Menciptakan Pemerintah yang Lincah, Kolaboratif, Koordinatif, Responsif, Akuntabel Merupakan Tantangan Manajemen Kebijakan Publik
(Wahyudi Kumorotomo)
Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia
(Bab IX)
Krisis pandemi covid-19 telah menunjukkan bahwa penting dan perlunya pemerintah yang kolaboratif dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa yang akan datang. Tanpa pemerintahan yang lincah dan kolaboratif tentu penyelesaian setiap masalah akan sangat lambat dan terkotak-kotak dan tentunya banyak sekali kegiatan-kegiatan yang sangat tidak efisien karena dilakukan oleh masing-masing unsur-unsur pemerintahan padahal setiap pekerjaan tersebut mungkin sudah sebagian atau seluruhnya dikerjakan oleh unsur lain dalam pemerintah.
Di negara-negara maju seperti di Korea Selatan dan Jepang prinsip kolaboratif government ini telah berjalan dengan baik bahkan di negara-negara berkembang juga sudah mulai menerapkan prinsip kolaborasi ini. Tetapi Indonesia pada tahun 2019 masih saja menempati peringkat 73 dari 192 negara berdasarkan indeks easy of doing business. Terdapat suatu masalah yaitu kurang koordinasi dan kerjasama kolaborasi antar unsur-unsur di pemerintah sehingga setiap pekerjaan pemerintahan berjalan masing-masing dan sangat tidak efisien. Walaupun reformasi birokrasi telah dilakukan dan telah memberikan dampak yang besar seperti akuntabilitas, penyederhanaan struktur organisasi dan keterbukaan informasi publik tetapi dari sektor kerjasama antar unsur-unsur masih belum tercipta dengan baik. Masing-masing organisasi publik seolah-olah berdiri sendiri sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa menghiraukan institusi publik lainnya yang saling beririsan. Apalagi adanya standarisasi serta prosedur-prosedur yang ketat membuat organisasi administrasi publik sangat kaku dalam berkoordinasi satu sama lain. Ketidakpahaman terhadap instansi lain pun juga seringkali menjadi hambatan dalam koordinasi dan kolaborasi tersebut.
Relevansi Kinerja Organisasi dengan Daya Saing Bangsa
Kegagalan kolaborasi akan berdampak pada berkurangnya nilai investasi pada suatu negara karena dianggap membuat pekerjaan investasi berulang-ulang kali padahal persyaratan yang diminta masing-masing instansi adalah sama. Data BKPM pada tahun 2018 menunjukkan bahwa proporsi FDI Indonesia hanya sebesar 22,1 persen dari PDB, kalah jika dibandingkan dengan Filipina (25,1 persen), Thailand (45,7 persen), dan bahkan Vietnam (60,1 persen). Kegagalan memberikan kepercayaan dalam rangka memberikan keterjaminan investasi di Indonesia juga mengakibatkan ketidakpercayaan investor internasional dalam menginvestasikan usahanya ke Indonesia. hal ini tentu juga dikarenakan sistem pemerintahan atau cara kerja birokrasi yang masih buruk dan tentu dapat merugikan investor di kemudian hari.
Pemerintah yang Lincah (Agile Government)
Kalangan bisnis dapat bergerak lebih leluasa karena tidak terikat pada prosedur yang sangat ketat sehingga menciptakan inovasi-inovasi terutama dengan pemaksimalan pemanfaatan teknologi sementara di dalam sektor publik masih dibatasi oleh prosedur yang sangat ketat dan kerahasiaan informasi publik serta keterbatasan dalam berinovasi dan kurangnya motivasi untuk dapat adaptif dalam perubahan yang terjadi. Dalam sektor swasta, penjelasan tujuan sudah sangat jelas dalam mencari customer, mendapatkan keuntungan dan memenangkan persaingan. Sementara pada sektor publik penjelasan tujuan sangat variatif tergantung dengan lingkungan dan tingkat kemampuan dari warga negara dalam menyerap distribusi barang dan jasa publik. Hal ini sulit dalam pencapaian tujuan organisasi publik karena sangat variatif dan kompleks sehingga pelaksanaan dengan standar dan seragam tertentu tentu tidak dapat membuahkan hasil yang maksimal karena sangat bergantung dengan konteks masyarakat tersebut.
Di sisi lain penerapan konsep bisnis tetap dijalankan dengan mengadopsi new publik manajemen agar dapat menghadapi perubahan dan persaingan serta pasar yang mendapat tempat di masyarakat. Konsep pemerintahan yang lincah juga harus didukung oleh sarana dan prasarana teknologi yang sangat masif dan berkembang saat ini, dengan memaksimalkan digitalisasi, big data, internet of thing, dan analisis informasi yang saat ini sudah sangat cepat di dalam media sosial maupun dunia informasi teknologi. Penerapan teknologi telah menjadi syarat fundamental dalam menghadapi kecepatan informasi serta kebutuhan pasar (Leybourn, 2013). Bahkan di negara maju pemerintah telah mengadakan pusat-pusat pengolahan data dalam rangka menjadi informasi yang akurat untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih tepat sasaran.
Organisasi publik memiliki kemampuan yang optimal untuk mengolah data jumbo, mulai dari perawatan balita, pendidikan, kesehatan, pencegahan penyalahgunaan narkoba, keamanan dan pencegahan kejahatan, penciptaan layanan kota terpadu, transportasi, hingga pengolahan limbah. Bahkan tidak mustahil pelayanan administrasi publik akan diambil alih oleh teknologi sedangkan ASN akan bekerja dalam mengontrol pengolahan data yang masuk serta memberikan penyuluhan dan pendidikan terhadap layanan publik yang dapat diakses secara mandiri.
Sistem logika teknologi yang rasional dipadukan dengan unsur manusia yang rasional dan juga emosional dapat menjadi acuan dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Model ini juga dapat mempercepat tugas-tugas pelayanan publik yang tepat sasaran. Teknologi telah menjadi alat bantu yang sangat mempermudah manusia bahkan dalam beberapa hal telah mengambil alih rutinitas pekerjaan manusia. Tetapi dalam perkembangan sentuhan tak manusia tetap berkontribusi dalam menghadapi tantangan perubahan selanjutnya.
Banyak sekali penggunaan teknologi yang sudah mengurangi pekerjaan-pekerjaan manusia seperti contohnya adalah gardu tol otomatis layanan cetak KK melalui internet layanan yang diberikan dengan cara kita sendiri yang menyampaikan dan nantinya akan dicetak hasilnya secara otomatis melalui komputer apabila persyaratan yang telah diprogram oleh database telah sesuai. Perubahan yang sangat fenomenal dalam urusan pelayanan publik seperti perkembangan mesin tik menjadi komputer printer dan kemudian menjadi digitalisasi dan akhirnya sampai pada web, hal ini menunjukkan betapa efisiennya semakin meningkat seperti contoh ketika mesin tik sering kali apabila ada kesalahan harus menghapus atau merusak kertas yang sudah diketik, kemudian setelah menjadi komputer dapat dihapus sebelum ngeprint dan memastikan bahwa hasil ketikan sudah rapi terlebih dahulu lalu dicetak dan di print kemudian dengan sistem web tidak perlu mengeprint lagi karena detail sudah otomatis langsung masuk ke dalam database server.
Penggunaan teknologi ini juga sangat tepat dalam menghadapi perubahan yang cepat serta kompleksitas dari pelayanan yang semakin tinggi. Penggunaan aplikasi seperti Microsoft word, penggunaan statistik seperti program SPSS maupun penggunaan network sistem aplikasi yang sangat membantu dalam proses pengiriman dokumen maupun lainnya yang sangat penting digunakan dalam model bekerja akan sangat membantu proses kecepatan pemerintah yang adaptif dan lincah. Contoh lain adalah penggunaan aplikasi Lawgeex, sebuah perangkat kecerdasan buatan untuk membaca kontrak-kontrak hukum sudah bisa secara telak mengalahkan manusia, baik dari segi kecepatan maupun akurasi. Seorang asisten pengacara terbaik hanya mampu membaca dokumen kontrak dengan akurasi 85 persen dalam waktu 92 menit. Sebaliknya, Lawgeex ternyata mampu membaca dokumen kontrak yang sama dengan akurasi 95 persen dalam waktu hanya 26 detik. contoh lain adalah penggunaan kalkulator dalam menghitung.
Pada prinsipnya penggunaan teknologi ini adalah untuk mempermudah manusia bukan untuk menggantikan manusia. Sehingga manusia harus memaksimalkan teknologi yang dimiliki untuk mencari ide dan inovasi baru yang lebih kreatif dengan bantuan dari teknologi yang sudah ada. Diamandis dan Kotler (2014) melihat bahwa melimpahnya data, informasi dan perangkat mesin pengolah data itu akan mengakibatkan tiga kecenderungan secara serentak, yaitu dematerialisasi, demonetisasi, dan demokrasi. Dematerialisasi adalah suatu konsep tentang hilangnya benda fisik berubah menjadi digital. Penggunaan materi fisik akan berkurang karena tergabung dalam satu materi yang all in one/lengkap seperti Smartphone yang telah menggantikan telpon, buku, faximile dan komputer. Contoh lain adalah bagaimana Amazon mengeluarkan gadget teknologi Kindley yang bisa menyimpan puluhan ribu buku dalam satu tablet. Demonetisasi adalah bahwa biaya untuk membangun berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan oleh manusia semakin murah. teknologi memotong jalur distribusi kebutuhan dan menekan biaya yang dibutuhkan dalam rantai biaya sampai produk digunakan serta dematerialisasi yang sudah tercapai mengurangi beban yang ada. Sejumlah perpustakaan sekarang ini dapat dikelola oleh Amazon, panggilan langsung jarak-jauh yang dulu mahal dan rumit sekarang tergantikan oleh Skype, pemesanan akomodasi oleh hotel-hotel yang berbiaya operasional mahal sudah bisa digantikan oleh Airbnb, pertemuan rapat yang membutuhkan biaya banyak sekarang tergantikan oleh Zoom, dan masih banyak lagi hal-hal yang sudah berubah dengan perangkat aplikasi baru. Sementara itu, yang dimaksud Demokratisasi adalah setiap orang dapat bersuara dan beropini publik, dengan teknologi saat ini semua orang bisa menyampaikan hak politiknya tanpa menjadi pusat perhatian dari suaranya, dan tanpa mendapat tekanan politik yang langsung karena suaranya dapat didengarkan oleh banyak orang melalui konten-konten bahkan dapat menuai dukungan dan melindunginya dari serangan politik, penyampaian dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui formalitas dan filterisasi yang syarat politik dan kepentingan. informasi melalui TIK akan dapat menembus individu-individu yang selama ini terhijab oleh hegemoni kekuasaan.
Untuk mencapai tahapan informasi yang merata sulit untuk dilakukan di Indonesia sebagai benua maritim dengan belasan ribu pulaunya. Salah satu kesulitan di Indonesia untuk mencapai perkembangan teknologi diatas adalah belum terbangunnya infrastruktur teknologi yang masih sehingga untuk menerapkan hal tersebut masih cukup sulit. Sementara itu di banyak negara dalam menghadapi perubahan teknologi yang masiv, mulai dikembangkanlah society 5.0 yang dapat menjadi tahapan selanjutnya dari reformasi teknologi yang terjadi saat ini untuk mempermudah dalam proses pelayanan publik dan menciptakan pelayanan publik yang semakin efisien, murah, cepat, dan sekaligus manusiawi dan responsif.
Kolaborasi: Semangat Governansi dan Karya Bersama (Co-Creation)
Tidak hanya lembaga pemerintah saja yang dapat memberikan layanan publik tetapi sektor lain pun juga berperan dalam memberikan layanan publik. Maka dari itu mulai banyak organisasi di luar pemerintah yang menyelenggarakan layanan publik. Tuntutan yang semakin kompleks dan beragam telah memberikan kesempatan kepada sektor di luar pemerintah untuk menyelenggarakan layanan publik dengan standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, dan kesejahteraan sosial sekarang ini pun sudah menunjukkan bahwa yang terlibat bukan hanya lembaga pemerintah, tetapi juga perusahaan swasta, organisasi kemasyarakatan, yayasan kemanusiaan, dan berbagai jenis organisasi yang oleh para pakar politik sering disebut sebagai kelompok kepentingan (interest groups) atau kelompok penekan (pressure groups). tentunya organisasi yang memberikan ekspektasi lebih baik maka cenderung akan meminta kompensasi yang lebih tinggi. Pada saat itulah pasar bekerja dan melakukan penyaringannya sendiri untuk memfasilitasi bagi mereka yang mampu, sementara mereka yang tidak mampu hanya ada pilihan dengan pelayanan dengan standar minimal yang apabila semakin tinggi kuantitasnya maka kualitasnya akan menurun karena keterbatasan resource yang ada.
Cara terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan keterbatasan tersebut adalah melakukan kolaborasi, sehingga dengan kolaborasi dari semua sumber nya yang sangat besar, keterbatasan-keterbatasan dapat diatasi. jika pada level mikro sulit untuk tercapai maka pada level makro dengan dukungan dari semua jaringan yang besar yang dimiliki dan kekuatan implementasi dari peraturan maka lembaga-lembaga pemerintah dapat bersaing. Perubahan yang cepat dan tuntutan masyarakat yang besar harus dilihat sebagai upaya untuk merevisi sistem dan struktur yang kaku menjadi lebih fleksibel. perbedaan visi dan misi antar organisasi pemerintah sendiri harus dapat difasilitasi, penilaian melalui standar juga harus difasilitasi dengan mengangkat kolaborasi sebagai aspek penting dalam standar penilaian, baik kepada lembaga yang berimbas langsung atau lembaga yang tidak terkait tetapi memberikan bantuan juga memperoleh penilaian atas usahanya.
Konsep-konsep kerja sama yang sekarang sudah mulai dikenal seperti yang terkandung dalam gagasan triple-helix (pemerintah, swasta, masyarakat) atau penta-helix (pemerintah, perusahaan, masyarakat, perguruan tinggi, media) di masa depan akan semakin terbuka. Kemampuan untuk menjalin kolaborasi bagi penciptaan sistem manajemen layanan yang murah, efisien, cepat, dan sekaligus bertanggung jawab akan sangat menentukan. Setiap produk layanan akan menjadi milik bersama dan menjamin kepuasan semua pihak karena pada dasarnya merupakan produksi bersama (co-production) atau penciptaan bersama (co-creation).
Perkembangan paradigma manajemen publik setelah era new publik manajemen dan new publik service adalah kolaboratif government. Di mana dengan sumber daya yang dimiliki yang tersebar secara luas, pemerintah harusnya memiliki kemampuan yang super dan lengkap dengan alat-alat yang menyebar di seluruh wilayah negara serta kewajiban mentaati peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh agen-agen pemerintah. Kolaborasi ini juga tidak hanya membatasi pada sektor pemerintah tetapi juga ke sektor swasta, pendidikan perguruan tinggi, masyarakat, dan unsur-unsur lainnya yang berpengaruh di dalam masyarakat.
Implikasi konseptual yang antara lain dikemukakan oleh Amsler (2016:709) adalah bahwa tata kelola kolaboratif membutuhkan sintetis antara manajemen, politik, dan hukum. Untuk menciptakan sistem manajemen pelayanan publik yang efisien, efektif dan sekaligus responsif, sekat-sekat asumsi yang berasal dari sebuah disiplin ilmu tertentu harus dihapuskan. Utamanya adalah pendekatan integratif di dalam penyelenggaraan kebijakan maupun penerapan sistem layanan bagi segenap warga. Ada beberapa kriteria tata kelola kolaboratif yang harus dipertimbangkan, yaitu:
Bahwa forum kerjasama biasanya diinisiasi oleh lembaga publik, tetapi sebenarnya inisiatif bisa datang dari mana saja;
- Partisipan yang mengaktifkan forum melibatkan banyak pelaku di luar negara;
- Peserta terlibat langsung dalam perumusannya, dan bukan sekadar “diajak terlibat” oleh pejabat lembaga publik;
- Forum secara fundamental memang diciptakan untuk mengakomodasi kepentingan kolektif;
- Forum bertujuan untuk membuat keputusan melalui konsensus, sekalipun konsensus itu di dalam praktiknya sulit dicapai, dan;
- Fokus dari kerjasama memang bidang-bidang yang terkait dengan kebijakan dan manajemen publik.
Salah satu prinsip yang senantiasa menjadi tujuan dari penerapan prasyarat dan kriteria itu adalah terciptanya partisipasi yang optimal dari berbagai unsur organisasi,baik pemerintah, swasta maupun komunitas. Tugas beratnya adalah bagaimana informasi disajikan secara transparan dan komunikatif sehingga dapat melibatkan partisipasi warga masyarakat dengan mudah dan dapat menyampaikan pandangan serta pendapatnya mengenai kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan menjaga agar informasi dan partisipasi dapat merata serta tidak di domplengi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang memiliki modal yang dapat menggerakkan informasi yang menyesatkan sehingga pemerintah perlu menjaga agar kepercayaan serta partisipasi dapat benar-benar terlaksana dengan baik.
Pemerintah juga harus mampu menangkap perkembangan generasi saat ini di mana generasi milenial y dan z sangat aktif dalam komunikasi media sosial dan dapat dengan mudah menjalin komunikasi melalui perantara teknologi ke unsur-unsur dalam pemerintahan sehingga hal ini perlu difasilitasi dengan terus mengedepankan kerjasama kolaboratif antara unsur pemerintah tetapi sayangnya pada saat ini generasi y dan z belum berada pada posisi puncak-puncak pimpinan di mana saat ini masih dikuasai oleh generasi baby boomer dan x, yang sangat berbeda pola dan pandangannya terhadap perkembangan teknologi. Adanya ketidakpercayaan dari generasi di atasnya terkait dengan keamanan data pada sistem teknologi membuat keterbukaan serta kolaborasi ke pihak-pihak lain masih sangat kecil. Selain itu keengganan penerapan model kolaboratif pada generasi di atas milenial adalah karena dapat menjadi ancaman bagi otorisasi hierarki yang saat ini dinikmati oleh generasi di atas milenial.
Teknologi digital telah memfasilitasi sarana kolaboratif atau kerjasama yang efektif sehingga hal ini perlu didorong dengan melepaskan batasan-batasan yang selama ini mengurung kolaborasi tersebut seperti peraturan, ketidakpercayaan antar instansi, pemisahan wewenang dan tidak mau terlibat dalam perihal yang tidak merupakan tanggung jawabnya dan khawatir nanti akan dapat diseret apabila program tersebut menjadi satu masalah di kemudian hari. Saat ini teknologi digital dalam komunikasi di dalam masyarakat telah melewati batas-batas privasi karena rekam jejak digital dapat dilihat dan dipelajari serta terekam dengan sangat jelas. Apabila dalam komunikasi sehari-hari kita masih dapat menggunakan akal pikiran kita, serta norma dan nilai untuk dapat mengelabui pandangan orang lain melalui perkataan, perilaku, dan ucapan kita, tetapi dengan gadget digital yang selalu bersama kita maka kebebasan mengekspresikan tersebut terekam dalam jejak-jejak digital dan merupakan potensi asli dari individu yang dapat diukur melalui jejak rekam digital tersebut. Informasi digital mampu menembus Unconscious Mind dalam diri individu.
Saat ini sudah tersedia banyak perangkat lunak analisis semantik yang disebut sebagai SNA (Social Network Analysis). Aplikasi SNA akan mampu membaca data individual dan menghubungkannya dengan banyak aktivitas dalam organisasi publik maupun organisasi swasta, dan dengan demikian dapat mengidentifikasi kebutuhan kolaborasi yang produktif bagi sebuah organisasi. Berbagai informasi menyangkut sumber daya manusia yang bekerja dalam lingkup organisasi yang berlain-lainan dapat diperoleh secara lengkap, dan selanjutnya dapat dianalisis dengan lebih cermat. Sebagai contoh, bukan rahasia lagi bahwa SNA mampu mengungkap siapa saja individu yang berpengaruh di dalam komunitas tertentu, siapa saja yang mereka dengar, siapa saja pihak-pihak yang diajak kerja sama, dan faktor apa saja yang kemungkinan mempengaruhi cara mereka membuat keputusan (Waters, 2010:166). Dengan melakukan analisis terhadap catatan semantik di Twitter, Facebook, MySpace, atau platform media sosial lainnya, organisasi publik juga akan lebih akurat untuk memperhitungkan cara mencapai tujuan taktis.
Kolaborasi dapat memperkuat strategi serta mengurangi duplikasi pekerjaan dan dapat mengembangkan variasi serta pencapaian yang lebih maksimal. Apabila lembaga-lembaga pemerintah dan institusi institusi pemerintah dapat berkolaborasi maka tujuan bersama yang lebih efektif dapat tercapai. Tetapi sayangnya batasan-batasan peraturan seringkali menghambat kolaborasi tersebut selain itu juga nama baik salah satu yang lebih diuntungkan menjadi hambatan untuk ikut serta terlibat dalam kolaborasi bersama. Salah satu penyebab utama sulitnya kolaborasi adalah karena busuknya kondisi internal, ataupun kepentingan didalam organisasi masih harus dijaga, sehingga enggan untuk membuka aib masa lalu kepada pihak-pihak lain.
Berdasarkan penelitian dari Ospina dan Saz-Carranza (2010), para pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan manajemen publik secara kolaboratif menggunakan enam cara guna mengatasi paradoks, baik secara ke dalam (inward) maupun ke luar (outward). Untuk mengatasi paradoks yang membutuhkan kesatuan dan sekaligus diversitas di dalam jejaring, para pemimpin akan memfasilitasi interaksi, menumbuhkan relasi interpersonal, dan mempromosikan keterbukaan di antara para partisipan dalam jejaring. Sementara itu, untuk mengatasi paradoks adanya konfrontasi dan sekaligus dialog, para pemimpin akan mengelola kredibilitas jejaring, bekerja dalam berbagai tingkatan organisasi (multi-level), serta menumbuhkan relasi eksternal yang sifatnya jamak. Pada sebagian besar kasus, orientasi kerja ke dalam dan keluar ini dilaksanakan secara serentak, dan bukan berurutan atau bertahap. Dengan demikian, untuk terciptanya sistem manajemen publik yang kolaboratif, diperlukan pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen kuat terhadap hasil akhir proses kolaboratif yang produktif, dan sekaligus paham tentang prinsip-prinsip pokok di dalam kerja sama.
Nilai-nilai dalam demokrasi (persamaan, partisipasi, kebebasan, keadilan sosial) seringkali dipandang bertentangan dengan nilai-nilai dalam birokrasi modern (hirarki, spesialisasi, impersonalitas). dalam kesepakatan pembentukan negara dan dijalankan roda pemerintah oleh birokrasi mengandung asas persetujuan rakyat (principle of consent), tetapi juga harus disertai dengan asas-asas substansial yang tidak kalah pentingnya, yaitu asas persamaan hukum (equality before the law), perbaikan bagi semua (betterment of all), dan keadilan sosial (social justice).
Standar dari praktik penggunaan otoritas oleh pejabat publik harus diukur oleh seberapa besar sumbangan mereka terhadap kesejahteraan umum, bukan sekadar efisiensi atau kesesuaiannya dengan peraturan. Pada tataran prosedural, harus diupayakan perbaikan terhadap akses dan aspirasi dari orang miskin dan kelompok-kelompok yang tidak beruntung. Dalam hal ini, birokrasi publik tetap harus memiliki keberpihakan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini banyak ditelantarkan oleh berbagai macam program dan proyek pemerintah.
Kembali kepada contoh tentang akuntabilitas anggaran publik, pengalaman dari negara-negara maju OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan bahwa dari belanja pemerintah, pada dasarnya ada tiga unsur yang perlu diketahui oleh publik, yakni prioritization (penentuan prioritas alokasi dana), execution (pelaksanaan atau pencairan dana yang mendukung kegiatan), dan evaluation (mengkaji hasil-hasil dari pendanaan oleh pemerintah) (Griffin dkk., 2010:67). Unsur-unsur anggaran belanja di negara OECD itu begitu sederhana. Ini berbeda dengan yang diterapkan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang siklus anggarannya berlangsung sepanjang tahun dan unsur-unsurnya begitu kompleks. Siklus di Indonesia itu lebih banyak melibatkan hal-hal formal atau prosedural sedangkan yang substantif diabaikan.
Pada tingkat operasional, berikut ini adalah sebagian dari upaya memperkuat akuntabilitas organisasi publik yang harus diperhatikan yaitu:
- Keberpihakan kebijakan yang lebih kuat kepada kepentingan publik; Kebijakan publik harus punya keterkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat luas.
- Prediktabilitas dan kontrol atas kualitas pelayanan publik;
- Masyarakat harus dapat mengetahui dan mengontrol proses pelayanan publik dengan ketersediaan informasi mengenai jalannya pemerintahan secara lengkap
- Audit eksternal yang objektif dan transparan;
- Lembaga pemeriksaan dan pengawasan harus diperkuat dengan para pegawai yang punya kemampuan profesional tinggi.
Selanjutnya, sistem monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan perlu diciptakan supaya terjadi perbaikan yang terus-menerus terhadap sistem pemerintahan dan pelayanan publik pada umumnya
0 comments:
Posting Komentar