Rabu, 09 November 2022

TINJAUAN STUDI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA Menegaskan Identitas dan Meneguhkan Relevansi Editor: Gabriel Lele, Wahyudi Kumorotomo

TINJAUAN STUDI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA

Menegaskan Identitas dan Meneguhkan Relevansi


Editor: Gabriel Lele, Wahyudi Kumorotomo

September, 2021


Batasan antara yang publik dan private, serta antara negara dan non-negara semakin kabur dan cenderung tumpang tindih. Hal ini membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk memahami dan menjelaskannya, tidak semata-mata bisa dengan pendekatan organisasi dan sistem administrasi, serta modal kebijakan publik yang berbasis pada formalisme dan institusionalisme klasik.

Aspek perkembangan ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi, muatan pengalaman kontekstual dan karakter keaslian lokal (indigeneity), dampak perkembangan teknologi digital dan bonus demografi yang mengharuskan adanya kecepatan adaptasi, serta transformasi dalam tata kelola kebijakan publik di Indonesia. Tantangan perubahan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) menuntut transformasi pengelolaan sektor publik secara mendasar. Ilmu Administrasi Modern dan Kekuasaan: Dari Administrasi Negara ke Manajemen dan Kebijakan Publik .



BAB I

CRITICAL ENGAGEMENT: PLURALISME ONTOLOGIS, VARIASI EPISTEMOLOGIS SERTA TEROBOSAN METODOLOGIS DAN AKSIOLOGIS DALAM STUDI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

(Gabriel Lele)


Mempertanyakan disiplin ilmu MKP? dilakukan secara periodik di kampus (kalau tidak dilakukan bisa saja ilmu tersebut dihapuskan?). pada tingkat global, yakni ‘homogenisasi’ dan ‘saintifikasi’ keilmuan dalam cara Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) didekati. Homogenisasi tersebut dimulai dengan pilihan diksi keilmuan yang untuk konteks Indonesia diterjemahkan menjadi Ilmu Administrasi Negara (AN) sebagai pakem utama atau Administrasi Publik (AP). lmu MKP sering kali mengalami kesulitan untuk menegaskan kekhasannya. Sayangnya, upaya untuk menjawab tantangan di atas dengan memperkuat elemen-elemen penopang sains yang sudah terlanjur dikuasai oleh rezim positivis sering kali bermuara pada penguatan positivisme itu sendiri.

Adjektif sebagai penanda ontologis-epistemologisnya. Muncul berbagai variasi seperti “non-western public administration” (Drechsler, 2013; Yanow, 2005), alternative public administration, “traditional” public administration, eclectic public administration, authentic public administration (Amoah, 2012), local public administration, particular public administration (Candler, 2002), unique PA, multicultural or contextual public administration (Drechsler, 2015), indigenous public administration (Henderson, 2005), atau bahkan sekadar “comparative public administration” (Farazmand, 1996). Penanda ontologis lain adalah Asian public administration (Cheung, 2013), African public administration(Ibeto, 2019), dan adjektif geografis lainnya yang sebenarnya merefleksikan pencarian akar ontologis yang sebelumnya terlanjur diabaikan.

Pada saat yang sama, muncul oposisi ontologis yang bertujuan menguliti fokus kajian yang sudah dianggap mapan dengan beralih dari, misalnya, ‘public administration’ menjadi ’public affairs’ atau governance. cukup kuat untuk meninggalkan, atau minimal merevisi, kecenderungan homogenisasi dengan membuka keran bagi terjadinya pluralisasi pada aspek ontologi (Keberadaan abstrak mejadi konkret bisa dicirikan) dan epistemologi (Hakikat ilmu,asal mula, ciri, ruang, nilai, pemahaman) yang selanjutnya akan melahirkan variasi metodologis dan penegasan aksiologis (cara menggunakan ilmu tersebut) Kajian MKP hanya akan dianggap baru ketika mampu membongkar watak politik pengetahuan di baliknya yang tidak lain bertumpu pada kekuasaan itu sendiri (Blesset, Gaynor, Witt & Alkadry, 2016). Oleh karena itu, sebagian ilmuwan MKP menginisiasi beberapa paradigma kritis seperti postmodernism (Miller & Fox, 2007), post-traditionality (Eikenberry, 2009) atau Gramscian school of public administration (Davies, 2011). Pada tingkatan yang lebih mikro, tekanan untuk melawan homogenisasi yang melahirkan pluralisasi tersebut mewujud dalam kecenderungan munculnya berbagai upaya mandiri dari berbagai universitas, departemen atau program studi untuk melihat kembali studinya.

Posiasi keilmuan untuk juga terus melakukan peninjauan terhadap studi MKP atau AP. Misalnya, American Society for Public Administration (ASPA) berusaha menempatkan studi dan praktik AP dalam konteks critical democracy yang menjadi pijakan ontologisnya  yang sebelumnya ditundukkan oleh kecenderungan saintifikasi AP (Eikenberry, 2009). Raadschelders (2011) mencatat bahwa kecenderungan untuk mengejar kadar saintifik telah menjadikan studi AP lebih memberikan perhatian pada aspek metodologis yang pada gilirannya justru mendikte pilihan epistemologis.


Menegaskan Identitas

Dahl (1947) menegaskan kritik atas krisis identitas studi administrasi publik sebagai sains yang dirangkumnya dalam tiga tema besar, yaitu nilai, perilaku, dan budaya.Pada akhirnya, Simon (1946) dan Waldo (1948)  bersepakat bahwa administrasi publik sebagai sains yang dibangun di atas dasar klaim value-free dapat terus dikembangkan dengan tetap memberi perhatian pada aspek-aspek ’non-saintifik’ atau beyond science seperti nilai, perilaku, dan budaya tersebut. Jika Logos mendewakan cara berpikir dan cara kerja serba rasional berbasis akal sehat, Pathos sebaliknya menegaskan pentingnya aspekaspek emosional yang melekat pada setiap individu. Selebihnya, Ethos membuka ruang bagi semakin pentingnya etika dan moral.

Perkembangan beberapa paradigma berikutnya seperti new public management, new public service hingga public governance juga merefleksikan upaya menegaskan identitas MKP atau AP. kajian MKP atau AP yang selalu dinamis, berkembang bersama peradaban MKP dipelajari dan seharusnya dipraktikkan yang dikategorikannya menjadi tiga nilai, yakni manajerial, politik, dan hukum. di Indonesia, studi-studi MKP dapat diletakkan pada fakultas sosial-politik, fakultas hukum, atau fakultas ekonomi. MKP konsisten dengan bergam nilai tanpa mendomniasi, hal tersebut yang membuat MKP berbeda dengan ilmu penyusunya, Satu nilai tertentu tidak boleh dibiarkan mendominasi nilai yang lain (Riccucci, 2010).MKP selalu dan akan senantiasa diwarnai oleh diversitas atau heterogenitas


Pluralisme Ontologis

Kajian otologis tidak menarik bagi MKP atau AP yang lebih asyik berkutat dengan karya-karya konsultatif praktis tetapi ontologi meletakkan dasar paling fundamental bagi sebuah displin dan ketidakjelasan – apalagi pengabaian – atasnya akan menjerumuskan sebuah disiplin ke arah yang salah dengan sejumlah implikasinya. Dalam konteks MKP, misalnya, ontologi membentuk bagaimana cara para ahli dan praktisi melihat atau memaknai sebuah realitas yang pada akhirnya membentuk kebijakan publik dan/atau manajemen publik. Dengan kata lain, ontologi sangat mempengaruhi bagaimana MKP sebagai pengetahuan didapatkan dan dikembangkan, cara mendekatinya, serta berbagai implikasi etis dan praktis yang mengikutinya. 

Keragaman tersebut sebagian dipicu oleh pluralitas area kajian dalam dispilin ini, mulai dari yang berfokus pada kajian negara, pemerintah, publik, administrasi, organisasi, manajemen, kebijakan, hingga governance. Mengembangkan pluralisme ontologis yang diwarnai oleh berkembangnya berbagai cara berpikir alternatif terhadap realitas mapan yang pada akhirnya melahirkan wajah baru – atau bahkan wajah lain – dari realitas tersebut.


Cara berpikir deduktif ialah cara berpikir yang dimulai dari hal yang bersifat umum, kemudian dirunut kepada hal yang bersifat khusus dan dibuat suatu pernyataan kesimpulan atasnya.


Taylor memiliki pandangan bahwa sebuah organisasi pada hakikatnya dijalankan oleh para pekerja seperti mesin yang bekerja secara otomatis. Taylor menggunakan empirisisme sebagai pijakan ontologisnya dan menawarkan cara pandang yang bersifat induktif sekaligus pragmatis.Fayol menggunakan pendekatan rasionalisme yang sangat mekanistik dan lebih mengandalkan cara berpikir deduktif, analitik, dan taksonomis sebagaimana dirangkumnya dalam prinsip POSDCORB. Abraham Maslow dan Mary Parker Follett aliran humanisme. Herbet A. Simon yang menganjurkan positivisme dan T. Greenfield yang menginisiasi pendekatan fenomenologi.

Pluralisme ontologis adalah kajian tentang pemerintah, aspek-aspek apa yang perlu dibicarakan ketika kita merujuk pada pemerintah? Proses, kekuatan, mekanisme, struktur, dan aktivitas apa saja yang membentuk pemerintah? Jika pemerintah terdiri dari sekumpulan aktor – individu-individu yang menjalankan peran tertentu, memiliki sejumlah nilai, preferensi, kepentingan bawaan, serta terlibat dalam berbagai interaksi dan jaringan dengan individu lain di dalam maupun di luar pemerintah – bagaimana para aktor tersebut diikat dan terikat pada nilai atau institusi tertentu? Format relasi sosial seperti apa yang pada akhirnya membentuk unit organisasi pemerintah? Demikian juga sederetan pertanyaan sejenisnya yang bermuara pada pengungkapan eksistensi paling hakiki dari pemerintah. Pandangan-pandangan hakiki semacam inilah yang pada akhirnya menentukan bagaimana pemerintah diposisikan (Little, 2020).

Ilmu sosial seperti MKP berurusan dengan realitas dan entitas sosial yang memiliki 

watak yang berbeda dengan objek ilmu pasti. Jika dunia sosial terutama berurusan dengan individu-individu dan budaya menjadi bagian integral yang melekat dengannya, maka realitas sosial hanya bisa didekati dengan membuka pemahaman terhadap individu dan konteks kulturalnya tersebut. Oleh karenanya, positivisme perlu didukung atau diperkuat – dan jika bisa digeser – dengan pandangan ontologis lain. Pandangan alternatif tersebut haruslah bersifat actor-centered yang meniscayakan pluralitas. ontological disclosure ala Wamsley (1996) di mana seseorang dapat membuat klaim normatif apa pun terhadap sebuah objek atau realitas sejauh proses konstruksinya dinyatakan secara terbuka.  “realitas” didekati yang pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu dibentuk atau diubah. Tegasnya, ontologi menjadi pijakan bagi epistemologi, metodologi, dan akhirnya aksiologi.

Pada tingkat yang paling minimal, disiplin MKP perlu menggeser hegemoni ontologi 

barat yang bersifat positivistik dengan membuka ruang bagi lahirnya ontologi alternatif non-barat. Kenyataan bahwa masih banyak universitas yang menggunakan istilah “Administrasi Negara” semakin memperkuat sinyalemen tersebut. Secara implisit, penggunaan nama tersebut merefleksikan watak kunonya yang tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonial dan dilanjutkan secara sempurna oleh rezim orde Baru. Watak kuno ini tercermin dalam paling tidak dua hal. Pertama, secara ontologis, kajian-kajian tersebut secara tidak sadar meletakkan negara atau pemerintah sebagai fokus kajiannya. Kedua, dominasi negara sebagai fokus kajian ini kemudian melahirkan implikasi epistemologis yang dikuasai oleh nalar-nalar positivistik dengan mengedepankan sistem komando dan kontrol

Fenomena apa pun yang dikaji dalam berbagai ilmu sosial termasuk MKP atau AP cenderung memiliki makna yang berbeda-beda, maka dibentuk melalui proses definisi dan redefinisi iteratif melalui interaksi sosial. Intinya, tidak ada makna tunggal. Dalam konteks ini, perspektif ontologis yang dianut akan memberikan tuntunan bagi seorang ahli atau peneliti dalam melakukan kajiannya, terutama terkait cara sebuah objek kajian diidentifikasi dan diberi identitas tertentu. Sayangnya, ajakan ini lebih dimaknai sebagai kebutuhan metodologis ketimbang sebuah keharusan ontologis.


Liberasi Epistemologis

Jika pengetahuan dimaknai sebagai “justified true belief” (Audi, 2010), maka pada akhirnya epistemologi harus menguak sumber keyakinan tersebut. Mengutip Robert Audi (2010), justifikasi sebuah realitas menjadi pengetahuan mensyaratkan minimal dua hal, yakni property dan proses. Property berkaitan dengan sumber pengetahuan yang dalam bahasa umum dikenal dengan ’bukti’. Tidak (akan) ada pengetahuan tanpa bukti, walaupun bukti dapat dimaknai secara berbeda dengan derajat yang berbeda pula, baik hard evidence maupun soft evidence. Sementara itu, proses berkaitan dengan reliabilitas, yaitu bahwa justifikasi harus melalui sejumlah protokol untuk mentransformasi property tadi menjadi pengetahuan.

Para ahli juga menawarkan dua cara utama, yakni melalui cara deontologis dan non-deontologis (deontologi adalah pandangan etika normatif yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan). Cara yang pertama dilakukan dengan menyandarkan diri pada data atau informasi untuk menghasilkan informational belief. Sementara itu, cara kedua lebih mengandalkan pada proses kognitif. Kedua cara ini dituntun dan menuntun pilihan epistemologis yang berkutat pada pertanyaan, yaitu apakah sumber suatu pengetahuan bersifat internal atau eksternal? Jawaban atas pertanyaan inilah yang melahirkan dua kubu utama dalam epistemologi, yakni positivisme dan post-positivisme. 

Positivisme adalah aliran yang sangat percaya pada objektivitas. Aliran ‘realisme naif’ – objek berada di luar sana dan tidak tergantung pada pengalaman sensorik seseorang dan kesimpulan tersebut lahir dari persepsi sederhana – atau ‘realisme langsung’ – kesadaran kita tentang objek eksternal tidak tergantung pada kesadaran kita akan mental images atau apa pun yang bersifat nonekternal (Audi, 2010).

Post-positivisme memiliki argumen yang berbeda tentang asal-usul pengetahuan. Post-positivisme menaruh perhatian besar pada pentingnya subjektivitas yang belakangan dimoderasi menjadi intersubjektivitas. Realitas sosial tidak pernah bisa berdiri sendiri; sebagian lahir dari dan dipengaruhi oleh mental images dan sebagian lagi diproduksi melalui konstruksi sosial. Pandangan ini menginspirasi lahirnya teori-teori kritis termasuk interpretivisme atau fenomenologi.jika merujuk pada persepsi sebagai sumber pengetahuan, muncul beberapa pandangan turunan seperti ‘representativisme’ yang berargumen bahwa pancaindra manusia ‘membentuk’ objek eskternal. Dengan kata lain, kesadaran kita tentang realitas atau objek eksternal tergantung pada kesadaran kita tentang mental images atau hal-hal non-eksternal lainnya yang ada pada diri kita. Pandangan lain, yakni ‘idealisme’ percaya bahwa sama sekali tidak ada realitas eksternal; semua realitas adalah internal atau melekat pada individu. Juga ada ‘skeptisisme’ yang berargumen bahwa memang terdapat objek eksternal, tetapi kita tidak tahu secara pasti.


Selain itu, jika berangkat dari memori sebagai sumber pengetahuan, terdapat beberapa pandangan turunan post-positivisme. Misalnya, representativisme yang berargumen bahwa ingatan akan masa lalu dibentuk melalui mental images. Aktivitas mengingat (remembering) dimediasi oleh imaji-imaji memorial. Demikian juga dengan pandangan fenomenologi yang menganggap bahwa aktivitas mengingat untuk menghasilkan memori sebenarnya tidak melulu berkaitan dengan masa lalu, tetapi berkaitan 

dengan pembentukan konten imajinasional terhadap pengalaman masa kini. 

Positivisme terikat pada ambisi melakukan generalisasi dan mengisolasi diri dari pertimbangan etis atau kewajiban moral yang sebenarnya menjadi bagian penting di mana MKP ada dan dipraktikkan (Meier, 2005). Aspek-aspek non-rasional seperti emosi, etika, moralitas, perasaan, empati, atau keberpihakan atau Ethos dan Pathos dianggap tidak relevan. Obsesi untuk terus melakukan generalisasi secara tidak langsung telah menjadikan MKP yang positivistik sebagai alat rekayasa dan kontrol.Pada saat yang sama, kajian-kajian positivistik menjerumuskan studi MKP ke arah reduksionisme akut sekaligus dehumanisasi peradaban manusia yang mengangkangi misi terpenting disiplin ini, yakni pembebasan.

Preskripsi-preskripsi MKP sering kali mendapat perlawanan yang pada level praktis dapat dilihat dari oposisi terhadap berbagai kebijakan pemerintah, perlawanan terhadap meritokrasi dalam penyelenggaraan manajemen, gugatan terhadap good governance. Tradisi interpretivisme, misalnya, berusaha menantang kemapanan positivisme dalam memahami perilaku sosial dan manusia dengan menegaskan bahwa keduanya hanya dapat dipahami dengan mempelajarai gagasan, pikiran, atau pandangan orang yang dikaji.


Variasi Metodologis

Pluralisme ontologis dan variasi epistemologis pada akhirnya sangat mempengaruhi metodologi dalam kajian MK. Tantangannya adalah memperjelas instrumentasi dan aplikasinya. Tantangan lainnya adalah mencegah terjadinya balkanisasi metodologis atas nama pluralisme tersebut (Jordan, 2005)


Aksiologi: Pluralisme Nilai

Rutgers (2015) lebih lanjut berargumen bahwa nilai dan nilai publik adalah “fussy concept” dan karena ketidakjelasan definisinya, maka nilai publik lebih diperlakukan sebagai pendekatan dalam studi MKP ketimbang sebagai konsep yang terdefinisikan secara jelas. Pluralisme nilai dibangun di atas paling tidak lima klaim pokok: (a) terdapat beragam nilai dalam arena publik, (b) nilai-nilai tersebut bersifat objektif dalam dirinya, (c) terdapat konflik antara berbagai nilai tersebut, (d) konflik tersebut sering kali bersifat incommensurable, dan (e) muncul trade-off atau pilihan radikal atas berbagai nilai yang berbeda atau bertentangan tersebut (Overeem & Verhoef, 2014; lihat juga de Graaf, Huberts, & Smulders, 2016).

Kajian mereka menyimpulkan bahwa hampir selalu ada konflik di antara nilai-nilai governance yang digunakan secara serampangan – partisipasi dan efisiensi, keadilan dan pemerataan, akuntabilitas dan efektivitas, pemerataan dan efisiensi atau antara performing governance dengan proper governanc. Muncul kesadaran bahwa universalitas nilai tersebut sering kali problematis ketika diterapkan pada konteks yang berbeda di mana Indonesia memiliki sejumlah nilai yang sangat mungkin tidak kompatibel dengan dengan nilai-nilai tersebut. Misalnya, mungkinkah netralitas birokrasi diterapkan dalam kultur masyarakat yang 

mengedepan nilai saling membantu? Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga mengalami dilema terkait pilihan nilai apa yang harus diutamakan ketika nilai-nilai tersebut tidak kompatibel satu sama lain. Kegamangan ini bermuara pada diinkorporasinya berbagai nilai pada proses atau produk manajemen publik dan atau kebijakan publik dengan instrumentasi yang tidak jelas. Dalam berbagai produk kebijakan seperti UU atau Perda, kita 

sering menyaksikan bagaimana sejumlah asas atau prinsip dijadikan dasar namun instrumentasinya menguap begitu saja. Formula yang pasti dengan derajat kompatibilitas yang tinggi, baik antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai lokal atau budaya setempat maupun antar nilai tersebut, maka selamanya MKP akan senantiasa dihadapkan tidak saja dengan dilemma, tetapi juga konflik nilai.


0 comments:

Posting Komentar