Sabtu, 11 Februari 2023

PUBLIC EMPLOYEES’ RISK AVERSION AND ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR: THE EFFECTS OF ETHICAL LEADERSHIP, WORK CULTURE AND PUBLIC SERVICE MOTIVATION

 

PUBLIC EMPLOYEES’ RISK AVERSION AND ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR: THE EFFECTS OF ETHICAL LEADERSHIP, WORK CULTURE AND PUBLIC SERVICE MOTIVATION


(Aqli, Ujianto, Syafii, 2019)


Penelitian ini menganalisis pengaruh ethical leadership, work culture, and public service motivation pada penghindaran risiko dan perilaku OCB (organizational citizenship Behaviour) / perilaku yang berkomitmen kuat untuk masyarakat. Penghindaran risiko terhadap tidak terpenuhinya semua aturan dan regulasi yang rigid. Teori menyebutkan risk aversion merupakan perilaku kontekstual bukan merupakan karakter. Penelitian di south kalimantan province dengan metode kuantitatif dan  hasil temuan sebagai berikut  kepemimpinan berpengaruh positif terhadap perilaku penghindaran risiko tetapi tidak berdampak significant pada OCB, budaya kerja memiliki positive effect terhadap OCB dan penghindaran risiko, PSM tidak berdampak pada penghindaran risiko tetapi memiliki effect significant pada OCB dan penghindaran risiko memiliki dampak positif pada perilaku OCB, pentingnya pemerintah memiliki leader yang thical dan profesional budaya kerja. Penelitian ini memiliki orisinalitas nilai karena pertama kali menilai faktor penentu dan antecedent dari risk aversion atau penghindaran risiko dalam konteks public employee.

Pekerja dalam sektor publik sudah lama diketahui cenderung untuk menghindari resiko (Dur & Zoutenbier, 2013; Buurman, Delfgaauw, Dur & van den Bossche, 2012). Bekerja dalam posisi yang aman tanpa tindakan yang disalahkan jika gagal atau budaya yang kurang menyemangati seseorang untuk berani mengambil resiko seperti yang ada pada entrepreneurship, tetapi pegawai publik lebih memilih untuk tidak mengambil resiko karena beberapa faktor. Risk aversion adalah kecenderungan seseorang untuk sangat berhati-hati dalam mengambil resiko (Leahy, 2001). Dengan tidak mengambil resiko, maka kemungkinan karir, pendapatan, promosi akan terjamin karena tidak ada catatan kegagalan dalam karir pegawai tersebut. Bagi pegawai negeri tidak adanya catatan melanggar aturan yang telah ditetapkan merupakan jalan aman menuju puncak karir.

Hongdiyanto (2014) menemukan bahwa sebagian besar pegawai sektor publik bekerja adalah karena mereka menginginkan pendapatan yang stabil, jaminan kerja dan paket pensiun yang pasti. Loso (2008) juga menggunakan 300 sample bachelor graduate dari tiga universitas menemukan bahwa alasan mengejar profesi ASN adalah karena gaji (59.9%), masa depan yang baik (56,6%), paket pensiun (91,1%), senior benefits (69,9%), dan kerja relatif tanpa tekanan (67,8%). penelitian lain dalam konteks di daerah-daerah indonesia ASN merupakan pekerjaan yang memiliki status yang cukup tinggi di masyarakat (Di Mauro dan Musumeci, 2011).

Risk aversion sebenarnya dapat memberikan kondisi yang yang meyakinkan untuk membuat pemerintahan berjalan baik, asal saja kebijakan-kebijakan yang dibuat sudah benar-benar tepat. Indonesia saat ini sedang menurunkan jumlah pegawai negeri, tahun 2012 jumlah ASN sekitar 4,6 Juta dan Tahun 2017 total Jumlah ASN 4,3 juta (Tjiptoherijanto, 2018). Tren penurunan ini agar dapat membuat pekerjaan lebih efisien. Kecenderungan penurunan tersebut mengakibatkan persaingan yang semakin ketat dalam mendapatkan profesi pegawai negeri. Karena sebagian dari efisiensi pemerintah dikontribusikan oleh kinerja individu pegawai negeri, ada pertanyaan tentang apa peran penghindaran risiko dalam kinerja pegawai negeri. Apakah penghindaran risiko sebenarnya merugikan administrasi pemerintahan yang lebih bersifat swasta (Clark, 2016) saat ini di Indonesia?

Penghindaran risiko bisa jadi menjelaskan kenapa seseorang memiliki profesi ASN, beberapa alasan antara lain adalah stability, karir, culture. ketakutan akan hukuman disiplin, pemeriksaan oleh BPK maupun Itjen, prospek karir yang jelek, serta penghargaan atas pengambilan resiko dan keberhasilan tidak memperoleh penghargaan terhadap tindakan pengambilan resiko tersebut merupakan alasan-alasan perilaku penghindaran risiko. Indonesia juga diketahui masih memiliki level tingkat korupsi yang tinggi, tahun 2018 membuktikan 2,357 ASN dihukum bersalah karena tindakan korupsi (BBC, 7 September 2018). Korupsi merupakan tindakan beresiko yang sangat tinggi. seharusnya dengan perilaku penghindaran resiko maka korupsi dapat ditekan, menurut beberapa pendapat adalah karena pengaruh budaya yang masih menggap korupsi sebagai hal yang sejalan dengan tradisi budaya dalam masyarakat, sehingga perilaku ini sulit dikendalikan. (Costa dan Mainardes, 2015).

Penghindaran risiko sangat jarang sekali dijadikan faktor untuk memprediksi kinerja organisasi termasuk OCB (Leaahy, 2001). Variabel ini jarang digunakan karena menganggap risk aversion sebagai karakter individu dibanding karakter kondisi (Deckop et al, 2004). Leahy (2001) mengkonfirmasi bahwa risk aversion itu bukanlah karakter individu tetapi variabel kondisional. Penghindaran risiko sangat dipengaruhi oleh kondisi kerja, misal banyaknya aturan yang bertentangan dan sulit diterapkan dan banyak aturan yang mengatur setiap tindakan. Penambahan beban kerja karena harus mempersiapkan penjelasan dari perilaku mengambil resiko menyebabkan depresi atau perasaan yang tidak menyenangkan. Penelitian Guiso, Sapienza, dan Zingales (2018) yang menemukan bahwa penghindaran risiko bervariasi dari waktu ke waktu dan meningkat secara substansial setelah krisis. Lalu faktor apa saja yang mempengaruhi pengambilan resiko? mahasiswa yang memiliki ayah yang bekerja di sektor publik cenderung menghindari risiko (De Paola, 2013). Beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan resiko antara lain kepemimpinan, budaya kerja, dan motivasi pelayanan publik. 

Peneliti mengemukakan tiga variabel yang berpotensi meningkatkan risk aversion karyawan, yaitu kepemimpinan etis, budaya kerja, dan motivasi pelayanan publik. Budaya kerja dan motivasi pelayanan publik merupakan variabel umum dalam manajemen publik di Indonesia, sedangkan kepemimpinan etis merupakan variabel baru yang dapat memberikan kebaruan untuk penelitian ini.


Theoretical Review

Ethical Leadership

Li (2013) memandang kepemimpinan transformasional sebagai titik awal menuju konsep kepemimpinan yang lebih berorientasi pada aspek etika. Etika sangat berkaitan dengan adat istiadat, norma-norma masyarakat dan budaya sosial masyarakat setempat terutama dalam memberikan pelayanan oleh pemerintah. Menghilangkan konsep transformasi kepemimpinan yang autentik, membuat pemimpin yang autentik benar-benar memimpin orang lain sesuai dengan moralitas dan memahami bawahannya secara jujur dan akurat, terlepas dari apakah bawahannya harus diubah atau tidak.

Konsep kepemimpinan etis kemudian muncul melalui pemikiran Brown et al (2005) berdasarkan teori pembelajaran sosial. Brown et al (2005) mendefinisikan kepemimpinan etis sebagai "pertunjukan perilaku yang sesuai secara normatif melalui tindakan pribadi dan hubungan interpersonal, dan promosi perilaku tersebut kepada pengikut melalui komunikasi dua arah, penguatan, dan pengambilan keputusan". Riggio et al (2010) mengkritik definisi Brown et al (2005) karena tidak menangkap konsep etika yang lengkap. Seseorang yang berperilaku jahat dan kejam dapat dilihat sebagai pemimpin yang beretika menurut definisi sejauh perilaku tersebut dianggap layak secara normatif dalam organisasi yang dipimpinnya. Secara etis, pemimpin harus didasarkan pada konsep etika universal. Riggio et al (2010) merujuk kembali pengertian etika sebagai sesuatu yang merupakan prinsip benar dan salah dalam kehidupan. Pemimpin etis tidak lain adalah pemimpin yang menunjukkan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal tersebut. Riggio et al (2010) lebih mendalami prinsip apa saja yang dipandang sebagai prinsip etika universal dan menemukan empat prinsip kebaikan, yaitu kehati-hatian, kesederhanaan, ketabahan, dan keadilan. Sejalan dengan hal ini, Riggio et al (2010) mendefinisikan pemimpin etis sebagai “pemimpin yang karakteristik dan tindakan pribadinya sejalan dengan empat kebajikan utama yaitu kehati-hatian, kesederhanaan, ketabahan, dan keadilan”. Monahan (2012) menemukan bahwa para eksekutif umumnya memandang bahwa kepemimpinan etis tidak lain adalah “pemimpin yang memiliki karakter yang baik dan nilai-nilai yang benar atau menjadi orang yang berkarakter kuat” (Monahan, 2012).


Budaya Kerja

Menurut peraturan MenPanRB no. 39 tahun 2012 yang menjelaskan mengenai budaya kerja yang harus ada di ASN adalah “sikap dan perilaku individu dan kelompok berdasarkan nilai-nilai yang diyakini benar dan telah menjadi sifat dan kebiasaan melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari”. Ringkasnya, budaya kerja didefinisikan sebagai “cara pandang seseorang dalam memberi makna pada pekerjaan”. Budaya kerja juga diturunkan dari konsep budaya organisasi sehingga indikator budaya kerja akan tergantung pada organisasi masing-masing. Padahal, peraturan ini memberikan sejumlah langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan indikator budaya kerja masing-masing instansi pemerintah.


Public Service Motivation

PSM merupakan variabel motivasi intrinsik yang mengukur sejauh mana motif seorang PNS dalam melaksanakan pelayanan publik. Motivasi bersifat individual, sehingga dapat menangkap prediktor yang menentukan kinerja PNS dari aspek personal, sebagai pelengkap budaya kerja universal dan kepemimpinan etis kolektif. Ada tiga jenis motivasi pelayanan publik, yaitu motivasi rasional, normatif, dan afektif. Alasan rasional adalah motif untuk memaksimalkan kepentingan pribadi seseorang. Alasan ini dioperasionalkan dalam bentuk kepentingan dalam pengambilan keputusan publik. Alasan normatifnya adalah komitmen untuk melayani kepentingan publik, mencapai keadilan sosial, dan menjalankan tugas sipil. Motivasi afektif adalah patriotisme dan pengorbanan diri (Naff dan Crum, 1999).


Hypotheses

Penghindaran risiko ada pada setiap orang tetapi derajat pengambilan resiko tentu berbeda pada tiap orang. Mereka yang bekerja di ASN memiliki kecenderungan menghindari resiko. Budaya kerja, sanksi tegas, peraturan yang ketat, keamanan karir menjadikan ASN untuk berpegang teguh pada aturan dan menghindari resiko. Apabila setiap aturan dijalankan maka akan mencapai tujuan dari organisasi yaitu OCB. adapun hipotesisnya adalah:

H1: Penghindaran risiko secara positif mempengaruhi perilaku OCB


“Ethical leadership has long been seen as a predictor of organizational citizenship behavior” (Mayer et al, 2009; Shin, 2011; Kalshoven et al, 2011). Ethical leadership dapat berdampak pada perilaku OCB karena pegawai melihat dan belajar dari pimpinannya (Brown and Trevino, 2006; Tour and Ofori, 2009).

H2: Kepemimpinan etis berpengaruh positif terhadap pengalihan risiko 

H3: Kepemimpinan etis berpengaruh positif terhadap perilaku OCB


Budaya kerja yang baik seharusnya menjadikan karyawan lebih berorientasi melayani masyarakat. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan pelayanan publik. Karyawan juga dapat diminta untuk lebih berhati-hati agar tidak mengambil risiko dalam melayani kepentingan publik. Meski begitu, belum ada studi yang lebih mendalam tentang dampak budaya kerja terhadap penghindaran risiko. Peneliti berpendapat bahwa karyawan akan lebih menghindari risiko karena dihadapkan pada persepsi publik yang rendah terhadap kinerja pegawai publik. Mereka akan semakin berpegang pada undang-undang untuk menghasilkan layanan publik yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, hipotesis keempat dan kelima adalah: 

H4: Budaya kerja berpengaruh positif terhadap risk aversion karyawan 

H5: Budaya kerja berpengaruh positif terhadap perilaku kewargaan organisasi


“Padahal harus benar-benar dilihat dan dipahami apakah budaya kerja dengan taat selalu pada peraturan berarti menyerahkan segalanya pada pembuat peraturan atau legislatif, dimana ASN tidak berpendapat melihat fakta dilapangan yang seringkali berbeda. Peraturan dianggap kitab suci yang isinya adalah kebenaran dan semua harus tunduk pada peraturan”.


Anderfuhren-Biget et al (2010) menemukan bahwa motivasi pelayanan publik meningkatkan motivasi kerja secara keseluruhan. Ritz et al (2016) melakukan meta-analisis terhadap 239 penelitian sebelumnya tentang motivasi pelayanan publik. Mereka menemukan bahwa motivasi pelayanan publik berdampak pada kepuasan kerja, pilihan pekerjaan di sektor publik, kinerja individu, komitmen organisasi, niat pensiun dini, kesesuaian organisasi seseorang, perilaku kewargaan organisasi, kinerja organisasi, motivasi kerja, upaya kerja, penggunaan kinerja. stres terkait pekerjaan, pilihan pekerjaan intrinsik, komitmen kerja, valensi misi, pilihan insentif ekstrinsik, pilihan untuk berkontribusi, daya tarik organisasi, kualitas pekerjaan, dan daya tanggap.

Namun, hubungan antara PSM dan penghindaran risiko tidak jelas. Jika dilihat bahwa penghindaran risiko adalah efek dari depresi, maka menurut teori portofolio, motivasi pelayanan publik seharusnya memiliki efek negatif. Sementara itu, jika risk aversion dipandang sebagai salah satu bentuk kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, baik secara sukarela maupun terpaksa, PSM harus mendorong karyawan untuk lebih mematuhi peraturan karena mencerminkan pelayanan publik yang baik. Kami lebih cenderung melihat bahwa ada hubungan positif antara PSM dan penghindaran risiko, sesuai dengan karakteristik karyawan di lingkungan publik. Sejalan dengan pendapat tersebut, dihipotesiskan bahwa: 

H6: PSM akan berpengaruh positif terhadap risk aversion


Kebingungan ini terjadi karena PSM melihat realita dan fakta di lapangan, apakah peraturan-peraturan tersebut menyusahkan masyarakat atau tidak? jika di atas kertas peraturan  memang baik tapi karena kenyataan peraturan sangat buruk di masyarakat maka PSM  akan memiliki dampak positif bagi pengambilan resiko hal ini juga senada dengan perilaku OCB, selama peraturan baik dan memang tepat yang dilihat oleh ASN maka PSM dan OCB akan mendukung risk aversion , tapi jika peraturan berkebalikan maka PSM dan OCB akan mendorong untuk mengambil resiko


Participants 

One hundred and ninety-two public employees (192) who worked in  the Tapin District Government

Research Instrument

  • Risk Aversion scale from Leahy (2001) was modified into three items: threat, uncertainty, and risk taking.

  • Organizational citizenship behavior was developed using instruments from Niehoff and Moorman (1993) with five indicators: altruism, conscientiousness, sportsmanship, courtesy, and civic virtue.

  • The ethical leadership instrument, developed from Brown et al (2005), consists of four items: critical attitude, rational attitude, autonomous attitude, and fair attitude.

  • A work culture variable is measured using five indicators: basic assumptions about work, attitudes toward work, behavior when working, work environment, and work ethic.

  • PSM, we use the public service motivation instrument from Perry (1996) with three indicators: rational, normative and affective motives. 

  • All instruments are measured in the five Likert Scale.


Analysis

We use CFA (Confirmatory Factor Analysis) to determine the validity of the scales


Result

H1 : Risk aversion dan perilaku OCB memiliki hubungan yang positif, semakin kuat penghindaran risiko maka semakin kuat perilaku OCB (dengan kata lain peraturan yang telah ditetapkan pemerintah sudah berjalan sebagaimana mestinya sesuai persepsi pegawai, sehingga perilaku OCB juga meningkat)

H2 : ethical leadership berhubungan positif dengan perilaku penghindaran risiko

H3 : pemimpin yang etik akan meningkatkan perilaku OCB, jelas pemimpin yang etik menghadapi norma dalam masyarakat dan meletakkannya dalam kepemimpinannya sehingga perilaku ethical leadership berhubungan positif dengan OCB

H4 : budaya kerja mempengaruhi Penghindaran risiko dan OCB secara positif

PSM mempengaruhi OCB secara positif tetapi PSM terhadap penghindaran risiko tidak berpengaruh secara significant, PSM lebih cenderung melakukan pengorbanan untuk memberikan pelayanan terbaik termasuk pengambil resiko bukan menghindarinya.


Penelitian Deckop et al (2004) yang menemukan bahwa penghindaran risiko memoderasi hubungan antara insentif dan perilaku anggota organisasi secara negatif. Artinya, semakin tinggi penghindaran risiko, semakin rendah pengaruh insentif terhadap perilaku kewargaan organisasi (“hal ini mungkin berlaku dalam dunia bisnis tetapi dalam struktur pemerintah tindakan beresiko yang sebenarnya dapat mendatangkan hasil yang sangat bermanfaat selalu dihindari karena regulasi ketat, budaya kerja, pertanggungjawaban, masa depan karir, serta manfaat insentif dari tindakan tersebut tidak sebanding dengan resiko”) . Artinya, karyawan dengan penghindaran risiko tinggi akan tetap berusaha lebih sedikit untuk mencapai perilaku OCB meskipun mereka telah diberi insentif untuk perilaku tersebut. Sebaliknya, karyawan dengan penghindaran risiko rendah akan senang mengekspresikan perilaku kewargaan organisasi, terutama jika perilaku tersebut menerima insentif atau pengakuan dari organisasi. Hal ini menyebabkan penghindaran risiko yang lebih rendah dan efek insentif yang lebih tinggi pada OCB.

Temuan bahwa penghindaran risiko memiliki efek positif pada OCB dalam penelitian ini bertentangan dengan temuan ini, tetapi dapat dipahami mengingat penghindaran risiko sangat penting dalam konteks layanan publik. Dalam kondisi ini, penghindaran risiko akan mendorong karyawan lain untuk tetap berada dalam koridor peraturan perundang-undangan.

Temuan bahwa kepemimpinan etis berdampak positif pada penghindaran risiko menunjukkan bahwa perilaku etis oleh atasan memberikan dukungan bagi karyawan untuk mengambil tindakan terhadap penghindaran risiko etis. Pegawai menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan sehingga tidak berani mengambil resiko dalam melakukan sesuatu yang tidak layak secara hukum atau etika yang dapat menimbulkan masalah dalam memberikan pelayanan publik. Meski begitu, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan efek positif kepemimpinan etis terhadap perilaku OCB (Mayer et al, 2009; Shin, 2011; Kalshoven et al, 2011). Studi saat ini menemukan bahwa kepemimpinan etis tidak berpengaruh pada perilaku anggota organisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh pemimpin etis lebih berorientasi pada kinerja tugas dan tidak memperhatikan masalah etika dalam kinerja kontekstual seperti perilaku kewargaan organisasi. (“pemimpin ethic disini lebih mentaati etika organisasi dibanding etika yang berlaku dalam masyarakat”).

Sedangkan budaya kerja berpengaruh positif terhadap risk aversion. Semakin tinggi budaya kerja, semakin tinggi penghindaran risiko karyawan. Sejalan dengan itu, budaya kerja juga berpengaruh positif terhadap OCB. Pengaruh positif budaya kerja terhadap OCB menunjukkan bahwa budaya kerja berorientasi pada pencapaian tujuan, dan hal ini dapat dilakukan melalui OCB. Budaya kerja yang baik akan menghasilkan kepercayaan profesional yang dapat membantu dalam pertukaran sumber daya, pertukaran sosial, komunikasi, kerjasama antar karyawan, inovasi, dan fungsi organisasi (Jones dan George, 1998; Putnam, 1993.)

PSM tidak ditemukan mempengaruhi penghindaran risiko. Hasil ini berlawanan dengan intuisi karena motivasi seharusnya mendukung karyawan untuk menaati aturan. Situasi ini dapat dijelaskan jika PSM bermata dua untuk menghindari risiko. Di satu sisi, motivasi mendorong karyawan untuk bekerja sebaik mungkin sesuai dengan peraturan yang berlaku pada profesinya. Di sisi lain, motivasi juga mendorong pegawai untuk mengambil inisiatif berisiko jika peraturan yang ada belum cukup untuk memberikan layanan publik yang berarti. Hubungan positif antara PSM dan OCB dapat dijelaskan dengan adanya konsep keutamaan kewarganegaraan yang merupakan salah satu indikator OCB.


Kesimpulan

Kepemimpinan etis dan budaya kerja dengan menyoroti peran penghindaran risiko.

Saat pemimpin bertindak sesuai dengan norma yang diterima secara umum, karyawan akan memahami aturan tambahan yang tidak boleh dilanggar, yang pada gilirannya membuat mereka lebih menghindari risiko. Sementara itu, budaya kerja profesional membantu dalam meningkatkan penghindaran risiko karena menegaskan profesionalisme yang ditandai dengan kepatuhan terhadap peraturan yang memandu profesi. Studi ini berimplikasi pada pentingnya organisasi layanan publik untuk mengambil langkah-langkah yang membuat pegawai publik lebih mematuhi undang-undang melalui peningkatan penghindaran risiko. (antara Penilaian individu dan penilaian organisasi siapa yang betul?).

Selain itu, budaya kerja yang positif harus lebih ditanamkan agar pegawai dapat lebih memahami bahwa kepatuhan terhadap peraturan sangat penting untuk memberikan pelayanan publik yang baik. Ilusi Studi ini berkontribusi pada literatur kepemimpinan etis dan budaya kerja dengan menyoroti peran penghindaran risiko. Saat pemimpin bertindak sesuai dengan norma yang diterima secara umum, karyawan akan memahami aturan tambahan yang tidak boleh dilanggar, yang pada gilirannya membuat mereka lebih menghindari risiko. 

Sementara itu, budaya kerja profesional membantu dalam meningkatkan penghindaran risiko karena menegaskan profesionalisme yang ditandai dengan kepatuhan terhadap peraturan yang memandu profesi. Studi ini berimplikasi pada pentingnya organisasi layanan publik untuk mengambil langkah-langkah yang membuat pegawai publik lebih mematuhi undang-undang melalui peningkatan penghindaran risiko (Dorongan pemahaman yang utuh terhadap peraturan). Pemerintah dapat melatih para pemimpin untuk menjadi pemimpin yang beretika yang mampu menjaga kepatuhan karyawan terhadap aturan hukum dan etika. Selain itu, budaya kerja yang positif harus lebih ditanamkan agar pegawai dapat lebih memahami bahwa kepatuhan terhadap peraturan sangat penting untuk memberikan pelayanan publik yang baik. Meskipun memiliki implikasi teoritis dan praktis seperti diatas, penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Karena penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, peneliti tidak mungkin membuat kesimpulan kausal yang lengkap tentang pengaruh kepemimpinan etis, budaya kerja, dan motivasi pelayanan publik terhadap perilaku penghindaran risiko dan OCB. Ada kemungkinan bahwa perilaku OCB justru menjadi motif bagi karyawan untuk mematuhi organisasi (apabila peraturan sejalan dengan norma masyarakat), sehingga meningkatkan penghindaran risiko karena berhutang kepada organisasi, sesuai dengan teori pertukaran sosial. Artinya, ada kemungkinan bahwa OCB mempengaruhi penghindaran risiko, daripada penghindaran risiko yang mempengaruhi perilaku kewargaan organisasi. 

Nicholson-Crotty, Nicholson-Crotty, dan Fernandez (2016) bahkan menunjukkan bahwa kinerja organisasi berpengaruh terhadap perilaku risk averse. Akibatnya, model hipotesis yang diajukan oleh studi ini dapat diperiksa dengan lebih baik menggunakan pengukuran berulang atau melalui desain longitudinal, dimana data dikumpulkan beberapa kali dalam interval waktu yang cukup lama. Keterbatasan lainnya adalah jumlah responden yang relatif sedikit. Responden yang digunakan dalam penelitian ini hanya 130 orang. Ukuran sampel dapat menjelaskan beberapa hubungan yang tidak signifikan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya harus dilakukan untuk mereplikasi dengan ukuran sampel yang lebih besar, terutama di bidang dampak PSM pada penghindaran risiko.



"PENTING

Penelitian ini menunjukkan aturan, regulasi, yang telah dibuat sudah mencapai tahap ideal sehingga pemahaman bahwa regulasi tersebut adalah benar dan tepat bagi kepentingan masyarakat, sehingga baik leadership ethic, budaya kerja, penghindaran risiko semua berjalan beriringan tetapi apabila kenyataan peraturan tersebut dilihat sangat menyulitkan dan merugikan rakyat maka tentu semua akan berubah pandangannya. jadi perlu dimasukkan variabel pandangan masyarakat jangan menilai hanya dari sisi ASN, apabila masyarakat berkebalikan menilai nya tentu hal ini akan menjadi sangat kacau, apa yang dilihat ASN baik ternyata berdampak buruk bagi masyarakat itu sendiri.



0 comments:

Posting Komentar