Selasa, 29 November 2022

Info Grafis Data



Data diperoleh dari data empiris, lalu menjadi sebuah informasi, informasi-informasi yang ada menjadi pengetahuan dan seterusnya.


Proses perubahan data sampai menjadi Wisdom adalah bentuk pendalaman dan pengolahan

analytic data merubah data menjadi informasi, pengetahuan, dan akhirnya diambil kebijakan




Model Analytic data mulai dari data dapat memberikan gambaran, lalu gambaran di diagnostik atau dianalisas lebih mendalam, dan dapat menjadi trend yang dapat di prediktif kemudian macam-macam trend menjadi preskriptif untuk gejala-gejala tertentu (prescriptif sudah seperti resep obat)
Manfaat data


Literasi Digital
Kebijakan di kemenkeu PMK 191/2018 dan KMK 241/2021 &KMK 942/2019 etika penggunaan internet. Transformasi digital kemenkeu 2019-skrang. mewujudkan budaya kemenkeu berbasis digital (memasukkan nilai2 kemenkeu dalam kecakapan digital)

hak digital (akses, ekspresi dan aman) merupakan salah satu bagian dari HAM yang menjamin tiap2 orang untuk dapat mengakses, menggunakan,membuat, mengekspresikan dan menyebarluaskan media digital. tentu dengan rambu-rambu tertenntu, prinsipnya sama seperti hak asasi manusia lain seperti hak bicara dan berpendapat.

pemerintha harus melindungi hak2 tersebut seperti aman (bebas dari peretasan, penyadapan, perlindungan privasi, dsb), akses (penyedian infrastruktur digital, akses digital ke seluruh wilayah, kesetaraan akses gender dsb), Ekspresi (kebebasan berkespresi dengan norma dan nilai)

Pola kerja baru dari Transformasi digital yaitu system kerja hybrid (bekerja terbebas dari ruang dan waktu, bekerja anywhere/WFA work from anywhere dan anytime)virtual time (homebase, rumpun, jarak tmpt tinggal)

Digitalisasi layanan
Kompetensi digital literacy

- Digital skill, digital ethics, digital culture dan digital safety































TIK : KMK 241/2021 tentang TIK

Senin, 28 November 2022

Kondisi Bekerja dan Masalah Sumber Daya Bab III BOOK STREET-LEVEL BUREAUCRACY Dilemmas of The Individual in Public Service (Michael Lipsky, 1980)

Kondisi Bekerja dan Masalah Sumber Daya
Bab III

BOOK STREET-LEVEL BUREAUCRACY
Dilemmas of The Individual in Public Service

(Michael Lipsky, 1980)

    SLB secara konsisten dikritik atas ketidakmampuan mereka menyediakan layanan yang responsif dan pelayanan yang tepat. SLB juga dikritik karena tidak mampu memberikan pelayanan human service tetapi hanya seperti mesin yang diperintah. Lingkungan kondisi kerja dari SLB sangat terstruktur adalah dalam prakteknya banyak kondisi-kondisi yang berada di luar jangkauan prosedur sehingga mereka dituntut untuk dapat membuat diskresi. SLB juga memiliki pengalaman pada kondisi kerja sebagai berikut:
  1. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh SLB untuk memberikan kinerja dalam kondisi-kondisi yang sangat fluktuatif
  2. Permintaan untuk layanan cenderung dapat terus meningkat
  3. Target organisasi yang cenderung sangat ambisius dan melupakan kemauan keinginan dari SLB
  4. Kinerja diorientasikan hanya pada pencapaian goal organisasi saja
  5. Pengabaian SLB dan tekanan organisasi berakibat SLB mencari jalan tengah lain
    Bahkan ketika organisasi memberikan kelonggaran yang dianggap sebagai kompensasi dari tekanan ambisinya, sehingga tuntutan organisasi tidak akan berkurang dan akan terus bertambah dengan kompensasi yang menurut organisasi sudah sangat cukup tetapi perlu diingat bahwa tiap SLB memiliki kebutuhan yang berbeda dan hal itu tidak pernah cukup.

Masalah Sumber Daya
    Pembuat kebijakan selalu berada dalam kondisi keterbatasan waktu dan informasi. ketika membuat suatu kebijakan upaya untuk menyerap informasi dari lapangan serta pengamatan cenderung tidak maksimal karena mengabaikan hal-hal kecil yang mungkin dapat menjadi vital dan dilaksanakan dengan cerminan waktu ke belakang serta dalam tempo yang segera. Dalam pembuatan kebijakan, hasil produk kebijakan tersebut pasti memiliki kekurangan-kekurangan dari bias-bias informasi tersebut. di sinilah SLB dituntut untuk dapat membuat kebijakan atau diskresi dari celah-celah yang luput dari suatu kebijakan dan kondisi aktual di lapangan.
    Banyaknya dan variatifnya subjek serta tingginya frekuensi yang harus dilayani, sementara SLB hanya berpegangan pada prosedur yang pada akhirnya tidak dapat melihat subjek yang potensial maupun subjek yang dapat mempengaruhi opini publik sehingga memperkeruh pandangan tentang pemerintah dalam memberikan pelayanan. SLB juga sering dihadapkan pada jumlah klien yang tinggi dengan variatif masalah yang beragam sehingga pengukuran kuantitas tidak dapat mewakili beban pekerjaan SLB. Tingginya frekuensi juga menyebabkan lambatnya proses, kapasitas kompetensi dari ASN SLB juga mempengaruhi kecepatan serta penggunaan sarana dan prasarana dalam mendukung pekerjaan juga dapat mempengaruhi kecepatan proses.
    Bagaimana SLB harus dapat berlaku adil dan setara dalam menghadapi banyaknya dan tingginya frekuensi customer yang datang di saat tertentu. Selain itu problemnya pun juga sangat bervariasi sementara kemampuan dari masing-masing klien tentu terbatas dan tingkat problem bagi masing-masing individu juga berbeda-beda, ada yang perlu segera diselesaikan dan ada yang masih dapat ditunda. bagaimana SLB mampu untuk memberikan keadilan memprioritaskan, dengan memberikan diskresi? tetapi unsur keadilan dan kesetaraan dapat dilaksanakan juga?
    Tuntutan yang tinggi tetapi tidak disertai dengan sumber daya yang cukup maka akan menimbulkan stres bagi individu yang menjalankan kebijakan pada level SLB. Di satu sisi ketidakmampuan untuk mengambil keputusan yang cepat akan diinterpretasikan sebagai tidak kompeten atau kekurangan dari SLB. pelayanan pada level SLB juga identik dengan pelayanan administrasi, di mana klien harus mengisi form dan menyiapkan berkas-berkas terlebih dahulu yang tentunya memakan waktu sangat banyak dari sisi klien sementara itu di sisi ASN SLB juga tetap harus menyiapkan administrasi yang memakan waktu cukup panjang.
    Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dalam birokrasi sangat menyita waktu seperti persiapan planning, pengisian formulir, ikut serta dalam seminar dan sebagainya yang kadang tidak berhubungan dengan pekerjaannya di dalam pelayanan publik. SLB dihadapkan pada kekurangan sumber daya seperti kekurangan pengalaman dan kekurangan pelatihan yang sangat diperlukan dalam menghadapi tuntutan yang variatif dan permasalahan di luar dari prosedural.
    Dari sisi perspektif manajemen, SLB bersumber dari unit yang terkhusus untuk melaksanakan tugas tertentu dan menghadapi berbagai situasi adalah sangat individual. Pekerja yang memiliki banyak pengalaman serta berbagai situasi yang pernah dilalui akan memperoleh respon yang cepat serta dapat menyelesaikan permasalahan dan dapat bekerja dengan baik keluar dari tekanan stress karena pengetahuan dan pengalaman tersebut. Apa yang dihadapi oleh SLB tidak dapat diprediksi dan setiap saat dapat mengancam kedudukannya sehingga sikap hati-hati dan menahan diri juga tetap terpelihara di ASN SLB.
    Suatu contoh bagaimana SLB ketika melihat pelanggaran tetapi ketika subjek tersebut bersikap sopan maka SLB akan melunak. sehingga konsep prosedural dapat dikalahkan oleh pengaruh emosi antar individu, tapi sebaliknya apabila pelanggar bersikap tidak sopan walaupun dia tidak melanggar maka SLB akan cenderung memperlakukannya dengan tidak sopan, artinya bahwa komunikasi antar individu mempengaruhi komunikasi prosedural. Dalam pelaksanaan tugas ASN SLB seringkali mendapatkan ancaman dan perlakuan yang kurang baik dari internal maupun eksternal. Contoh polisi ketika menghadapi kejahatan maka dia harus berbuat dengan ancaman dari penjahat begitu juga dengan guru ketika mengajar akan menghadapi ancaman maupun perlakuan yang mengancam dari muridnya. Beberapa ASN penegakan hukum seringkali mendapatkan ancaman baik soft ancaman maupun hak ancaman yang membahayakan dan mengancam dirinya ketika melaksanakan tugas. selain itu ancaman juga dapat datang dari atasan terutama posisi atasan sebagai penilai dapat memutar balikkan pandangan dan persepsi yang sangat subjektif.
    Ancaman internal datang dari kondisi organisasi seperti dari atasan, dari target, dan dari kondisi lingkungan kerja sementara ancaman eksternal datang dari pihak yang dihadapi dalam memberikan pelayanan maupun menegakkan peraturan. Hal ini akan berdampak pada psikologi ASN. Sebagai seorang polisi seringkali dihadapkan pada situasi yang sempit ketika memutuskan untuk menembak atau tidak menembak, menangkap atau tidak menangkap, atau melawan dalam rangka perlindungan diri.

Dr. Alfred Bloch, who evaluated and treated more than 200 inner-city Los Angeles teachers who had been assaulted while on the job, likens the psychological impact of these experiences to battlefield trauma. One recent study discovered significant correlations between relatively poor mental health and three indicators characteristic of street-level work: re-source inadequacy, overload (e.g. high caseloads, overcrowded classrooms), and role ambiguity.19”

Demand and Supply, or Why Resources Are Usually Inadequate in Street-Level Bureaucracies
    Karakteristik dalam pelayanan SLB ini adalah permintaan akan terus meningkat sementara resource tetap bahkan menurun. Apabila pelayanan meningkat maka permintaan akan layanan juga meningkat sehingga dibutuhkan resource untuk menghadapi permintaan yang tinggi tersebut. Setiap adanya pelayanan baru atau peningkatan pelayanan akan berdampak pada permintaan layanan seperti contoh ketika pemerintahan new York menambah jalur kendaraan yang sering macet bukannya malah menyelesaikan masalah macet karena semakin lancarnya jalan orang-orang beralih lagi ke menggunakan kendaraan pribadi sehingga lambat laun kemacetan pun terjadi lagi walaupun jalan sudah dilebarkan. Contoh lain misal ruang gawat darurat rumah sakit menjadi kebanjiran karena menyediakan perawatan medis gratis atau akses mudah ke perawatan pada saat sumber daya kesehatan lainnya, seperti dokter keluarga, semakin sedikit tersedia. Maka dari itu setiap pelayanan yang ditingkatkan akan tetap kebanjiran permintaan dari layanan tersebut dan SLB akan selalu sibuk karena kemudahan layanan.
    Sedangkan dari sisi anggaran semakin tinggi pelayanan yang diberikan maka jumlah anggaran akan semakin membengkak dan akhirnya mau tidak mau pelayanan harus di filter kembali hal ini sangat kontradiktif antara memberikan pelayanan terbaik dan pada akhirnya menguranginya kembali atau merupakan solusi mencari yang terbaik dari yang baik sehingga dapat proporsi paling ideal dari sebuah pelayanan. Salah satu dimensi dari pelayanan publik adalah quantity, untuk memahami antara permintaan dan sumberdaya dalam praktik maka harus memahami arti dari permintaan publik tersebut. Permintaan atas layanan publik bukan hanya dipandang sebagai sebuah transaksi antara pemerintah dan warganya tetapi juga konsep transaksi semakin tinggi permintaan maka kebutuhan resource/sumber daya untuk memenuhi permintaan juga semakin tinggi.
    Semakin mudah dan murah layanan diperoleh masyarakat maka intensitas akan semakin tinggi. Sementara itu, resource terbatas dan akhirnya layanan unggulan semakin menurun kualitasnya. Beberapa kondisi dan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
  • Ketika waktu SLB senggang, maka mulai memikirkan tambahan layanan ekstra bukan mengembangkan dan meningkatkan kualitas layanan
  • Klaim kualitas seringkali tidak dapat terukur karena tiap layanan dengan mempertimbangkan kualitas akan mempengaruhi waktu satu layanan dengan kualitas yang baik akan berdampak pada waktu yang tidak dapat terukur berbeda dengan kuantitas yang mudah diukur. Penilaian kinerja lebih mudah diukur dengan kualitas dan sering kali menjadi dasar pengukuran kinerja yang berdampak pada penilaian pegawai.
  • Walaupun jumlah ASN ditambah, hal ini belum tentu dapat mengefektifkan semua layanan karena walaupun ditambah aktual rata-rata layanan masih tetap sama artinya sebelumnya 10 orang menangani 100 orang walaupun ditambah menjadi 15 orang yang melayani 100 orang waktu pelayanan pun tetap sama. Artinya walaupun 15 orang tadi melayani 100 yang berarti satu orang sebelumnya melayani 10 orang dan sekarang mungkin kurang dari 8 orang waktu yang dibutuhkan juga sama.
    Hal ini juga terjadi ketika pelayanan permintaan pelayanan menurun drastis karena adanya perubahan kebijakan, perubahan populasi atau lingkungan yang berubah maka secara equal tekanan pun masih akan tetap sama. Artinya walaupun dari sisi kuantitas jauh berkurang ketidakcukupan sumber daya pun masih akan tetap ada karena hal-hal berikut: variasi dalam kasus beban tidak melewati ambang batas di bawah yang praktiknya meningkat secara substansial; (z) tekanan beban kasus berkontribusi pada lingkungan yang tetap ada meskipun kondisinya sedikit membaik; dan (3) konteks kerja birokrasi tingkat jalanan memiliki beberapa komponen yang saling berinteraksi.
    SLB berada pada pelayanan yang tidak dapat diprediksi hari ini bisa sangat ramai di waktu tertentu misal jam 10.00 sampai dengan jam 11.00 mencapai tingkatan yang paling tinggi tetapi di waktu berikutnya mungkin akan jauh berkurang semuanya tidak dapat diprediksi, selain itu masalahnya pun juga sangat variatif bisa saja di dalam satu waktu yang sama semua permasalahannya sangat berat dan kemudian bisa jadi dalam waktu yang sama permasalahannya pun juga ringan sehingga prediksi waktu dan kualitas pelayanan maupun kuantitas akan sulit untuk diprediksi. Masalah lain muncul seperti waktu tunggu yang lama, pembatalan janji, system error, dan biaya yang muncul atau tabrakan waktu karena kesulitan men schedule semua waktu. Beberapa solusi dari permasalahan ini adalah swing atau ayunan atau mobilisasi sumber daya yang lain misal ketika satu bagian penuh maka bagian lain akan mengisi untuk mengurangi demand yang terjadi.
    SLB seringkali tidak dilibatkan dalam setiap ide penambahan pelayanan, dan rasional SLB yang selalu ingin mencari keuntungan maksimal maka SLB sering bersifat biasa-biasa saja terhadap ekstra layanan yang sebenarnya berakibat pada tingginya permintaan layanan tersebut. Memang menjadi sebuah dilema ketika layanan semakin baik dan semakin bagus dan semakin mudah maka demand akan semakin tinggi dan permintaan layanan juga akan semakin membludak dan dampaknya adalah kekurangan resource lalu kemudian keterbatasan-keterbatasan ini akhirnya harus membatasi kualitas layanan yang ada atau mengurangi layanan dengan skala prioritas, hanya layanan unggulan yang diambil tetapi layanan prioritas ini harus di timbang menurut siapa dan seiring perkembangan waktu malah turun dan digantikan dengan demand yang tadinya mungkin dianggap paling jelek menjadi yang paling bagus dan yang paling dibutuhkan dalam masyarakat, semua tergantung situasi dan kondisi yang ada. sementara itu untuk ASN SLB yang kekurangan demand atas pelayanan perlu mengisi untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas layanan di sela-sela waktunya yang luang atau mengembangkan kompetensinya melalui pendidikan dan keahlian.

Jumat, 25 November 2022

Menciptakan Pemerintah yang Lincah, Kolaboratif, Koordinatif, Responsif, Akuntabel Merupakan Tantangan Manajemen Kebijakan Publik (Wahyudi Kumorotomo) Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia (Bab IX)

Menciptakan Pemerintah yang Lincah, Kolaboratif, Koordinatif, Responsif, Akuntabel Merupakan Tantangan Manajemen Kebijakan Publik
(Wahyudi Kumorotomo)

Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia
(Bab IX)

    Krisis pandemi covid-19 telah menunjukkan bahwa penting dan perlunya pemerintah yang kolaboratif dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa yang akan datang. Tanpa pemerintahan yang lincah dan kolaboratif tentu penyelesaian setiap masalah akan sangat lambat dan terkotak-kotak dan tentunya banyak sekali kegiatan-kegiatan yang sangat tidak efisien karena dilakukan oleh masing-masing unsur-unsur pemerintahan padahal setiap pekerjaan tersebut mungkin sudah sebagian atau seluruhnya dikerjakan oleh unsur lain dalam pemerintah.
    Di negara-negara maju seperti di Korea Selatan dan Jepang prinsip kolaboratif government ini telah berjalan dengan baik bahkan di negara-negara berkembang juga sudah mulai menerapkan prinsip kolaborasi ini. Tetapi Indonesia pada tahun 2019 masih saja menempati peringkat 73 dari 192 negara berdasarkan indeks easy of doing business. Terdapat suatu masalah yaitu kurang koordinasi dan kerjasama kolaborasi antar unsur-unsur di pemerintah sehingga setiap pekerjaan pemerintahan berjalan masing-masing dan sangat tidak efisien. Walaupun reformasi birokrasi telah dilakukan dan telah memberikan dampak yang besar seperti akuntabilitas, penyederhanaan struktur organisasi dan keterbukaan informasi publik tetapi dari sektor kerjasama antar unsur-unsur masih belum tercipta dengan baik. Masing-masing organisasi publik seolah-olah berdiri sendiri sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa menghiraukan institusi publik lainnya yang saling beririsan. Apalagi adanya standarisasi serta prosedur-prosedur yang ketat membuat organisasi administrasi publik sangat kaku dalam berkoordinasi satu sama lain. Ketidakpahaman terhadap instansi lain pun juga seringkali menjadi hambatan dalam koordinasi dan kolaborasi tersebut.

Relevansi Kinerja Organisasi dengan Daya Saing Bangsa
    Kegagalan kolaborasi akan berdampak pada berkurangnya nilai investasi pada suatu negara karena dianggap membuat pekerjaan investasi berulang-ulang kali padahal persyaratan yang diminta masing-masing instansi adalah sama. Data BKPM pada tahun 2018 menunjukkan bahwa proporsi FDI Indonesia hanya sebesar 22,1 persen dari PDB, kalah jika dibandingkan dengan Filipina (25,1 persen), Thailand (45,7 persen), dan bahkan Vietnam (60,1 persen). Kegagalan memberikan kepercayaan dalam rangka memberikan keterjaminan investasi di Indonesia juga mengakibatkan ketidakpercayaan investor internasional dalam menginvestasikan usahanya ke Indonesia. hal ini tentu juga dikarenakan sistem pemerintahan atau cara kerja birokrasi yang masih buruk dan tentu dapat merugikan investor di kemudian hari.

Pemerintah yang Lincah (Agile Government)
    Kalangan bisnis dapat bergerak lebih leluasa karena tidak terikat pada prosedur yang sangat ketat sehingga menciptakan inovasi-inovasi terutama dengan pemaksimalan pemanfaatan teknologi sementara di dalam sektor publik masih dibatasi oleh prosedur yang sangat ketat dan kerahasiaan informasi publik serta keterbatasan dalam berinovasi dan kurangnya motivasi untuk dapat adaptif dalam perubahan yang terjadi. Dalam sektor swasta, penjelasan tujuan sudah sangat jelas dalam mencari customer, mendapatkan keuntungan dan memenangkan persaingan. Sementara pada sektor publik penjelasan tujuan sangat variatif tergantung dengan lingkungan dan tingkat kemampuan dari warga negara dalam menyerap distribusi barang dan jasa publik. Hal ini sulit dalam pencapaian tujuan organisasi publik karena sangat variatif dan kompleks sehingga pelaksanaan dengan standar dan seragam tertentu tentu tidak dapat membuahkan hasil yang maksimal karena sangat bergantung dengan konteks masyarakat tersebut.
    Di sisi lain penerapan konsep bisnis tetap dijalankan dengan mengadopsi new publik manajemen agar dapat menghadapi perubahan dan persaingan serta pasar yang mendapat tempat di masyarakat. Konsep pemerintahan yang lincah juga harus didukung oleh sarana dan prasarana teknologi yang sangat masif dan berkembang saat ini, dengan memaksimalkan digitalisasi, big data, internet of thing, dan analisis informasi yang saat ini sudah sangat cepat di dalam media sosial maupun dunia informasi teknologi. Penerapan teknologi telah menjadi syarat fundamental dalam menghadapi kecepatan informasi serta kebutuhan pasar (Leybourn, 2013). Bahkan di negara maju pemerintah telah mengadakan pusat-pusat pengolahan data dalam rangka menjadi informasi yang akurat untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih tepat sasaran.
    Organisasi publik memiliki kemampuan yang optimal untuk mengolah data jumbo, mulai dari perawatan balita, pendidikan, kesehatan, pencegahan penyalahgunaan narkoba, keamanan dan pencegahan kejahatan, penciptaan layanan kota terpadu, transportasi, hingga pengolahan limbah. Bahkan tidak mustahil pelayanan administrasi publik akan diambil alih oleh teknologi sedangkan ASN akan bekerja dalam mengontrol pengolahan data yang masuk serta memberikan penyuluhan dan pendidikan terhadap layanan publik yang dapat diakses secara mandiri.
    Sistem logika teknologi yang rasional dipadukan dengan unsur manusia yang rasional dan juga emosional dapat menjadi acuan dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Model ini juga dapat mempercepat tugas-tugas pelayanan publik yang tepat sasaran. Teknologi telah menjadi alat bantu yang sangat mempermudah manusia bahkan dalam beberapa hal telah mengambil alih rutinitas pekerjaan manusia. Tetapi dalam perkembangan sentuhan tak manusia tetap berkontribusi dalam menghadapi tantangan perubahan selanjutnya.
    Banyak sekali penggunaan teknologi yang sudah mengurangi pekerjaan-pekerjaan manusia seperti contohnya adalah gardu tol otomatis layanan cetak KK melalui internet layanan yang diberikan dengan cara kita sendiri yang menyampaikan dan nantinya akan dicetak hasilnya secara otomatis melalui komputer apabila persyaratan yang telah diprogram oleh database telah sesuai. Perubahan yang sangat fenomenal dalam urusan pelayanan publik seperti perkembangan mesin tik menjadi komputer printer dan kemudian menjadi digitalisasi dan akhirnya sampai pada web, hal ini menunjukkan betapa efisiennya semakin meningkat seperti contoh ketika mesin tik sering kali apabila ada kesalahan harus menghapus atau merusak kertas yang sudah diketik, kemudian setelah menjadi komputer dapat dihapus sebelum ngeprint dan memastikan bahwa hasil ketikan sudah rapi terlebih dahulu lalu dicetak dan di print kemudian dengan sistem web tidak perlu mengeprint lagi karena detail sudah otomatis langsung masuk ke dalam database server.
    Penggunaan teknologi ini juga sangat tepat dalam menghadapi perubahan yang cepat serta kompleksitas dari pelayanan yang semakin tinggi. Penggunaan aplikasi seperti Microsoft word, penggunaan statistik seperti program SPSS maupun penggunaan network sistem aplikasi yang sangat membantu dalam proses pengiriman dokumen maupun lainnya yang sangat penting digunakan dalam model bekerja akan sangat membantu proses kecepatan pemerintah yang adaptif dan lincah. Contoh lain adalah penggunaan aplikasi Lawgeex, sebuah perangkat kecerdasan buatan untuk membaca kontrak-kontrak hukum sudah bisa secara telak mengalahkan manusia, baik dari segi kecepatan maupun akurasi. Seorang asisten pengacara terbaik hanya mampu membaca dokumen kontrak dengan akurasi 85 persen dalam waktu 92 menit. Sebaliknya, Lawgeex ternyata mampu membaca dokumen kontrak yang sama dengan akurasi 95 persen dalam waktu hanya 26 detik. contoh lain adalah penggunaan kalkulator dalam menghitung.
    Pada prinsipnya penggunaan teknologi ini adalah untuk mempermudah manusia bukan untuk menggantikan manusia. Sehingga manusia harus memaksimalkan teknologi yang dimiliki untuk mencari ide dan inovasi baru yang lebih kreatif dengan bantuan dari teknologi yang sudah ada. Diamandis dan Kotler (2014) melihat bahwa melimpahnya data, informasi dan perangkat mesin pengolah data itu akan mengakibatkan tiga kecenderungan secara serentak, yaitu dematerialisasi, demonetisasi, dan demokrasi. Dematerialisasi adalah suatu konsep tentang hilangnya benda fisik berubah menjadi digital. Penggunaan materi fisik akan berkurang karena tergabung dalam satu materi yang all in one/lengkap seperti Smartphone yang telah menggantikan telpon, buku, faximile dan komputer. Contoh lain adalah bagaimana Amazon mengeluarkan gadget teknologi Kindley yang bisa menyimpan puluhan ribu buku dalam satu tablet. Demonetisasi adalah bahwa biaya untuk membangun berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan oleh manusia semakin murah. teknologi memotong jalur distribusi kebutuhan dan menekan biaya yang dibutuhkan dalam rantai biaya sampai produk digunakan serta dematerialisasi yang sudah tercapai mengurangi beban yang ada. Sejumlah perpustakaan sekarang ini dapat dikelola oleh Amazon, panggilan langsung jarak-jauh yang dulu mahal dan rumit sekarang tergantikan oleh Skype, pemesanan akomodasi oleh hotel-hotel yang berbiaya operasional mahal sudah bisa digantikan oleh Airbnb, pertemuan rapat yang membutuhkan biaya banyak sekarang tergantikan oleh Zoom, dan masih banyak lagi hal-hal yang sudah berubah dengan perangkat aplikasi baru. Sementara itu, yang dimaksud Demokratisasi adalah setiap orang dapat bersuara dan beropini publik, dengan teknologi saat ini semua orang bisa menyampaikan hak politiknya tanpa menjadi pusat perhatian dari suaranya, dan tanpa mendapat tekanan politik yang langsung karena suaranya dapat didengarkan oleh banyak orang melalui konten-konten bahkan dapat menuai dukungan dan melindunginya dari serangan politik, penyampaian dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui formalitas dan filterisasi yang syarat politik dan kepentingan. informasi melalui TIK akan dapat menembus individu-individu yang selama ini terhijab oleh hegemoni kekuasaan.
    Untuk mencapai tahapan informasi yang merata sulit untuk dilakukan di Indonesia sebagai benua maritim dengan belasan ribu pulaunya. Salah satu kesulitan di Indonesia untuk mencapai perkembangan teknologi diatas adalah belum terbangunnya infrastruktur teknologi yang masih sehingga untuk menerapkan hal tersebut masih cukup sulit. Sementara itu di banyak negara dalam menghadapi perubahan teknologi yang masiv, mulai dikembangkanlah society 5.0 yang dapat menjadi tahapan selanjutnya dari reformasi teknologi yang terjadi saat ini untuk mempermudah dalam proses pelayanan publik dan menciptakan pelayanan publik yang semakin efisien, murah, cepat, dan sekaligus manusiawi dan responsif.

Kolaborasi: Semangat Governansi dan Karya Bersama (Co-Creation)
    Tidak hanya lembaga pemerintah saja yang dapat memberikan layanan publik tetapi sektor lain pun juga berperan dalam memberikan layanan publik. Maka dari itu mulai banyak organisasi di luar pemerintah yang menyelenggarakan layanan publik. Tuntutan yang semakin kompleks dan beragam telah memberikan kesempatan kepada sektor di luar pemerintah untuk menyelenggarakan layanan publik dengan standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, dan kesejahteraan sosial sekarang ini pun sudah menunjukkan bahwa yang terlibat bukan hanya lembaga pemerintah, tetapi juga perusahaan swasta, organisasi kemasyarakatan, yayasan kemanusiaan, dan berbagai jenis organisasi yang oleh para pakar politik sering disebut sebagai kelompok kepentingan (interest groups) atau kelompok penekan (pressure groups). tentunya organisasi yang memberikan ekspektasi lebih baik maka cenderung akan meminta kompensasi yang lebih tinggi. Pada saat itulah pasar bekerja dan melakukan penyaringannya sendiri untuk memfasilitasi bagi mereka yang mampu, sementara mereka yang tidak mampu hanya ada pilihan dengan pelayanan dengan standar minimal yang apabila semakin tinggi kuantitasnya maka kualitasnya akan menurun karena keterbatasan resource yang ada.
    Cara terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan keterbatasan tersebut adalah melakukan kolaborasi, sehingga dengan kolaborasi dari semua sumber nya yang sangat besar, keterbatasan-keterbatasan dapat diatasi. jika pada level mikro sulit untuk tercapai maka pada level makro dengan dukungan dari semua jaringan yang besar yang dimiliki dan kekuatan implementasi dari peraturan maka lembaga-lembaga pemerintah dapat bersaing. Perubahan yang cepat dan tuntutan masyarakat yang besar harus dilihat sebagai upaya untuk merevisi sistem dan struktur yang kaku menjadi lebih fleksibel. perbedaan visi dan misi antar organisasi pemerintah sendiri harus dapat difasilitasi, penilaian melalui standar juga harus difasilitasi dengan mengangkat kolaborasi sebagai aspek penting dalam standar penilaian, baik kepada lembaga yang berimbas langsung atau lembaga yang tidak terkait tetapi memberikan bantuan juga memperoleh penilaian atas usahanya.
    Konsep-konsep kerja sama yang sekarang sudah mulai dikenal seperti yang terkandung dalam gagasan triple-helix (pemerintah, swasta, masyarakat) atau penta-helix (pemerintah, perusahaan, masyarakat, perguruan tinggi, media) di masa depan akan semakin terbuka. Kemampuan untuk menjalin kolaborasi bagi penciptaan sistem manajemen layanan yang murah, efisien, cepat, dan sekaligus bertanggung jawab akan sangat menentukan. Setiap produk layanan akan menjadi milik bersama dan menjamin kepuasan semua pihak karena pada dasarnya merupakan produksi bersama (co-production) atau penciptaan bersama (co-creation).
    Perkembangan paradigma manajemen publik setelah era new publik manajemen dan new publik service adalah kolaboratif government. Di mana dengan sumber daya yang dimiliki yang tersebar secara luas, pemerintah harusnya memiliki kemampuan yang super dan lengkap dengan alat-alat yang menyebar di seluruh wilayah negara serta kewajiban mentaati peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh agen-agen pemerintah. Kolaborasi ini juga tidak hanya membatasi pada sektor pemerintah tetapi juga ke sektor swasta, pendidikan perguruan tinggi, masyarakat, dan unsur-unsur lainnya yang berpengaruh di dalam masyarakat.
    Implikasi konseptual yang antara lain dikemukakan oleh Amsler (2016:709) adalah bahwa tata kelola kolaboratif membutuhkan sintetis antara manajemen, politik, dan hukum. Untuk menciptakan sistem manajemen pelayanan publik yang efisien, efektif dan sekaligus responsif, sekat-sekat asumsi yang berasal dari sebuah disiplin ilmu tertentu harus dihapuskan. Utamanya adalah pendekatan integratif di dalam penyelenggaraan kebijakan maupun penerapan sistem layanan bagi segenap warga. Ada beberapa kriteria tata kelola kolaboratif yang harus dipertimbangkan, yaitu:
    Bahwa forum kerjasama biasanya diinisiasi oleh lembaga publik, tetapi sebenarnya inisiatif bisa datang dari mana saja;
  1. Partisipan yang mengaktifkan forum melibatkan banyak pelaku di luar negara;
  2. Peserta terlibat langsung dalam perumusannya, dan bukan sekadar “diajak terlibat” oleh pejabat lembaga publik;
  3. Forum secara fundamental memang diciptakan untuk mengakomodasi kepentingan kolektif;
  4. Forum bertujuan untuk membuat keputusan melalui konsensus, sekalipun konsensus itu di dalam praktiknya sulit dicapai, dan;
  5. Fokus dari kerjasama memang bidang-bidang yang terkait dengan kebijakan dan manajemen publik.
    Salah satu prinsip yang senantiasa menjadi tujuan dari penerapan prasyarat dan kriteria itu adalah terciptanya partisipasi yang optimal dari berbagai unsur organisasi,baik pemerintah, swasta maupun komunitas. Tugas beratnya adalah bagaimana informasi disajikan secara transparan dan komunikatif sehingga dapat melibatkan partisipasi warga masyarakat dengan mudah dan dapat menyampaikan pandangan serta pendapatnya mengenai kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan menjaga agar informasi dan partisipasi dapat merata serta tidak di domplengi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang memiliki modal yang dapat menggerakkan informasi yang menyesatkan sehingga pemerintah perlu menjaga agar kepercayaan serta partisipasi dapat benar-benar terlaksana dengan baik.
    Pemerintah juga harus mampu menangkap perkembangan generasi saat ini di mana generasi milenial y dan z sangat aktif dalam komunikasi media sosial dan dapat dengan mudah menjalin komunikasi melalui perantara teknologi ke unsur-unsur dalam pemerintahan sehingga hal ini perlu difasilitasi dengan terus mengedepankan kerjasama kolaboratif antara unsur pemerintah tetapi sayangnya pada saat ini generasi y dan z belum berada pada posisi puncak-puncak pimpinan di mana saat ini masih dikuasai oleh generasi baby boomer dan x, yang sangat berbeda pola dan pandangannya terhadap perkembangan teknologi. Adanya ketidakpercayaan dari generasi di atasnya terkait dengan keamanan data pada sistem teknologi membuat keterbukaan serta kolaborasi ke pihak-pihak lain masih sangat kecil. Selain itu keengganan penerapan model kolaboratif pada generasi di atas milenial adalah karena dapat menjadi ancaman bagi otorisasi hierarki yang saat ini dinikmati oleh generasi di atas milenial.
    Teknologi digital telah memfasilitasi sarana kolaboratif atau kerjasama yang efektif sehingga hal ini perlu didorong dengan melepaskan batasan-batasan yang selama ini mengurung kolaborasi tersebut seperti peraturan, ketidakpercayaan antar instansi, pemisahan wewenang dan tidak mau terlibat dalam perihal yang tidak merupakan tanggung jawabnya dan khawatir nanti akan dapat diseret apabila program tersebut menjadi satu masalah di kemudian hari. Saat ini teknologi digital dalam komunikasi di dalam masyarakat telah melewati batas-batas privasi karena rekam jejak digital dapat dilihat dan dipelajari serta terekam dengan sangat jelas. Apabila dalam komunikasi sehari-hari kita masih dapat menggunakan akal pikiran kita, serta norma dan nilai untuk dapat mengelabui pandangan orang lain melalui perkataan, perilaku, dan ucapan kita, tetapi dengan gadget digital yang selalu bersama kita maka kebebasan mengekspresikan tersebut terekam dalam jejak-jejak digital dan merupakan potensi asli dari individu yang dapat diukur melalui jejak rekam digital tersebut. Informasi digital mampu menembus Unconscious Mind dalam diri individu.
    Saat ini sudah tersedia banyak perangkat lunak analisis semantik yang disebut sebagai SNA (Social Network Analysis). Aplikasi SNA akan mampu membaca data individual dan menghubungkannya dengan banyak aktivitas dalam organisasi publik maupun organisasi swasta, dan dengan demikian dapat mengidentifikasi kebutuhan kolaborasi yang produktif bagi sebuah organisasi. Berbagai informasi menyangkut sumber daya manusia yang bekerja dalam lingkup organisasi yang berlain-lainan dapat diperoleh secara lengkap, dan selanjutnya dapat dianalisis dengan lebih cermat. Sebagai contoh, bukan rahasia lagi bahwa SNA mampu mengungkap siapa saja individu yang berpengaruh di dalam komunitas tertentu, siapa saja yang mereka dengar, siapa saja pihak-pihak yang diajak kerja sama, dan faktor apa saja yang kemungkinan mempengaruhi cara mereka membuat keputusan (Waters, 2010:166). Dengan melakukan analisis terhadap catatan semantik di Twitter, Facebook, MySpace, atau platform media sosial lainnya, organisasi publik juga akan lebih akurat untuk memperhitungkan cara mencapai tujuan taktis.
    Kolaborasi dapat memperkuat strategi serta mengurangi duplikasi pekerjaan dan dapat mengembangkan variasi serta pencapaian yang lebih maksimal. Apabila lembaga-lembaga pemerintah dan institusi institusi pemerintah dapat berkolaborasi maka tujuan bersama yang lebih efektif dapat tercapai. Tetapi sayangnya batasan-batasan peraturan seringkali menghambat kolaborasi tersebut selain itu juga nama baik salah satu yang lebih diuntungkan menjadi hambatan untuk ikut serta terlibat dalam kolaborasi bersama. Salah satu penyebab utama sulitnya kolaborasi adalah karena busuknya kondisi internal, ataupun kepentingan didalam organisasi masih harus dijaga, sehingga enggan untuk membuka aib masa lalu kepada pihak-pihak lain.
    Berdasarkan penelitian dari Ospina dan Saz-Carranza (2010), para pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan manajemen publik secara kolaboratif menggunakan enam cara guna mengatasi paradoks, baik secara ke dalam (inward) maupun ke luar (outward). Untuk mengatasi paradoks yang membutuhkan kesatuan dan sekaligus diversitas di dalam jejaring, para pemimpin akan memfasilitasi interaksi, menumbuhkan relasi interpersonal, dan mempromosikan keterbukaan di antara para partisipan dalam jejaring. Sementara itu, untuk mengatasi paradoks adanya konfrontasi dan sekaligus dialog, para pemimpin akan mengelola kredibilitas jejaring, bekerja dalam berbagai tingkatan organisasi (multi-level), serta menumbuhkan relasi eksternal yang sifatnya jamak. Pada sebagian besar kasus, orientasi kerja ke dalam dan keluar ini dilaksanakan secara serentak, dan bukan berurutan atau bertahap. Dengan demikian, untuk terciptanya sistem manajemen publik yang kolaboratif, diperlukan pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen kuat terhadap hasil akhir proses kolaboratif yang produktif, dan sekaligus paham tentang prinsip-prinsip pokok di dalam kerja sama.
    Nilai-nilai dalam demokrasi (persamaan, partisipasi, kebebasan, keadilan sosial) seringkali dipandang bertentangan dengan nilai-nilai dalam birokrasi modern (hirarki, spesialisasi, impersonalitas). dalam kesepakatan pembentukan negara dan dijalankan roda pemerintah oleh birokrasi mengandung asas persetujuan rakyat (principle of consent), tetapi juga harus disertai dengan asas-asas substansial yang tidak kalah pentingnya, yaitu asas persamaan hukum (equality before the law), perbaikan bagi semua (betterment of all), dan keadilan sosial (social justice).
    Standar dari praktik penggunaan otoritas oleh pejabat publik harus diukur oleh seberapa besar sumbangan mereka terhadap kesejahteraan umum, bukan sekadar efisiensi atau kesesuaiannya dengan peraturan. Pada tataran prosedural, harus diupayakan perbaikan terhadap akses dan aspirasi dari orang miskin dan kelompok-kelompok yang tidak beruntung. Dalam hal ini, birokrasi publik tetap harus memiliki keberpihakan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini banyak ditelantarkan oleh berbagai macam program dan proyek pemerintah.
    Kembali kepada contoh tentang akuntabilitas anggaran publik, pengalaman dari negara-negara maju OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan bahwa dari belanja pemerintah, pada dasarnya ada tiga unsur yang perlu diketahui oleh publik, yakni prioritization (penentuan prioritas alokasi dana), execution (pelaksanaan atau pencairan dana yang mendukung kegiatan), dan evaluation (mengkaji hasil-hasil dari pendanaan oleh pemerintah) (Griffin dkk., 2010:67). Unsur-unsur anggaran belanja di negara OECD itu begitu sederhana. Ini berbeda dengan yang diterapkan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang siklus anggarannya berlangsung sepanjang tahun dan unsur-unsurnya begitu kompleks. Siklus di Indonesia itu lebih banyak melibatkan hal-hal formal atau prosedural sedangkan yang substantif diabaikan.
    Pada tingkat operasional, berikut ini adalah sebagian dari upaya memperkuat akuntabilitas organisasi publik yang harus diperhatikan yaitu:
  • Keberpihakan kebijakan yang lebih kuat kepada kepentingan publik; Kebijakan publik harus punya keterkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat luas.
  • Prediktabilitas dan kontrol atas kualitas pelayanan publik;
  • Masyarakat harus dapat mengetahui dan mengontrol proses pelayanan publik dengan ketersediaan informasi mengenai jalannya pemerintahan secara lengkap
  • Audit eksternal yang objektif dan transparan;
  • Lembaga pemeriksaan dan pengawasan harus diperkuat dengan para pegawai yang punya kemampuan profesional tinggi.

Selanjutnya, sistem monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan perlu diciptakan supaya terjadi perbaikan yang terus-menerus terhadap sistem pemerintahan dan pelayanan publik pada umumnya

Kamis, 24 November 2022

Behaviour Public Administration: Perilaku Organisasi Publik (Elly Susanto) Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia (bab VIII)

Behaviour Public Administration: Perilaku Organisasi Publik
(Elly Susanto)

Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia
(bab VIII)

Seringkali terdapat fenomena-fenomena menarik dalam suatu organisasi padahal dengan bentuk organisasi yang sama, standar yang sama dan sistem rekrutmen pegawai yang sama serta pelatihan yang sama tetapi seringkali dalam organisasi terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat signifikan antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain walaupun dengan standar-standar yang sama yang telah dibuat dan ditetapkan kepada semua organisasi. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena individu di dalam organisasi selalu berbeda, karena ada nilai dan sosial historis pada masing-masing individu yang berdampak pada pengambilan keputusan walaupun standar yang telah ditetapkan sama tetapi keputusan bisa dapat jauh berbeda.

Pendekatan melalui individu ini dapat dilihat dari berbagai aspek seperti psikologis, ekonom, neurologis, sosial, dan politik. Lalu apakah perbedaan keputusan yang diambil oleh individu tersebut berpengaruh terhadap organisasi? Dan bagaimana kualitas dan implikasinya ke dalam masyarakat? Dalam setiap keputusan organisasi yang rasional tidak dapat dipandang segala sesuatunya juga rasional terutama dalam lingkungan sekitar. Nilai-nilai yang menjadi dasar dan norma dalam memutuskan akan tetap hidup dalam setiap pengambilan keputusan sehingga keputusan dalam administrasi publik tidak hanya bersandar pada rasional yang memfokuskan pada efektif dan efisiensinya saja tetapi juga harus tetap mempertimbangkan nilai-nilai yang ada di dalam lingkungan sekitar.

Sunstein (2020) menjelaskan bahwa ilmu perilaku / behavioral science merupakan kombinasi dari cognitive psychology, social psychology, dan behavioural economics. Penjelasan perilaku individu ini dapat memberikan warna baru dalam administrasi publik dilihat dari sektor mikro (Tummers, 2020). Perilaku organisasi tidak hanya dilihat dari suatu sistem dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan dalam rencana maupun strategi yang akan dijalankan organisasi. Dalam pelaksanaannya rencana, strategi dan tujuan akan diimplementasikan oleh individu-individu di dalam organisasi. Pada pelaksanaannya prosedur dan aturan dijalankan dari atas ke bawah melalui divisi-divisi dengan spesialisasi khusus untuk mencapai tujuan dan rencana yang telah ditetapkan.

Dalam setiap komunikasi antar individu di dalam organisasi juga akan mengalami bias sehingga implementasi ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan akan sangat rentan sekali terkontaminasi dengan nilai-nilai yang ada pada individu tersebut. Perilaku organisasi yang nantinya terlaksana tidak berada pada satu disiplin ilmu tertentu, melainkan kombinasi dari beberapa disiplin ilmu seperti ilmu komunikasi, ilmu sosiologi, antropologi psikologi dan sebagainya. Perilaku organisasi dapat diterangkan dari proses hulu yaitu identifikasi masalah dan pembuatan kebijakan untuk menyelesaikan masalah hingga proses hilir yaitu kebijakan publik dijalankan oleh Birokrasi dan disampaikan kepada masyarakat.

Behavioural Public Administration
BPA adalah suatu konsep yang mempelajari perilaku individu atau perilaku mikro berdasarkan teori, metode, konsep, dan bidang kajian psikologi atau keperilakuan (Grim Melik Huijsen dkk., 2017:46). Tokoh yang membahas mengenai pentingnya mempelajari perilaku individu tersebut adalah Herbert Simon dan Dwight Waldo. Dalam bukunya yang berjudul Administrative Behavior: A Study of Decision-Making Processes in Administrative (1997), Simon menyatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan harus sudah dipikirkan proses pelaksanaan keputusan tersebut karena keduanya sama pentingnya. Proses pengambilan keputusan individu selain dibatasi oleh perbedaan nilai dalam individu juga dibatasi oleh informasi yang dimiliki oleh individu tersebut atau dikenal dengan istilah bounded rationality (Simon, 1997). Begitu juga dengan respon menerima keputusan tersebut akan sangat terbatas dengan informasi dan nilai yang dimiliki oleh individu. Beberapa penelitian lain yang mengangkat perilaku organisasi antara lain adalah cognitive bias oleh Daniel Kahneman, dan nudging dan choice architecture oleh Richard Thaler.

Salah satu konsep perilaku organisasi yang populer adalah Public Service Motivation (PSM). Sejak konsep tersebut dimunculkan oleh Rainey (1982) kemudian dilanjutkan oleh Perry dan Wise (1990) dan Perry (1996), konsep ini mulai menarik minat peneliti di bidang administrasi publik (Susanto, 2021; Vandenabeele dkk., 2014; Vogel & Kroll, 2016). PSM dijadikan alasan mendasar yang mendorong seseorang untuk bekerja di dalam sektor publik. Beberapa contoh kajian lain terkait PSM adalah Ugaddan dan Park (2017) yang meneliti tentang keinginan menjadi peniup peluit (whistle blowing) dalam organisasi sektor publik dan menempatkan PSM sebagai mediator. Kim (2018) meneliti tentang keterkaitan PSM dengan sharing pengetahuan, sedangkan Corduneanu dkk. (2020) menguji hubungan antara reward moneter dan PSM dengan menggunakan self determination theory. Ritz dkk. (2021) meneliti PSM dengan mencoba menguji apakah konsep ini berbeda dengan perilaku prosocial motivation yang hasilnya kedua konsep tersebut berbeda. Namhon Ki (2021) meneliti hubungan PSM dengan keinginan belajar dari pegawai pemerintah (government official’s willingness to learn), sedangkan Susanto (2021) meneliti hubungan antara PSM, Love of money dan perilaku inovasi pegawai di konteks Indonesia.

Selain PSM, beberapa topik lain yang menjadi bagian dari perilaku organisasi publik adalah kecerdasan emosional, manajemen konflik dan kinerja (Shih & Susanto, 2010), empowerment, kepuasan kerja, keinovasioan (innovativeness) dan kinerja pegawai (Fernandez & Moldogaziev, 2013); perilaku tidak etis (unethical behaviour) (Belle & Cantarelli, 2017); Kepemimpinan (Ospina, 2017); kecerdasan emosional dan public sector engagement (Levitats dkk., 2019); employee engagement; dan kinerja pegawai (Hameduddin & Fernandez, 2019). penelitian-penelitian tersebut dipublikasikan ke dalam jurnal Public Administration Review.

Perilaku Organisasional: Telaah Singkat Perkembangan Konsep, Teori dan Metodologi
Secara ringkas perilaku organisasi ini menggambarkan mengenai perilaku individu, perilaku kelompok perilaku lingkungan yang ketiganya saling berinteraksi dengan dibatasi oleh nilai dan informasi sehingga tampak pada permukaan yang dapat diamati dari perilaku tersebut. Lebih dalam penelitian perilaku organisasi juga dapat memprediksi perilaku yang akan muncul karena dapat memahami perilaku yang tidak tampak di permukaan tetapi berpotensi untuk muncul di permukaan. Perilaku Organisasi (PO) ini tentu akan melibatkan berbagai aspek keilmuan yang saling beresonansi satu sama lain.

Staw (1984) mendiskusikan konsep PO sebagai bidang kajian terapan yang membahas mengenai topik-topik antara lain: kepemimpinan, sikap kerja, desain pekerjaan (job design), persepsi, efikasi diri, emosi, gender, karier, peran, kepuasan kerja, ketidakhadiran pegawai, struktur kelompok, kinerja kelompok, kultur, dan iklim organisasi, perpindahan pegawai, motivasi, dan kinerja pegawai. Dalam kajian tersebut Mowday & Sutton (1993) menjelaskan tentang konteks organisasi yang bisa menjadi “opportunity dan constraint” terhadap perilaku individu dan kelompok dan sekaligus kemungkinan individu dan kelompok mempengaruhi konteks organisasi. Beberapa contoh topik tersebut adalah norma, komunikasi, kinerja, perubahan organisasi, keluarga, risiko, cross-culture, kepercayaan, ketergantungan, kerjasama, pembelajaran, jejaring (networking), emosi, politik, turnover, burnout, partisipasi, tim atau kelompok, feedback, konflik, kontrak psikologi, reward, kepribadian, legitimasi, stress, dan organizational citizenship. Brief & Weiss (2002) mendiskusikan kajian emosi dan mood dalam PO, sedang Peterson dan Thomas (2007) mendiskusikan PO dalam konteks MNO (multinational organization). Topik lain yang sedang berkembang dalam PO adalah positive organizational behaviour (Bakker & Schaufeli, 2008), neuroscience (Ashkanasy, Becker & Waldman (2014), greening organizational behaviour (Anderson, Jackson & Russell, 2013), sustainability dan organizational behaviour (Cooper, Stokes, Liu dan Tarba, 2017), dan humanitarian organizational behaviour (Meyer, Carr & Foster, 2018).

Salah satu kesulitan dari peminjaman konsep pada disiplin ilmu lain adalah ketika diterapkan dalam ilmu manajemen kebijakan publik tentu harus terlebih dahulu dipahami konsep pada disiplin ilmu sebelumnya apakah dapat benar-benar diterapkan dalam ilmu administrasi publik. Teori-teori yang digunakan juga mengalami perkembangan, mengikuti perkembangan topik kajian. Mitchell (1979) misalnya menjelaskan expectancy theory yang dikembangkan oleh Vroom (1964), goal setting theory oleh Locke (1968), equity theory oleh Adam (1965), dan operant conditioning model oleh Skinner (1938). Kajian yang dilakukan oleh Staw (1984) mendiskusikan need fulfilment theory of motivation oleh Maslow (1954), Job Design Theory oleh Hackman & Oldham (1976; 1980). Brief & Weiss (2002) mendiskusikan teori yang banyak digunakan dikajian emosi dan mood. Teori tersebut adalah affective-event theory (Weiss & Cropanzano, 1996). Ahli lain, Ilgen & Klein (1988) mendiskusikan beberapa teori yang digunakan di kajian-kajian kognisi yaitu social cognition theory (Wyer & Srull, 1986), social information processing theory oleh Salancik & Pfeffer (1977, 1978), dan control theory oleh Campion & Lord (1982). Schnider (1985) menjelaskan salah teori yang digunakan dalam kajian kelompok, yaitu intergroup theory oleh Alderfer (1983) dan Brown (1983).Dalam buku yang berjudul Theories of Group Behaviour, editor Brian Mullen dan George R. Goethals (1987), ada setidaknya 8 teori yang dijelaskan dan bisa digunakan untuk menjelaskan tim atau kelompok. Teori-teori tersebut adalah:
  • Social Comparison Theory (Goethals and Darley);
  • Cognitive Dissonance Theory (Sande dan Zanna);
  • Self-Presentation Theory (Baumeister dan Hutton);
  • Drive Theory (Geen dan Bushman);
  • Social Impact Theory (Jackson);
  • Self-Attention Theory (Mullen);
  • Social Cognition Theory of Group Process (Pryor dan Ostrom), dan
  • Transactive Memory Theory (Wegner).
Teori-teori tersebut sifatnya pengembangan dari ide dan teori yang dikembangkan sebelumnya dan berada dalam bidang kajian psikologi sosial. Teori-teori lainnya adalah self-determination theory (Decy & Ryan, 1985) dan conversative of resource theory (Hobfoll, 1998).mMetode penelitian yang digunakan dalam penelitian perilaku organisasi lebih didominasi oleh penelitian dengan metode kuantitatif hal ini tidaklah mengherankan karena di awal perkembangannya para insinyur yang terlibat dalam melakukan penelitian ini memang berdasarkan basic untuk meneliti industri dan bisnis sehingga penelitian disajikan dalam model kuantitatif.Psikologi Industri dan Organisasi berlatar belakang insinyur misal Frederick W. Taylor dan psikologi eksperimen seperti Hugo Munsterberg, (1913); Walter Dill Scott (1908).

Bentuk penelitian metode kuantitatif terbaru adalah dengan membuat penelitian yang multi level atau penggunaan penelitian pada beberapa level sampel yang saling berhubungan dan kemudian diteliti hubungan-hubungan serta potensi perilaku yang terbentuk. model ini para ahli yang memfokuskan pada pendekatan multilevel dan sekaligus memperkenalkan teori multilevel. Ide dasar dari pendekatan ini adalah “organizations are multilevel systems” (Kozlowski & Klein, 2000: 3). Pendekatan teoritis ini, jika dirunut ke belakang, menjawab ide yang digagas oleh House & Singh (1987), O’Reilly (1991), dan Mowday dan Sutton (1993) yang sudah diuraikan sebelumnya. Teori multilevel ini berusaha memperbaiki kelemahan kajian sebelumnya yang hanya fokus pada satu level. Misal, peneliti yang fokus pada aspek mikro PO hanya fokus pada level individu sedang peneliti yang fokus pada makro PO fokus pada level organisasi. Melalui teori dan pendekatan multilevel, peneliti bisa memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang perilaku organisasional seperti yang disampaikan oleh Klein & Kozlowski (2000), “Neither single-level perspective can adequately account for organizational behaviour” (hal. 7).

Perilaku organisasi ini banyak mengambil konsep dari kajian-kajian ilmu lain sehingga seringkali dalam perkembangannya perilaku organisasi ini sering ketinggalan karena konsep kajian dari ilmu lainnya yang digunakan juga mengalami perkembangan sehingga pengambilan konstruk untuk menyusun perilaku organisasi tentu harus menunggu terlebih dahulu perkembangan yang ada dari disiplin ilmu lain tersebut.“lag the discipline” (Heath & Sitkin, 2001). Artinya, BPA akan mengalami ketertinggalan dalam pengembangan pengetahuan. Peminjaman dan pengadopsian akan membuat BPA hanya berkutat pada memilih dan memilah hal-hal yang relevan dan mengabaikan pengembangan topik-topik strategis BPA, seperti yang pernah disampaikan oleh Carrigan dkk. (2020). Carrigan dkk. (2002) berpendapat bahwa BPA bisa memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap perkembangan kajian PA jika mengaitkan pendekatan ini dengan tema inti administrasi publik.

Perilaku organisasi publik dan perilaku organisasi pada umumnya memiliki banyak kesamaan karena diambil dari dasar yang sama tetapi pengkhususan pada perilaku organisasi publik tentu mengacu pada hal-hal publik. Perbedaan fokus dalam BPA dan PO tentu menjadi beberapa pertimbangan yang jelas membedakan antara BPA dan PO. Perilaku organisasi yang baik tentu ditunjang oleh kinerja individu di dalam organisasi tersebut yang baik juga dan hal ini juga akan berdampak pada implementasi dan warga negara yang menerima kebijakan tersebut.

Perilaku organisasi melibatkan beberapa aspek dan dimensi seperti ekonomi, psikologi, sosial, politik, bahkan antropologi di mana mempelajari perilaku organisasi diambil dari perilaku individu dan perilaku kelompok yang saling berinteraksi dengan perpaduan antara nilai masing-masing individu, nilai masing-masing kelompok maupun nilai dari organisasi itu sendiri dan terbentuk dalam ranah organisasi dengan struktur serta budaya yang berkembang di dalamnya. Topik-topik yang ditelah dikaji di Perubahan Organisasi seperti norma, komunikasi, kinerja, perubahan organisasi, keluarga, risiko, cross-culture, kepercayaan, ketergantungan, kerjasama, pembelajaran, jejaring (networking), emosi, politik, turnover, burnout, partisipasi, tim atau kelompok, feedback, konflik, kontrak psikologi, reward, kepribadian, legitimasi, stres, dan organizational citizenship bisa dikaji di BPA.

Selasa, 22 November 2022

The Future of Public Administration around the World (The Minnowbrook Perspective) (Rosemary O’Leary, David M. Van Slyke, and Soonhee Kim, Editors) Dari Manajemen Kinerja Menuju Demokratik Kinerja pada Pemerintah (Donald P. Moynihan)

The Future of Public Administration around the World (The Minnowbrook Perspective)

(Rosemary O’Leary, David M. Van Slyke, and Soonhee Kim, Editors)


Dari Manajemen Kinerja Menuju Demokratik Kinerja pada Pemerintah

(Donald P. Moynihan)

Efisiensi dan efektif yang ditekankan oleh administrator publik menjadi tidak relevan dalam pengukurannya. Penggunaan kuantitatif sebagai dasar menjadi sangat bias dan berdasarkan konteks. Pada akhirnya disadari bahwa pengukuran tidak dapat berdasarkan kuantitatif saja, tetapi sampai saat ini strategi dalam mencapai tujuan dan target masih tetap menjadi patokan bahkan pencapaian target tersebut diiringi dengan peningkatan pembayaran penghasilan walaupun indikatornya masih jauh dari sempurna.


Bagaimana Menggunakan Informasi Kinerja: Hasil, Political, Kekurangan dan Manfaat

Salah satu kekurangan dari indikator kinerja adalah hanya fokus pada konstruksi padahal ada banyak faktor yang bersifat multiple dan subkategori yang mempengaruhi indikator tersebut. contohnya adalah faktor perilaku bisa saja terdiri atas komitmen organisasi, public service motivasi dan tujuan yang ambigu.


Hasil

Indikator yang menunjukkan bahwa seorang pegawai harus memiliki output hasil yang telah ditetapkan sebagaimana pengukuran tersebut.


Political

Hasil dilihat bagaimana kinerja ditunjukkan dengan implementasi dan dampak langsung dalam masyarakat. Agen memiliki diskresi atau pilihan dalam memilih dan mengukur tujuan dan capaian dengan penilaian mereka, dan mereka memilih, menghilangkan atau dan menerjemahkan informasi sebagaimana gambaran yang menjadi prioritas mereka. Hasil dan dampak yang diciptakan akan sangat mempengaruhi kehidupan dalam masyarakat.


Kejahatan

Pencapaian target dan tujuan dalam memaksimalkan kinerja cenderung akan membuat sebuah persaingan dan penggunaan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan dan capaian tersebut. Agen akan menggunakan taktik dan strategi dan fokus pada pencapaian tujuan kinerja sehingga membatasi pada pelaksanaan kreativitas yang lain dan fokus pada pencapaian tujuan baik dengan cara yang jahat seperti memanipulasi pengukuran dan mensetting pengukuran sehingga mendapatkan pengukuran yang baik.


Purposeful

Penggunaan data dan output merupakan komponen penting dalam menilai kinerja. penggunaan kontrak membatasi output yang harus dihasilkan.


Penggunaan Informasi Kinerja

Informasi kinerja digunakan dengan cara kontekstual dipengaruhi oleh insentif dan lingkungan sekitar dengan banyak faktor seperti kepemimpinan dan dukungan politik struktur organisasi, dan kecukupan sumber daya. Kompleks dan beragamnya jenis pekerjaan dalam administrasi publik sangat sulit untuk mengukur tiap individu dalam menyelesaikan tugasnya berdasarkan kinerja, tetapi penggunaan program output dapat dikonversikan ke dalam tugas individu sesuai konteksnya. Hasil output mudah untuk diukur, output dan outcome usaha individu dapat dengan jelas dihubungkan dengan output sehingga indikator kinerja individu berdasarkan kontrak tersebut dapat dilihat dengan jelas hasilnya secara kuantitas di dalam sebuah laporan kinerja. Aturan dan keterlibatan dari politik yang terpilih, sentral agency dan stakeholder berefek cara dengan penilaiaan dan pengolahan  kinerja data yang digunakan. pengaruh lingkungan politik juga membuat agensi untuk dapat menyesuaikan dengan bentuk laporan kinerja yang digunakan karena politik dapat mengintervensi tujuan serta target dari kinerja yang harus diarahkan dalam administrasi publik. Penggunaan informasi kinerja juga dapat mempertajam dari ancaman individu, kepercayaan, dan karakteristik pekerjaan. komitmen organisasi, public service motivasi, pengalaman, tugas, aturan yang ambigu dan karakter individual job lainnya yang berefek pada kinerja data yang dilihat dan bentuk apa yang digunakan paling tepat dan paling layak.


Bagaimana Informasi Kinerja Digunakan dan Merubah Nature dari Pemerintah

Morphan (2008) menemukan bahwa informasi kinerja dapat digunakan untuk mempertajam budaya organisasi dan membangun eksternal dukungan politik untuk suatu program. informasi kinerja bertujuan untuk merubah budaya, perilaku, dan tindakan pada organisasi sektor publik (radin, 2006). Melalui modeling kinerja individu dan organisasi menggunakan informasi kinerja dan dapat merubah strategi serta perilaku organisasi dan individu. karena target dan goal akan dinilai dari informasi kinerja tersebut dan berimbas pada penilaian dari individu dan organisasi


Pertanyaan Demokrasi atau Apa yang akan Waldo Pikirkan?

Public administrasi baru menganggap manajemen kinerja mewakili nilai dari efektif dan arti dari rasional sehingga indikator tersebut menjadi patokan untuk menilai perilaku dan manfaatnya bagi organisasi tetapi melupakan nilai yang ada di dalam kesetaraan sosial. Setiap individu diciptakan berbeda, individu akan menunjukkan performa terbaiknya apabila sesuai dengan natural motivasinya yang variatif berbeda dari individu-individu yang lain. Indikator kinerja hanya mewakili satu fokus kunci tertentu tetapi melupakan fokus nilai yang lain. Kelemahan indikator kinerja ini mengukur kinerja tidak dalam posisi yang netral antar individu karena ada nilai dan karakter individu yang dikeluarkan seperti kesetaraan sosial, kewarganegaraan transparansi proses, dan hak individu.


Jumat, 18 November 2022

International Journal of Public Sector Management Dalam hal apa SLB menggunakan diskresi mereka selama pandemi covid di Indonesia? (Agus H Hadna, Umi Listyaningsih, Idris Ihwanudin, 2022)

International Journal of Public Sector Management

Dalam hal apa SLB menggunakan diskresi mereka selama pandemi covid di Indonesia?

(Agus H  Hadna, Umi Listyaningsih, Idris Ihwanudin, 2022)


Introduction

Michael lipsky(1980) menjelaskan SLB adalah pegawai pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat dalam pekerjaannya. Ada dua klasifikasi SLB yaitu SLB yang langsung berinteraksi dengan warga negara dan SLB yang berkomunikasi dengan media atau perantara atau alat komunikasi atau sistem (lipsky, 2010). PPAT atau pejabat pembuat akta tanah adalah pejabat yang melayani warga negara sebagaimana amanah dari legislatif tetapi tidak berada langsung di bawah pemerintah dan tidak memperoleh gaji dari pemerintah. Pendapatan mereka ditentukan oleh berapa besar jumlah warga negara yang membutuhkan pelayanan mereka. Pemerintah memberikan mandat ke PPAT untuk melaksanakan pelayanan pembuatan akta tanah hal ini terjadi karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah dalam menjalankan legislasi sehingga PPAT ini menjadi profesional yang bekerja memberikan pelayanan publik tapi diserahkan ke pihak di luar pemerintah.

Pelayanan PPAT harus memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah dan mentaati semua peraturan yang berlaku. Dalam kondisi covid 19 pejabat pembuat akta tanah memiliki berbagai macam perilaku dalam memberikan pelayanan kepada warga negara kecenderungan berperilaku ini sangat dipengaruhi oleh berbagai motif seperti ekonomi, politik, demografi dan sosial budaya setempat. SLB masih memiliki ruang untuk diskresi tanpa menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan. Motivasi dari pejabat bedah akta tanah dalam membuat deskripsi antara lain ditentukan oleh lingkungan kerja. Pertanyaan penelitian ini meliputi apa yang menyebabkan SLB melakukan diskresi powernya? Dan mengapa SLB menilai diskresi dalam memberikan pelayanan di Indonesia?

Walaupun PPAT ini bukan ASN SLB tapi dalam konteks pelayanan publik mereka termasuk dalam kategori ASN SLB karena memberikan pelayanan langsung kepada warga negara. Penelitian ini mencari jawaban dengan melakukan survei kepada 2.867 SLB di Indonesia penelitian ini berbeda dari penelitian penelitian sebelumnya yaitu menganggap bahwa SLB selalu berada di balik peraturan dan tidak memiliki kepentingan diskresi dalam pelayanan selama pandemi covid. Kedua, menjelaskan faktor yang mempengaruhi SLB dalam memberikan diskresi (kebijakan, politik, motivasi, lingkungan kerja, demografis. Ketiga, Menjelajahi hubungan dengan konteks Indonesia yang berpegang pada aturan dan sistem serta sosial, budaya dan kondisi politik yang mempengaruhi kinerja organisasi.


Theoretical Framework

Dependent variable, level diskresi yang diberikan oleh SLB dalam pelayanan tanah berhubungan dengan motif pendapatan yang diterima oleh PPAT berdasarkan dari jumlah pelayanan yang diberikan maka terkadang dalam rangka persaingan mereka menurunkan segmen kelas yang mereka tawarkan dan memberikan variasi penawaran atas pelayanan yang diberikan. Selama krisis, strategi yang dilakukan oleh PPAT bermacam-macam seperti bersembunyi di balik hukum atau melakukan cara yang inovatif untuk melindungi warga negara dan tetap menjalankan tugasnya. SLB dalam memberikan diskresi juga sangat dibatasi ruangnya karena peraturan dan administrasi pemerintah yang masih sulit. Peraturan yang ditetapkan tidak hanya mempersulit ruang gerak dan waktu dalam memberikan diskresi, karena prasyarat yang diminta terlalu ketat dan tidak sesuai dengan kondisi pada saat pandemi seperti contoh SLB harus memberikan pelayanan mereka selama jam kerja dan hari kerja. Sementara customer mereka tentu sering tidak memiliki waktu dan jam kerja yang tidak bertemu dengan waktu yang diminta sesuai dengan peraturan.


Independent variable

Motivasi ekonomi dari SLB

Motif ekonomi menjadi penyebab yang besar dalam mempengaruhi kualitas pelayanan. Individu akan termotivasi dengan adanya insentif ekonomi yang dapat membantu pekerjaan-pekerjaan lainnya yang harus dikerjakan individu sebagai individu yang bebas. Hasrat untuk meningkatkan pendapatan serta memenuhi kebutuhan lainnya yang tersita karena fokus pada suatu pekerjaan tertentu sehingga memberikan perluasan pekerjaannya kepada pihak lain yang harus dikonversikan dengan pembayaran lainnya


Lingkungan Kerja

Mempengaruhi secara psikologis, tekanan, dan interaksi dengan warga negara. Lingkungan budaya sangat menentukan perilaku dan keputusan untuk memberikan diskresi. Lingkungan kerja termasuk kompetisi di antara agensi, ukuran dari lingkungan bagaimana kepadatan dari jumlah SLB dan kemungkinan kompetisi dengan klien di daerah mereka. Kecukupan informasi yang meliputi pekerjaan mereka. Selain itu juga tidak rapi dan teradministrasi informasi terkait dengan tanah yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipercaya.


Demografi karakteristik

Beberapa segmen sosial dari masyarakat tidak memiliki kesamaan akses dalam memperoleh layanan publik termasuk prosedur yang kompleks dari birokrasi. SLB menjadi mediasi antara organisasi publik dan civil society. Dari demografi tersebut mempengaruhi sosial politik dan pemahaman bagaimana diskresi secara praktek dilaksanakan


Metode Penelitian

Data diperoleh dari CPPS yang berada di bawah kementerian agraria dan pertanahan Indonesia selama tahun pertama pandemik. Survei dilaksanakan secara random pada 50 kabupaten atau kota di 10 provinsi di Indonesia dengan persebaran 38 kota atau kabupaten berlokasi di Jawa, 12 kota atau kabupaten berada di luar Jawa. Total SLB yang disurvei sebanyak 3.087 SLB dan setelah melalui proses data cleaning terdapat 2867 total responden. Menggunakan mix method penelitian dengan mengkolaborasikan antara kuantitatif dari survei dan kualitatif melalui interview mendalam pada beberapa informasi.


Variabel Penelitian

Perilaku atau tindakan yang dilakukan SLB dalam mengambil diskresi. Tiga level yang digunakan sebagai analisis diklasifikasikan ke dalam rendah, medium, dan tinggi. Diskresi yang diambil termasuk dalam kategori seperti apa? Motif untuk melakukan diskresi antara lain: pertama motivasi ekonomi yang diidentifikasikan. Variabel ini juga diukur berdasarkan peraturan hukum seperti 8 tipe dari pelayanan tanah dan bagaimana SLB menyediakan pelayanan. SLB juga membutuhkan operasional seperti jumlah dari pekerja mereka, harga dari sertifikat, pengakuan pengaruh kekuatan pasar dalam pelayanan tanah dan urutan prioritas yang dibutuhkan dalam penyediaan layanan.


Cakupan Wilayah dan Pasar Dalam Pelayanan Tanah

Penggunaan statistik analisis umur dengan persamaan korelasi dengan variabel dependen menggunakan analisis regresi. Statistik yang digunakan menggunakan software stata versi 14 yang digunakan untuk menentukan daya tarik dan perubahan arah peningkatan ataupun penurunan.


Temuan Penelitian

Data tersebut menemukan bahwa SLB dengan motif ekonomi dengan persentasenya 39,99% menggunakan diskresi powernya. Dimana SLB medium level ekonomi motivasi menggunakan diskresi sebesar 46,78% dan SLB high level ekonomi motivasi menggunakan diskusi sebesar 48,54%. Variabel kedua terkait dengan pengetahuan di mana SLB dengan klien yang memiliki pengetahuan terbatas sering memberikan pelayanan dengan kekuatan bisnis mereka sebesar 39,74% titik dan ketika klien dengan pengetahuan yang lebih penuh maka diskresi yang diberikan oleh SLB sebesar 43,09%.

Terdapat perbedaan range dalam memutuskan diskresi. SLB di bawah umur 30 menggunakan diskresinya sebesar 42,59%, SLB dengan umur antara 30 sampai 50 tahun menggunakan diskresi sebesar 44,55% titik SLB dengan umur di atas 50 tahun menggunakan diskresi sebesar 38,55 dan 38,24%. Sementara antara Jawa dan luar Jawa tidak ada hubungan yang signifikan dalam pengambilan dispersi. Dalam metode tersebut digunakan persamaan regresi untuk mengukur diskresi yang diambil oleh  SLB pejabat pembuat akta tanah.

SLB merangkap menjadi pembuat kebijakan karena perluasan dari diskresinya. Dalam kuantitatif analisis menunjukkan bahwa SLB dengan different level diskresi yaitu high, medium, dan menggunakan diskresi tersebut dalam tugas mereka. Beberapa bentuk diskresi yang diambil seperti fleksibel jam kerja tidak terpaku pada jam kantor saja, mengizinkan klien bertemu di luar dari kantor atau mengunjungi klien di rumah. Memberikan asistensi kepada klien walaupun tidak ada aturan yang mengatur terhadap pemberian eksistensi tersebut dan tidak ada pinalti dari kegiatan tersebut, SLB mengambil keuntungan diskresi untuk membangun kedekatan hubungan dengan klien.

Dalam konteks ini SLB seperti yang dijelaskan oleh lipsky berbeda di mana pelayanan SLB fokus hanya yang lebih paling menguntungkan dari klien dan keterbatasan sumber daya sehingga hanya memilih yang utama saja tetapi dalam hal ini diketahui bahwa SLB dalam Pejabat Pembuat Akta Tanah mengedepankan sistem marketing client di mana tujuannya adalah menarik klien. SLB juga sering menggunakan diskresi mereka ketika bekerja sama dengan bank sebagai pembiayaan di mana klien berkomunikasi terlebih dahulu dengan bank dan bank akan menghubungi pejabat pembuat Akta tanah dalam proses transaksi tersebut. SLB tidak hanya memberikan pelayanan terkait dengan tanah tetapi meliputi juga:

  1. Konversi sertifikat untuk pertama kali dari sebelumnya tidak punya sertifikat atau sertifikat yang masih berbentuk girik menjadi sertifikat

  2. Sertifikasi melalui subdivisi atau seperti pengalihan hibah dan waris

  3. Sertifikasi melalui konsolidasi

  4. Perpanjangan hak guna bangunan dan hak pakai,

  5. Pembaharuan guna bangunan dan hak pakai

  6. Pembersihan gadai atau penggunaan tanah sebagai jaminan

  7. Tanah waris

  8. Menaikkan level hak tanah misalkan dari hgb ke SHM

  9. Mengurangi hak tanah

Pada inti pada intinya pejabat pembuat akta tanah tidak hanya melayani balik nama tetapi juga memperluas jangkauan pelayanannya seperti yang disebutkan di atas. Ekonomi motif dan pergeseran ke layanan bisnis dalam SLB pejabat dan waktu. Pada prinsipnya sektor pelayanan dengan mengacu pada bisnis tergantung dari semakin tinggi pelayanan maka semakin besar pendapatan yang diperoleh dan relasi dengan customer tentu akan memberikan keuntungan jangka panjang. Pemerintah telah menetapkan biaya pembuatan akta tanah sebesar 1% dari biaya servis dari nilai tanah. Kebanyakan SLB pejabat pembuat akta tanah mengenakan antara 1 sampai dengan 1,5% dari nilai tanah. Cara hukum yang telah ditetapkan adalah sebesar 1% tetapi variasi yang akhirnya dijalankan oleh SLB berkisar 1 sampai dengan 15%, 5%, dan 10% dari nilai tanah. Apabila pejabat pembuat ke tanah dan memberikan layanan meminta lebih dari satu setengah persen maka dianggap melanggar hukum sehingga pejabat membuat artana menawarkan service yang lain yang merupakan rangkaian dari pembuatan sertifikat tanah tersebut.


Dengan regulasi yang Tepat Klien Memahami Tetapi Tidak Punya Kekuasaan

Pengetahuannya dimiliki oleh klien menjadi keuntungan dalam tawar-menawar dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Klien yang memiliki pengetahuan yang tinggi akan mengurangi kesempatan SLB pejabat pembuat akta tanah untuk memberikan keterangan yang memperpanjang jasa-jasa lainnya yang dijual sebagai pelengkap. Pada prinsipnya pejabat pembuat akta tanah hanya memiliki keterbatasan sesuai dengan mandat yang telah diberikan oleh undang-undang dan peraturan.

Analisis regresi menunjukkan bahwa SLB yang lebih mudah menggunakan level diskusi yang lebih tinggi. Hal ini karena adanya kompetisi di mana SLB yang lebih mudah belum memiliki klien karena pengalaman nya terbatas sehingga menggunakan strategi marketing dengan memberikan diskusi untuk menarik customer. SLB dengan jenis kelamin laki-laki memiliki diskusi yang lebih tinggi dibanding dengan SLB dengan gender perempuan. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif Antara tindakan diskresi yang dilakukan oleh SLB dengan faktor ekonomi motif dan pemahaman klien terkait dengan masalah tanah. Sementara itu untuk demografi tidak ada hubungan yang kuat antara diskresi dan demografi faktor yang meliputi area.

Penelitian ini memiliki kekurangan dalam menilai lebih dalam perilaku SLB dalam menginterpretasikan diskresi mereka. Penelitian ke depan seharusnya berfokus pada variabel individu SLB dan interaksi dengan sosial kultural lingkungan dalam SLB kerja. Fenomena ini sering terjadi di Indonesia dan menyediakan pelajaran penting karena diduga bahwa SMB bermain peran dalam membantu kompleksitas dari masyarakat administrasi.