi) dan sumber daya yang berhubungan dengan organisasi (Sistem, pengawasan, peluang pengembangan, dan pengukuran kinerja oleh organisasi)
Vermeeren & van Geest (2012) dalam penelitiannya berpendapat bahwa efek dari persepsi pegawai negeri tentang kelompok sumber daya ini memiliki efek yang berbeda pada keterlibatan kerja. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pegawai negeri lebih termotivasi oleh karakteristik pekerjaan daripada karakteristik terkait organisasi. Hal ini dijelaskan dengan asumsi bahwa pegawai negeri secara intrinsik termotivasi oleh pekerjaan bukan ekstrinsik termotivasi oleh rangsangan organisasi (Buelens & Van den Broeck, 2007). Oleh karena itu diharapkan ketika pegawai negeri puas dengan sumber daya terkait pekerjaan mereka, mereka menjadi lebih terlihat daripada ketika mereka puas dengan sumber daya terkait organisasi mereka.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pegawai negeri memang sebagian besar termotivasi oleh sumber daya terkait pekerjaan, termasuk konten pekerjaan, pengakuan, otonomi, dan pekerjaan yang menarik (Buelens & Van den Broeck, 2007; Houston, 2000). Sumber daya terkait organisasi seperti peluang pengembangan karir, dukungan pengawasan, dan manajemen kinerja memiliki efek positif tetapi lebih lemah pada keterlibatan kerja dibandingkan sumber daya pekerjaan (Conway, Na, Kathy, Kerstin, & Bailey, 2016; Lavigna, 2013). Lavigna (2013) berpendapat bahwa pengawas di sektor publik sering ditempatkan dalam situasi sulit oleh eksekutif puncak yang dipilih secara politik untuk memaksa pegawai negeri mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang ambigu dan bertentangan, yang menghasilkan keterlibatan kerja yang lebih rendah. Conway dkk. (2016) juga menunjukkan bahwa manajemen kinerja dalam sektor publik tidak berpengaruh keterlibatan kerja. Pegawai negeri mendapati diri mereka kurang melakukan apa yang mereka anggap menyenangkan atau memuaskan karena pertama-tama mereka harus mencapai standar yang ditetapkan oleh pengawas (Conway et al., 2016). Selain itu, Borst, Lako, dan de Vries (2013) menunjukkan bahwa peluang pengembangan karir hanya berpengaruh relatif kecil terhadap kepuasan pegawai negeri. Oleh karena itu, kami dapat menyatakan hipotesis berikut:
Hypothesis 2: Satisfaction about work-related resources has a stronger positive effect on work engagement than satisfaction about job resources from the organization.
Pengalaman memegang peranan yang penting, semakin tinggi pengalaman dalam melihat tuntutan maka semakin jelas tuntutan-tuntutan yang dihadapi dan semakin siap menyelesaikan, pengalaman tersebut dapat menjadi resource bagi pegawai (Bakker & Demerouti, 2008; Bakker, Hakanen, Demerouti, & Xanthopoulou, 2007). Dalam situasi dimana tuntutan pekerjaan diimbangi dengan ketersedian sumber daya pekerjaan maka tuntutan tersebut lebih cenderung dianggap sebagai tantangan pekerjaan (Bakker, Van Veldhoven, & Xanthopoulou, 2010)
Hypothesis 3: The relationship between the job resources and work engagement of public servants is moderated by job demands (red tape), that is, the effects of work-related resources and organization-related resources on work engagement become more salient when public servants perceive high red tape.
Personal resource
PSM dipandang sebagai “sumber daya psikologis utama” (Bakker, 2015, hlm. 729) yang diharapkan dapat mendorong tingkat keterlibatan yang tinggi (Lavigna, 2015). Namun, efek sebenarnya dari PSM pada keterlibatan kerja masih belum dipelajari. PSM mengacu pada kecenderungan individu untuk melayani kepentingan publik (Perry & Hondeghem, 2008). Ini adalah sifat kepribadian individu yang bersedia melakukan perilaku pengorbanan untuk kebaikan warga negara tanpa keuntungan timbal balik untuk diri mereka sendiri (Perry & Vandenabeele, 2015). Banyak pegawai memasuki pelayanan publik karena mereka sudah berkomitmen pada misi pemerintah (Lavigna, 2013). Oleh karena itu, PSM adalah variabel individu tingkat yang relatif stabil dan lebih tinggi yang hanya mengalami perubahan lambat (Bakker, 2015). Artinya, PSM membantu pegawai negeri untuk melakukan pekerjaannya dengan penuh energi dan dedikasi—yaitu, keterlibatan kerja (Baker, 2015). Namun, efek ini mungkin bergantung pada sejauh mana karyawan merasa bahwa lingkungan organisasi tertentu memungkinkan mereka untuk memenuhi motif pelayanan publik (Bright, 2007). Oleh karena itu, kesesuaian yang baik antara PSM seseorang dan organisasi diperlukan untuk mencapai keterlibatan kerja yang tinggi. Terlepas dari nuansa ini, PSM adalah sifat yang memberikan energi pegawai negeri dan oleh karena itu mungkin secara positif mempengaruhi keterlibatan kerja (Baker, 2015).
Dua sumber daya pribadi lain yang tidak sepenuhnya baru dalam model JD-R tetapi belum dipelajari dalam konteks sektor publik adalah keahlian profesional dan proaktivitas. Pertama, keahlian profesional mengacu pada kualitas dan kemampuan pribadi yang dibutuhkan untuk mencapai pencapaian tertentu (Van der Heijden, 2000). Kedua, karyawan proaktif menunjukkan inisiatif dan ketekunan (Crant, 1995). Ini adalah prasyarat kekuatan (Schaufeli et al., 2002). Ketiga sumber daya pribadi tersebut diharapkan dapat secara langsung mempengaruhi work engagement (Christian, Garza, & Slaughter, 2011; Lavigna, 2015). Ini menghasilkan hipotesis berikut:
Hypothesis 4: Personal resources, including proactivity, professional expertise, and PSM, have a positive effect on the work engagement of public servants.
Outcomes of Work Engagement
Kahn (1990) mengusulkan bahwa faktor individu dan organisasi mempengaruhi keterlibatan kerja, yang mendorong sikap dan perilaku individu seperti niat berpindah dan komitmen afektif. Dengan kata lain, work engagement diyakini memediasi hubungan antara model JD-R dan hasil kerja (Kahn, 1990; Schaufeli, 2015). Dalam literatur administrasi publik, penekanan ditempatkan pada pentingnya komitmen organisasi. Ini disebut “indikator hedonis” yang mengacu pada kebahagiaan, kesenangan, dan kenikmatan (Diener, Scollon, & Lucas, 2009; Ryan & Deci, 2001; Tummers et al., 2016). Sebaliknya, keterlibatan kerja adalah indikator yang disebut "eudaimonic" yang mengacu pada tujuan, kebermaknaan, dan kesejahteraan psikologis (Diener et al., 2009; McGregor & Little, 1998; Ryan & Deci, 2001).
Meskipun komitmen organisasi mungkin memiliki sedikit tumpang tindih dengan keterlibatan kerja, Vigoda-Gadot et al. (2012) menunjukkan bahwa keterlibatan kerja secara teoritis tetapi juga secara empiris merupakan konsep yang berbeda dari komitmen organisasi. keterlibatan kerja adalah konstruk yang lebih luas dan lebih dalam daripada komitmen organisasi. Afektif karena berkonotasi dengan proses investasi aktif seluruh diri karyawan (secara fisik, kognitif, dan emosional) untuk pekerjaannya (Tummers et al., 2016, Vigoda-Gadot et al., 2012). Sebaliknya, konsep hedonis seperti komitmen organisasi disebut sikap karyawan pasif karena karyawan dapat berkomitmen pada organisasi, tetapi mereka mungkin juga pasif dalam perilaku mereka (Tummers et al., 2016). Komitmen organisasi berkonotasi ketenangan dan kepuasan (misalnya, "Saya merasa betah di organisasi saya"), yang mungkin menyebabkan rendahnya aktivitas, sedangkan keterlibatan kerja mengarah pada antusiasme dan kegembiraan, yang mengarah pada aktivitas tinggi (diadaptasi model circumplex dari Russel, 1980, dalam Schaufeli, 2013). Sebanding dengan komitmen, turnover intention seringkali dicirikan sebagai sikap karyawan yang pasif meskipun berkonotasi negatif (Harrison, Newman, & Roth, 2006). Cohen, Blake, dan Goodman (2016) menunjukkan dalam sebuah penelitian di antara badan publik federal AS bahwa niat berpindah ini seringkali tidak mengarah pada pergantian yang sebenarnya. Ini pasif karena sering tidak mengarah pada perilaku yang sebenarnya. Studi menunjukkan bahwa karyawan yang mengalami tingkat komponen kesejahteraan eudaimonic yang tinggi (misalnya, keterlibatan kerja) secara fisik lebih sehat, mengalami lebih banyak kepuasan kebutuhan psikologis mereka, dan juga mengalami kesejahteraan hedonis (misalnya, komitmen) dibandingkan dengan karyawan yang rendah. kesejahteraan eudaimonik (Barret-Cheetham et al., 2016;
Ryff, 1989). Karena keterlibatan kerja memang merupakan keadaan pikiran yang mendalam yang berkonotasi dengan kepuasan kebutuhan psikologis dasar (secara fisik, kognitif, dan emosional), hal itu mungkin mengarah pada kebahagiaan dan kesenangan yang didefinisikan secara hedonis lebih tinggi termasuk komitmen organisasi afektif dan niat berpindah yang lebih rendah. Oleh karena itu diharapkan bahwa komitmen organisasi dan turnover intention adalah hasil dari keterlibatan kerja. Selain itu, sementara keterlibatan kerja organisasi diharapkan menjadi penentu hasil pekerjaan ini, beberapa sarjana dalam administrasi publik menunjukkan bahwa sumber daya individu dan pekerjaan juga merupakan penentu komitmen organisasi dan niat berpindah (Cohen et al., 2016; Moynihan & Pandey, 2007). Oleh karena itu diharapkan bahwa keterlibatan kerja secara parsial memediasi hubungan antara sumber daya individu dan pekerjaan, dan hasil pekerjaan. Ini membawa kita ke Hipotesis 5:
Hypothesis 5: Work engagement partially mediates job resources, job demands, and personal resources on one hand and organizational commitment and turnover intention on the other hand.
Measures
SKALA LIKERT
Tindakan Para peserta menjawab semua tindakan pada skala tipe Likert 5 poin mulai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) kecuali untuk niat berpindah, sumber daya individu, dan sumber daya terkait organisasi. Sumber daya pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan dan organisasi diukur menggunakan skala kepuasan tipe Likert 5 poin mulai dari 1 (sangat tidak puas) hingga 5 (sangat puas). Niat turnover dikotomikan menjadi "ya" dan "tidak". Semua item dari konstruksi yang digunakan dapat ditemukan di lampiran.
Variable Measurement
Work engagement. Work engagement was measured using six items of the validated nine item short version of the Utrecht Work Engagement Scale (Schaufeli et al., 2002).Work engagement is a higher order construct composed of the three dimensions, namely, vigor, dedication, and absorption.
Red tape. Red tape was measured with a validated six-item scale applied before within a large Dutch public sector survey (Vermeeren & van Geest, 2012).
Satisfaction with work-related and organization-related job resources. According to the Dutch Ministry of the Interior and Kingdom Relations (2015), these two measures are based on theoretical concepts and controlled for unidimensionality by means of factor analysis and reliability analysis.
PSM. PSM was measured with 10 items from the validated PSM scale of Vandenabeele (2008b) and previously applied by Loon, Kjeldsen, et al. (2016). This scale is an adapted version from the original scale of Perry (1996), which Vandenabeele (2008b) developed to make it compatible within contexts such as the Dutch public sector. Vandenabeele (2008a) found that a model of three dimensions performed better than a four-dimension model of PSM (with “public interest” and “self-sacrifice” collapsed into one dimension). We therefore used a second order three-dimensional construct that includes the dimensions of attraction to public policy (APP), compassion (COM), and commitment to the public interest/self-sacrifice (CPI).
Affective commitment. Affective commitment was measured with four items from the validated affective commitment scale of Allen and Meyer (1990).
Turnover intention. Turnover intention was measured with a single item: Are you currently looking for another job? Although a single-item measure precludes analyses of reliability, it is a frequently applied measure in studies of turnover intentions (e.g., Conklin & Desselle, 2007; Grover & Crooker, 1995).
Professional expertise. Occupational expertise was measured with three items from Van der Heijden’s (2000) validated occupational expertise scale.
Proactive personality. Proactive personality was measured with five items from Bateman and Crant’s (1993) validated proactivity scale.
Control variables. Several control variables were also included. We dummy coded gender (0 = male, 1 = female). Age was categorized into five cohorts (1 = 15-24 years, 2 = 25-34 years, 3 = 35-44 years, 4 = 45-54 years, 5 = 55 years and older). Tenure was included as a continuous variable, expressed as the number of years employees have worked for the organization. We also included education, which was subdivided into seven categories, reflecting the Dutch educational system (1 = primary education, 2 = prevocational secondary education, 3 = senior general secondary education and preuniversity education, 4 = secondary vocational education, 5 = higher professional education, 6 = university education, 7 = academic education). Age and education were treated as continuous variables in line with Vermeeren, Kuipers, and Steijn (2014).
ANALISIS MENGGUNAKAN SEM
KESIMPULAN DAN HASIL
Artikel ini memiliki dua tujuan. Pertama-tama, kami bertujuan untuk memperluas model keterlibatan kerja JD-R dengan memasukkan literatur administrasi publik. Kedua, kami ingin berkontribusi pada literatur administrasi publik dengan mengintegrasikan literatur keterlibatan kerja dan secara inheren perspektif psikologi positif. Konsep keterlibatan kerja dikembangkan dalam kombinasi dengan model JD-R. Kami memperluas model ini dalam tiga cara. Pertama, analisis kami menunjukkan bahwa kepuasan dengan sumber daya terkait pekerjaan (otonomi, dukungan kolega, dan konten pekerjaan) mengarah pada keterlibatan kerja yang lebih tinggi di antara pegawai negeri daripada kepuasan dengan sumber daya terkait organisasi (dukungan pengawasan, peluang pengembangan, dan pengukuran kinerja). Penjelasan mungkin bahwa pegawai negeri menjadi sangat terlibat karena sumber daya motivasi intrinsik. Sumber daya pekerjaan diasumsikan memainkan peran motivasional intrinsik karena mendorong pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan karyawan, atau peran motivasional ekstrinsik karena berperan penting dalam mencapai tujuan kerja (Bakker & Demerouti, 2008). Sumber daya pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan terutama memenuhi peran motivasi intrinsik karena mereka membantu kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan untuk otonomi, keterkaitan, dan kompetensi (Deci & Ryan, 1985), sementara sumber daya pekerjaan yang berhubungan dengan organisasi, termasuk umpan balik kinerja dan pelatihan, meningkatkan kemungkinan sukses dalam mencapai tujuan kerja seseorang (Bakker & Demerouti, 2008). Temuan ini menegaskan bahwa—relatif terhadap pegawai sektor swasta—pelayan publik menjadi yang paling terlibat oleh faktor intrinsik termasuk sumber daya terkait pekerjaan (Buelens & Van den Broeck, 2007).
Selain itu, sumber daya pribadi pegawai negeri, termasuk kepribadian proaktif, pengalaman profesional, dan PSM, secara positif mempengaruhi keterlibatan kerja mereka. Namun, sejauh mana pegawai negeri memiliki kepribadian proaktif dan keahlian profesional tidak menjadi masalah bagi komitmen organisasi mereka. Selain itu, tingkat PSM dan keahlian profesional pegawai negeri memiliki efek signifikan positif terhadap niat mereka untuk meninggalkan organisasinya, bukan hubungan negatif yang diharapkan. Temuan bahwa PSM berhubungan positif dengan turnover intention (apabila organisasi tidak sejalan dengan PSM) menguatkan temuan Quratulain dan Khan (2015) yang juga menunjukkan kemungkinan “sisi gelap” PSM ini. Penjelasan yang mungkin untuk mekanisme ini adalah adanya ketidakcocokan antara individu dengan PSM tinggi dan lingkungan organisasinya. Ketika individu dengan PSM tinggi bekerja di lingkungan organisasi tertentu yang tidak memungkinkan mereka untuk memenuhi motif pelayanan publiknya, maka tidak ada yang disebut PSM-fit (Steijn, 2008). Ketidakcocokan ini dapat menyebabkan perilaku dan sikap negatif termasuk niat berpindah (Quratulain & Khan, 2015).
Kedua, analisis kami menunjukkan bahwa keterlibatan kerja secara signifikan memediasi hubungan antara sumber daya pekerjaan dan sumber daya pribadi pegawai negeri di satu sisi dan komitmen serta niat berpindah mereka di sisi lain. Sementara tingkat proaktivitas dan PSM pegawai negeri secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah mereka, pengaruh tidak langsung melalui keterlibatan kerja adalah negatif. Selain itu, tingkat proaktivitas dan keahlian profesional pegawai negeri hanya mempengaruhi komitmen organisasi ketika keterlibatan kerja mereka diperhitungkan. Dengan kata lain, keterlibatan kerja sepenuhnya memediasi efek kepribadian proaktif dan keahlian profesional pada komitmen organisasi. Hasil ini menunjukkan bahwa komitmen dan niat berpindah adalah sikap karyawan yang agak dangkal yang ditentukan oleh faktor lingkungan tetapi hampir tidak ditentukan oleh kepribadian individu. Sebaliknya, keterlibatan kerja ditentukan oleh karakteristik kepribadian dan faktor lingkungan, yang menegaskan gagasan bahwa keterlibatan kerja adalah keadaan pikiran pegawai negeri yang lebih luas dan lebih dalam daripada komitmen dan niat berpindah.
Ketiga, hasil kami menunjukkan bahwa birokrasi yang dirasakan oleh pegawai negeri tidak memiliki efek negatif pada keterlibatan kerja. Birokrasi yang dirasakan oleh pegawai negeri juga tidak mempengaruhi komitmen organisasi atau niat berpindah mereka. Namun, pengaruh sumber daya terkait pekerjaan pada keterlibatan kerja pegawai negeri lebih kuat ketika mereka merasakan birokrasi yang tinggi daripada ketika mereka merasakan birokrasi yang kecil. Selain itu, pengaruh sumber daya terkait organisasi terhadap keterlibatan kerja pegawai negeri lebih lemah ketika mereka merasakan banyak birokrasi daripada ketika mereka merasakan sedikit birokrasi. Dengan kata lain, hipotesis koping dikonfirmasi dalam kasus sumber daya terkait pekerjaan tetapi tidak dalam kasus sumber daya terkait organisasi (Bakker & Demerouti, 2008). Penjelasan yang mungkin adalah bahwa pegawai negeri, dalam kondisi birokrasi yang tinggi, menjadi semakin terlibat dengan sumber daya pekerjaan terkait pekerjaan mereka (termasuk rekan kerja, otonomi, dan isi pekerjaan) karena sumber daya ini adalah satu-satunya yang dapat membentuk penyangga (emosional) terhadap pita merah yang dirasakan. Sebaliknya, meskipun karyawan dapat, misalnya, puas dengan umpan balik dari penyelia mereka dan peluang pengembangan, mereka sering perlu mengisi, masing-masing, laporan kinerja tahunan dan mengumumkan biaya kursus, yang benar-benar mengurangi efek dari kepuasan dengan sumber daya organisasi ini pada keterlibatan kerja mereka. Dengan kata lain, tampaknya sumber daya yang terkait dengan organisasi di sektor publik secara otomatis disertai dengan birokrasi yang lebih banyak yang secara de facto mengarah pada penguapan efek positif dari sumber daya ini pada keterlibatan kerja. Hasil ini memberikan beberapa peluang menarik bagi manajer personalia publik untuk meningkatkan keterlibatan dan hasil karyawan.
Manajer personalia publik mungkin, misalnya, fokus terutama pada otonomi, kerja sama dengan rekan kerja, dan konten pekerjaan jika mereka ingin meningkatkan hasil. Manajer personalia publik juga dapat meningkatkan keterlibatan kerja dengan memilih personel dengan kepribadian proaktif dan PSM. Meskipun, dengan pemilihan karyawan PSM, manajer personalia publik harus mempertimbangkan kemungkinan “sisi gelap” PSM. Terlepas dari kontribusi ini, penelitian kami juga memiliki beberapa keterbatasan. Studi kami mencakup penggunaan data cross-sectional, yang tidak memungkinkan kami untuk mengklaim kesimpulan kausal mengenai hasil yang disajikan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa keterlibatan kerja, bukan hanya anteseden tetapi juga merupakan hasil dari komitmen organisasi. Selain itu, karena pertanyaan tentang semua faktor diajukan dalam survei yang sama, data dapat menjadi subyek bias sumber umum (CSB).
Meskipun ada beberapa tindakan pencegahan, penelitian selanjutnya dapat menggunakan desain longitudinal atau eksperimental untuk mengatasi CSB. Selain itu, kami menggunakan data sekunder. Kelemahan menggunakan data sekunder adalah operasionalisasi beberapa faktor, seperti birokrasi, telah diperbaiki sebelumnya. Namun, ada banyak perdebatan tentang operasionalisasi birokrasi. Selain itu, beberapa faktor kontekstual yang menarik tidak dapat dimasukkan seperti variabel yang terkait dengan kecocokan orang-organisasi dan tuntutan pekerjaan seperti ambiguitas peran dan tujuan. Keterbatasan ini mengisyaratkan kemungkinan arah penelitian di masa depan. Studi kami hanya berfokus pada efek keterlibatan kerja pada hasil "niat keluar" dan "komitmen organisasi". Seperti disebutkan sebelumnya, diharapkan keterlibatan kerja adalah prediktor kinerja pekerjaan yang paling kuat. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya mungkin berfokus pada efek keterlibatan kerja pada kinerja peran dan peran tambahan pegawai negeri juga. Selanjutnya, kami memasukkan PSM sebagai personal resource dan hasilnya menunjukkan bahwa PSM berpengaruh positif terhadap work engagement. Secara bersamaan, hasil kami juga menunjukkan bahwa PSM secara positif mempengaruhi niat berpindah. Dalam hal model JD-R, PSM karenanya dapat dilihat sebagai permintaan pekerjaan juga. Karena mekanisme ini dapat dijelaskan dengan PSM-fit, ini bisa menjadi usaha yang bermanfaat untuk mengintegrasikan konsep PSM-fit ke dalam model keterlibatan kerja JD-R dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, penelitian di masa depan mungkin juga berfokus pada konteks sektor publik lainnya seperti pendidikan dan kesehatan untuk memvalidasi hasil kami. Keterlibatan kerja pegawai negeri di sektor publik klasik (penyedia layanan pemrosesan orang) mungkin tidak terpengaruh oleh birokrasi karena lebih dilembagakan dalam konteks ini (Van Loon, 2015). Namun, pegawai negeri dalam konteks kelembagaan lain seperti pendidikan dan perawatan kesehatan (penyedia layanan yang mengubah orang) mungkin mengalami lebih banyak efek negatif dari birokrasi (Van Loon, 2015). Meskipun penelitian ini telah mampu menyajikan hasil yang menarik dengan mengintegrasikan keterlibatan kerja dan secara inheren perspektif psikologi positif dalam administrasi publik, masih banyak lagi yang bisa ditemukan.
0 comments:
Posting Komentar