Street-Level Bureaucrats (SLB) as Policy Makers
Chapter 2
BOOK STREET-LEVEL BUREAUCRACY
Dilemmas of The Individual in Public Service
(Michael Lipsky, 1980)
SLB dapat membuat kebijakan dengan diskresinya dari interkasi dengan warga negara. SLB dapat bertindak secara individual walau dia tetap sebagai agen dari instansinya. Mereka mengambil diskresi atau menyerahkan semuanya pada mekanisme organisasi tergantung cara berpikir antara rasional dan afeksi dan tergantung pada lingkungan organisasi nya. Polisi memutuskan yang mana yang ditahan dan yang mana tidak, guru memutuskan yang mana yang boleh pulang dan yang mana yang harus mendapat pelajaran tambahan di sekolah, tapi kewajiban administrasi yang melekat padanya diputuskan sebelum kewajiban itu datang, jadi diskresi diambil pada tataran dimana administrasi tidak dilaksanakan. diskresi tidak menahan diambil sebelum proses penahanan yang melibatkan administrasi.
Untuk dapat mengambil diskresi seorang SLB harus profesional dan ahli pada bidangnya. Mereka memiliki judgment yang baik karena pengetahuan dan pengalaman, mereka bekerja profesional tanpa tekanan, tapi walau SLB yang bukan pada taraf profesional pun mengambil diskresi dengan keterbatasan aturan dan supervisor yang mengawasinya. Pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh kedudukan dan status SLB dan kondisi hati petugas SLB serta budaya lingkungan dan pengalaman yang dirasakan dalam organisasi.
Jika semua aturan diterapkan maka ada keterbatasan resources yang dimiliki sehingga harus memutuskan mana yang harus dijalankan mana yang tidak, mungkin dalam satu hari polisi bisa melihat 10 orang melakukan kejahatan tetapi kapasitas tahanan hanya ada 5 dan pekerjaan yang sangat melelahkan menangkap semua kejahatan tersebut karena akan ada administrasi yang harus dikerjakan setelah penahanan, jadi polisi memutuskan mana yang harus ditahan dari 10 orang tersebut.
Semakin ketat aturan diharapkan SLB dapat mengatasi semua yang ditemuinya sesuai aturan yang sudah ditetapkan, tetapi pada kenyataanya malah semakin memperparah ruang gerak SLB dalam memutuskan semakin terbatas, SLB lebih sulit mengambil diskresi dengan ruang gerak yang sempit. Selain itu semakin kompleks aturan akan sulit bagi SLB untuk memutuskan karena setiap keputusan diambil secara cepat dan tidak mungkin semua aturan yang kompleks tersebut harus ditelaah dan dipelajari sebelum diskresi diambil.
SLB seringkali dihadapkan pada faktor emosional atau human dimension dalam memberikan pelayanan dan pengawasan kepada warga negara, tentu simpati dan empati atau sensitive melihat pada interaksi langsung menggugah diskresi yang diambil oleh SLB. Aturan yang general tidak pernah melihat kondisi yang ada karena kedudukan semua sama, tapi sebagai manusia SLB melihat kondisi yang mengguggah afeksinya untuk mengambil kebijakan. Terdapat dialektika antara compassion dan fleksibilitas dalam berinteraksi dengan aturan yang ketat dalam pelayanan publik. Dalam setiap evaluasi pelaksanaan permasalahan-permasalah di bahas terutama yang menyangkut keterbatasan aturan dalam mengatur permasalahan di lapangan kemudian pada tataran ini dievaluasi untuk dapat menampung masalah yang belum diatasi, di satu sisi evaluasi akan memberi titik terang dan diskresi dapat dikurangi tapi disisi lain akan membuka potensi yang mengharuskan diskresi baru lagi.
Relatively Autonomy From Organizational Authority
Kebanyakan analis selalu melihat pekerja dengan status lower atau berada pada tataran bawah sering kali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan padanya, karena merasa pada posisi bawah sehingga motivasi autonomous pada diri seseorang cenderung rendah sehingga harapan besar yang dibebankan padanya akan dijalankan sebesar autonomi yang ada padanya dan sebesar level statusnya. Dalam teori-teori organisasi akan selalu ada slippage(terselip)antara orang yang memberikan perintah dan yang menjalankan perintah. Slippage atau keterselipan perintah ini disebabkan karena ketidakcocokan dengan perintah dan perbedaan cara, strategi maupun tujuannya. hal ini sebagai pelaksana atau penyampai kebijakan langsung SLB seringkali tidak merasakan kemanfaatan dari strategi pimpinan yang dibebankan padanya dan perbedaan tolak ukur kesuksesan antara pimpinan dan pelaksana langsung membuat perintah tersebut kurang efektif dijalankan.
Jika komunikasi yang berjalan pekerja SLB dengan supervisornya atau yang memberikan perintah berjalan tidak komunikatif, yang biasanya disebabkan posisi atau status, sehingga komunikasi dua arah tidak tercipta. ketika pekerja tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan tujuan organisasi, maka perintah dari atas tidak mungkin dapat dijalankan sepenuh hati, perbedaan kepentingan supervisor atau atasan dengan pelaksana SLB atau lower level serta perbedaan insentif dan sanksi yang diperoleh tentu membuat pertimbangan pelaksanaan perintah.
Terkadang perbedaan level dalam organisasi lebih mengarah pada konflik dibanding resonposin dan saling mendukung satu sama lain, yang jelas karena kepentingan dan sumber daya pada tiap level berbeda-beda serta mengarah pada tujuan yang tidak spesifik sama karena mengejar kepentingan levelnya masing-masing.perbedaan antara aktual kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dapat dilihat dari sisi perbedaan pembuat dan pelaksana kebijakan tersebut serta lingkungan disekitarnya, penjelasan perbedaan ini bukan hanya soal sistem yang harus dipatuhi tetapi juga situasi kerja serta lingkungan yang dihadapi dan pertentangan kepentingan individu pelaksana maupun pengambil keputusan.
Perbedaan ini tampak dengan partisipasi yang rendah, absen tidak memberikan pandangan dan hanya berlindung dengan kelompok saja, sehingga pelaksanaan kebijakan miskin ide dan kurang partisipatif yang berujung pada lemahnya responsif. Pembuat kebijakan lebih akan menyesuaikan kebijakan dengan kepentingan individunya karena yang paling dekat sedangkan kepentingan pelaksana kebijakan seringkali diabaikan dan masukannya hanya diinterpretasikan dengan pandangannya yang tetap pada persesuaian kepentingan individunya. belum lagi apabila kebijakan tersebut membuat pemisahan kelompok antara kelompok pendukung dan tidak mendukung yang ada pada tiap level, akan membuat pelaksana kebijakan menjadi tidak responsif dan tentu akan membuat suatu kebijakan aktualnya jauh melenceng dari tujuan pembuat kebijakan tersebut.
Perbedaan ini membuat organisasi tidak berjalan baik karena tidak dapat memaksimalkan potensi pekerjanya pada performa yang terbaik. Hal ini menjadi tantangan manajer bagaimana membuat kebutuhan pekerja secara personal, material dan physiological gratifikasi dengan kebutuhan organisasi. dan manajer harus berpikir bagaimana meningkatkan kepuasan kerja agar produktivitas meningkat, tentu aspek-aspek seperti perbedaan antara policy maker dan pelaksana keputusan perlu di cari jalan keluar dan intervensi yang membuat tidak mencairnya komunikasi dua arah perlu dihilangkan.
SLB yang langsung berinteraksi memiliki perbedaan yang mendasar dibanding agen lainnya, karena kekhususannya ini maka tingkat konflik dan sumber daya serta keperluan menjadi sesuatu yang unik karena SLB berhadapan dengan lingkungan dan orang yang lebih banyak dan selalu berubah.
Differences between Street-Level Bureaucrats and Managers
selalu ada pandangan berbeda antara manajer/pimpinan dan ASN SLB, manager melihat secara umum dan mengeja efisiensi serta efektifitas, sedangkan pekerja melihat secara spesifik dan meminimalisasi bahaya serta ketidaknyamanan dalam bekerja serta meningkatkan pendapatan dan personal gratifikasi. Selain itu selalu ada kecurigaan antara kelompok bahwa masing-masing pasti akan mementingkan kepentingannya sendiri.
proses yang dihadapi SLB dituntut untuk bekerja cepat, dan harapan tidak ada intervensi pekerja bebas dan terlepas dari ancaman psikologis yang membayangi. Supervisor berada dalam posisi yang dapat mengintervensi atau mengancam psikologis SLB yang menjalankan pekerjaan tidak sesuai padangan Supervisor dan pada akhirnya kesepakatan tersebut harus terutang dalam SOP guna menghindari bentrok pandangan, ketika SLB menghadapi permasalahan yang tidak tertuang pada SOP maka SLB dapat dengan cepat mengambil keputusan bahkan tanpa izin atasan atau membuat menjadi lama dengan proses koordinasi, konfirmasi, dan rangkaian administrasi dengar pendapat dan seterusnya.
Manager mengejar target yang tepat sedangkan SLB mengejar proses, apakah semua harus menjadi prioritas di tengah overloadnya pekerjaan dan sumber daya terbatas. disa tau sis tuntutan dari manajemen tidak semua dapat dijalankan oleh SLB dan SLB mengembangkan strategi untuk dapat menghadapi tuntutan manajemen tersebut terutama bentuk penghindaran yang tepat. manager mengejar target oriented sedangkan SLB menjaga proses tetap nyaman tetapi kontra dari itu semua bagaimana SLB dapat nyaman dengan tuntutan pekerjaan serta berbagai macam persyaratan administrasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
aspek lain dalam SLB adalah kepentingan dan hasratnya untuk memperoleh dan memperluas autonominya, di sisi lain manajer membatasi autonomi atau tindakan yang dapat diambil oleh SLB untuk menjaga target yang telah ditetapkan manajemen berjalan baik, sementara SLB dituntut untuk dapat memutuskan dengan cepat tapi gerakan dan potensinya juga dibatasi manajemen, kontradiktif antara manajemen agar semua pekerjaan dapat selesai dengan cepat sesuai dengan sop yang ditetapkan tetapi membatasi pelaksanaan agar keputusan tersebut cepat. Hitungan manajemen di atas kertas yang mengatakan sesuatu selalu diasumsikan tetap dan estimasi yang tidak variatif yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
perbedaan antara keputusan secara profesional dan kepentingan struktural dalam sisi birokratik sering menimbulkan dilema dan persangkaan yang mengarah kepada ketidakpercayaan hubungan. Pandangan pengambilan diskresi ini juga menempatkan posisi yang sulit mengambil resiko atau tidak mengambil resiko dan berlindung di balik prosedur yang ada, mengabaikan posisi kepentingan warga negara dengan dalil sesuai aturan. Pengalaman sangat penting dalam keberanian untuk membuat diskresi yang tepat.
Pelayanan di rumah sakit juga menarik di satu sisi dokter sebagai SLB bertanggung jawab terhadap treatment pasien tetapi manajemen tentu memikirkan biaya yang muncul semakin lama pasien dirawat maka biaya semakin tinggi, jika pasien tersebut privat tidak memberatkan tetapi jika veteran miskin yang harus ditanggung negara maka sulit bagi rumah sakit untuk menekan pembayaran kepada negara. seringkali dilema dokter memutuskan pasien tetap harus dirawat atau tidak ketika intervensi dari manajemen rumah sakit mengharuskan itu demi terjaganya kesehatan rumah sakit itu sendiri.
Varietas warga negara sulit untuk diprediksi dan perlu pengelompokan untuk menentukan treatment pelayanan yang baik. dan SLB yang profesional dan ahli mampu melihat hal tersebut lebih objektif.tetapi jika otonomi tersebut dibatasi oleh manajemen maka kesempatan memberikan yang terbaik akan sulit dicapai. maka itu computerized sistem dalam pelayanan publik tidak dapat melihat empati yang dalam dari kebutuhan masyarakat.
Resources for Resistance
Pekerja menahan dan mungkin menyembunyikan kemampuan serta potensinya ketika mereka tidak melihat manfaat dari kekuatan potensinya apabila mereka keluarkan yang ada hanya menjadi alat manajer/supervisor untuk memanfaatkan nya sebagai sapi perah, sehingga lebih baik potensi tersebut disimpan daripada menjadi korban eksploitasi atasanya. Pekerja sektor publik sering kali menikmati manfaat sumber bersama-sama atau kolektif dalam target, tidak ada target individual karena manfaat yang diperoleh individual juga tidak terasa sesuai atau memang sama sekali tidak didapatkan. sementara itu dalam public service manager juga tidak memiliki kuasa untuk menstimulasi manfaat yang diinginkan oleh pekerja.
salah satu yang menarik adalah kecenderungan untuk memainkan strategi dalam merekomendasikan atau tidak merekomendasikan seseorang pegawai untuk dipromosikan, ada kecenderungan selama atasan membutuhkan seseorang dan dinilai baik oleh atasannya maka mereka akan ditahan ketika sebaliknya mereka akan dilepas.strategi dan potensi yang ada pegawai juga sering tidak terlihat bagi mereka yang menyembunyikan padahal memiliki kemampuan yang baik untuk dipromosikan. Perseteruan antar level sangat sering terjadi, tapi pegawai pada level bawah cenderung tidak memiliki kekuatan sedangkan atasnya memiliki wewenang dalam hal rekomendasi pindah, rolling, rekomendasi promosi, sehingga atasan memiliki kekuatan menstimulasi bawahan bahan untuk kepentingannya individunya juga. Bawahan cenderung pasif dan pekerjaan menjadi tidak menarik.
Dalam beberapa kondisi ketika posisi SLB menjadi krusial dan penting SLB menikmati pekerjaanya, ketika mereka memiliki kemampuan yang dapat ditunjukkan akan memunculkan keinginan untuk berbuat lebih sebagai bagian dari personal attraction (David Mechanic). ketika organisasi melibatkan SLB, dan menempatkan dalam posisi yang harus didengarkan serta memasukkan dalam strategi, maka potensi mereka dapat meningkat. possi SLB sebagai lower-employe juga mengurangi kepercayaan diri dalam menyampaikan kondisi sebenarnya atau gagal menyampaikan maksudnya pada supervisornya. sebenarnya kemampuan diskresi yang ada pada SLB mengurangi ketergantungannya terhadap supervisor, dan apakah ini menjadi masalah?manajer sangat tergantung dengan bawahannya tanpa mampu mengintervensi secara ekstensif cara kerja yang ditampilkan.
Pekerja memang tidak punya wewenang menghukum atasannya yang bekerja tidak beres tapi mereka tunjukkan hukuman ke atasannya melalui minimal kerja, atau dengan bekerja kaku/rigid sesuai aturan formal dan menolak kerjaan tambahan dari atas.
Secara garis besar ada 2 tipe karakteristik hubungan manajer dan SLB. Pertama hubungan yang berdasarkan pada pemahaman yang luas antara manajer dan SLB, dimana manajer mendukung SLB untuk membangkitkan autonomi dan intrinsik motivasi pegawai dengan menyerahkan proses ke pegawai dan fleksibilitas dalam mengelola dan memaksimalkan autonomi yang ada pada pegawai. kedua, hubungan timbal balik, dengan menstimulasi reward dan punishment.
TIpe hubungan ini sangat penting dalam membedakan dan menganalisis masalah pembuatan kebijakan dan implementasinya. SLB menyembunyikan potensinya atau tidak mendapat kesempatan menunjukkannya atau rasional tidak ada untungnya malah membawanya kepada kesusahan di kemudian hari karena potensinya tidak dihargai dan menjadi sapi perah nantinya. ketika policy deliveree dan manager berkonflik dan saling berlawanan, analisis implementasi kebijakan harus mempertanyakan asumsi yang mempengaruhi arus arah dengan otoritas dari posisi atas ke bawah. dan dimulai dari ekosistem kerja serta prioritas kepada siapa yang menyampaikan kebijakan dan batasan yang menjadi penghalang pekerjaan dan apa punishment serta rewardnya.
Terkadang ada jetlag dimana masing-masing pekerja belum benar-benar memahami sehingga dalam proses pengambilan tujuan cenderung pasif dan tidak ada ide atau saran yang diselaraskan karena belum siap dengan materi, tetapi dalam pelaksanaannya setiap pegawai harus sudah siap dan proses belajar itu baru jalan setelah program berjalan dan muncul banyak pertanyaan terkait hal tersebut sehingga perlu didiskusikan kembali,(prinsip tesla dan toyota/maju dulu ke medan perang atau persiapan yang matang dahulu baru maju)
0 comments:
Posting Komentar